MIMPI apa Han So-hee sampai harus jadi sasaran luapan kegeraman warganet Indonesia sejak akhir April lalu? Aktris jelita pemeran Yeo Da-kyung di drakor (drama Korea) bertajuk The World of the Married itu dicecar dan dimaki sebagai pelakor alias perebut laki orang.
Untung rumahnya di Seoul, Korea Selatan, sekira 5.200 kilometer dari Jakarta jaraknya. Bila ia tinggal di Jakarta, bisa jadi rumahnya disatroni warganet, tak peduli sedang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) atau tidak dan peduli setan tidak kenal juga. Maka jadilah akun Instagram-nya yang jadi sasaran kemarahan.
Menukil Kumparan, 26 April 2020, akun pribadinya @xeesoxee disesaki makian dan hujatan. Kata “pelakor” pun sampai viral di Negeri Ginseng, merujuk pada perannya di drakor itu yang sudah sangat menempel pada citranya.
Baca juga: Banjiha, Potret Kemiskinan Korea dalam Parasite
“Di Indonesia wanita yang ketahuan selingkuh dengan suami orang lain tidak dapat diterima masyarakat karena mayoritas warganya Muslim. Tapi bagaimanapun sepertinya warganet Indonesia tidak bisa membedakan mana drama dan kenyataan. Mereka mengungkapkan kemarahan pada Han So-hee,” tulis seorang blogger Korsel yang tak disebutkan namanya di laman cafe.naver.com yang dikutip Kumparan.
Toh, So-hee tak paham hujatan yang memakai bahasa Indonesia itu. Lagipula, peran pelakor bukan hanya dimainkan oleh So-hee dan tentunya bukan jadi bumbu cerita milik The World of the Married semata. Cruel Temptation (2008), Pink Lipstick (2010), Woman of Dignity (2017), The Last Empress (2018), 9.9 Billion Woman (2019), hingga V.I.P (2020) juga menampilkan peran serupa.
Hanya saja, drakor-drakor lain itu tak se-viral The World of the Married yang tayang dalam 16 episode di saluran JTBC. Drakor garapan sineas Mo Wan-il yang me-remake drama seri BBC, Doctor Foster, itu selain viral jalan ceritanya juga mencetak rekor rating tertinggi dalam sejarah drakor. Di dalam negeri saja, ia mencetak 24,3 persen, melewati rekor sebelumnya yang dipegang Sky Castle (2018-2019) dengan angka 23,8 persen.
Baca juga: Parasite dan Seabad Perfilman Korea
Memang, drakor baru populer di Asia berbarengan dengan fenomena “Korean Wave” atau tren gelombang budaya pop Korea pada akhir 1990-an. Arus itu dalam lidah orang Korsel sendiri dikenal dengan hallyun. Ia berkembang dalam dua genre: kontemporer, yang kisahnya tentang asmara; dan sageuk, drama yang mengambil latarbelakang sejarah kuno era kerajaan.
“Pada pengujung 1990-an, tak lama setelah tren dan popularitas drama urban Jepang mulai menurun di Asia, pop-culture Korea dalam bentuk drama televisi menikmati pesatnya pelonjakan popularitas. Sebutan hallyun sendiri merupakan sebutan yang lahir dari media-media China,” ungkap Won Kyung-jeon dalam The Korean Wave and Television Drama Exports, 1995-2005.
Hal itu jadi komoditas tersendiri bagi pemerintah Korea Selatan, sambung Kyung-jeon. Badan Perdagangan Dunia (WTO) mendata, pada 2007 Korsel sudah menjadi eksportir jasa audiovisual terbesar ke-10 di dunia. Menurut KOCCA (Korea Creative Content Agency), Korsel juga menjadi eksportir program hiburan berseri kedua terbesar di Asia pada 2010, menguntit Hong Kong. Pada 2011, program siaran hiburan dari Korea mencapai angka USD227,8 juta.
“Drama Korea sendiri selalu mempertahankan posisi dominan dalam ekspor siaran konten Korea. Proporsi drama secara keseluruhan dari ekspornya terus meningkat dari 64,3 persen pada 2001 menjadi 87,6 persen pada 2010. Banderol drama Korea juga lebih ekspansif ketimbang Hollywood atau produksi-produksi Jepang di pasar Asia sejak pertengahan 2000-an,” imbuh Kyung-jeon.
Sejak awal 2000-an hingga sekarang, Korea berjaya dengan drakor selain dengan K-Pop-nya. Kejayaan itu diraih setelah jeda waktu amat panjang sejak drakor pertamakali muncul pada 1920-an.
Jaringan Radio hingga Layar Kaca
Drakor pertamakali mengudara lewat jaringan radio, seiring berdirinya Kyosong Pangsongguk (kini Korean Broadcasting System) pada 16 Februari 1927. Mulanya, stasiun radio yang didirikan Gubernur Jenderal Korea Jenderal Ugaki Kazushige itu memberi porsi besar pada program musik dan drama radio berbahasa Jepang. Hanya 30 persen yang berbahasa Korea.
Baca juga: Kala Budaya K-pop Menggema
“Porsi lebih banyak untuk program musik tradisional atau drama yang dikombinasikan musik klasik Barat baru diperbolehkan pada periode 1934-1936. Tapi tetap saja radio difungsikan sebagai publikasi media untuk imperialisme Jepang ketimbang media populer komersil,” tulis Lee Jung-yup dalam “The Birth of Broadcating Media and Popular Music” yang dimuat buku Made in Korea: Studies in Popular Music.
“Oleh karenanya beberapa elit budayawan seperti Kim Yong-pal, Yi Ha-yun, Hong Nan-pa, dan Yi Hae-ku berusaha merepresentasikan program-program ‘ke-Korea-an’ dalam program radio. Baik itu musik tradisional maupun serial drama radio,” sambung Jung-yup.
Sayangnya, tiada catatan soal drama bertajuk apa yang pertamakali diudarakan via radio mengingat banyak arsip tertulis hancur akibat perang. Tetapi, sambung Jung-yup, serial drama radio yang tren saat itu adalah drama bertema kriminal atau cerita detektif. Itu dipengaruhi novel-novel detektif dan kriminal asal Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Jepang yang tengah booming.
Setelah absen mengudara akibat Perang Dunia II dan disusul Perang Korea (1950-1953), drama radio baru eksis lagi pada 1954 atau setahun setelah gencatan senjata. Sebagaimana diungkapkan Kim Hwan-pyo dalam Korea Through TV Drama, drakor via radio yang paling populer saat itu bertajuk Cheongsilhongsil (1954). Kisahnya berpusar pada seorang wanita yang ditinggal mati suaminya karena Perang Korea.
Baca juga: Di Balik Lagu dan Bendera Pemersatu Korea
Drakor tersebut sukses karena kisahnya erat dengan yang dirasakan masyarakat dalam Perang Korea. “Era itu menjadi masa di mana banyak masyarakat Korea yang masih bersedih dan ingin menangis. Drama itu memberikan kesempatan bagi orang-orang untuk menangis dan tertawa sekaligus memberi penontonnya secercah mimpi dan romantisme yang tak bisa mereka temukan dalam kenyataan hidup saat itu,” terang Hwan-pyo.
Pada 1956, drakor mulai beralih ke layar kaca lewat Stasiun TV HLKZ-TV yang menayangkan Cheongugui mun (Gerbang Nirwana). Drakor itu berbentuk film televisi berdurasi 15 menit. Sementara, drama berbentuk serial pertama baru hadir pada 1962, bertajuk Gukto manri. Drakor berlatarbelakang era Kerajaan Goryeo itu ditayangkan Tongyang Broadcasting (TBC).
Pada 1970-an hingga 1980-an, drakor ber-genre kontemporer, di antaranya Saeeomma atau Ibu Tiri (1972-1973) dan Saranggwa yamang (Cinta dan Ambisi, 1987), mulai mendominasi. Jam tayangnya pun dimulai pada pagi sebagai strategi untuk menggaet pasar “emak-emak” yang tidak bekerja. Kisah-kisahnya pun disajikan seerat mungkin dengan kondisi para ibu rumah tangga di Korea.
Baca juga: Korea Bersatu di Arena
“Ibu-ibu rumah tangga mulai jadi plot utama drama-drama TV. Karena ibu rumah tangga cenderung menghadapi stres yang lebih dalam keseharian mereka. Dan karena banyak dari mereka tak punya sasaran pelampiasan stres, mereka pasti mengalihkan emosi mereka ke hiburan televisi, khususnya opera sabun (drama serial),” tambah Hwan-pyo.
Seiring perjalanan waktu, drakor akhirnya menaklukkan Asia pada awal 2000-an. Pendobraknya adalah drakor Winter Sonata (2002). Melodrama garapan sineas Yeon Seok-ho yang rilis dalam 20 episode itu meniti suksesnya dengan menembus pasar di Jepang.
“Boleh dikatakan Winter Sonata yang pertama mengikuti formula dasar untuk kesuksesan di televisi: pemeran-pemeran rupawan, keindahan alam, dan plot manis tentang cinta, kematian, dan harapan akan hubungan romantis, semua itu disempurnakan dengan soundtrack musik yang melankolis,” ungkap Korean Culture and Information Service South Korea dalam K-Drama: A New TV Genre with Global Appeal.
Baca juga: Tangan Dingin Moon Jae-in dalam Perdamaian Korea
“Semuanya begitu ‘ngeklik’ hingga Winter Sonata menjadi sensasi tersendiri di Jepang. Di episode terakhir saja, NHK yang menayangkannya mendapat share rating 20 persen, melebihi acara lain di waktu prime time yang rata-rata 10 persen rating-nya. Di akhir 2004, diperkirakan hampir 70 persen warga Jepang sudah menonton setidaknya satu episode,” lanjutnya.
Saking bekennya, Winter Sonata sampai dibuat versi anime-nya dalam bentuk delapan jilid komik pada 2004-2005 dan teater musikal di Tokyo, Osaka, dan Sapporo pada 2006. Formula itulah yang kemudian dicontek drakor-drakor lainnya, termasuk The World of the Married yang bikin geram warganet Indonesia. Yang sabar ya, So-hee!