Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in dan Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un berhasil membuat masing-masing rakyatnya dan dunia internasional bisa bernapas lebih lega. Jumat (27/4/2018) lalu, keduanya menandatangani Deklarasi Panmunjom.
Deklarasi bernama lengkap Panmunjom Declaration for Peace, Prosperity and Unification of the Korean Peninsula itu menjadi tonggak sejarah baru dalam mengakhiri Perang Korea secara permanen. Dari rezim ke rezim di Korsel, baru sekarang wacana rekonsiliasi dua Korea nampak realisasinya.
Di luar gedung pertemuan, keduanya bergandengan tangan. Era dan harapan baru memancar dari wajah keduanya.
“Saya sangat yakin era baru perdamaian akan tercipta di semenanjung, di mana kedua Korea meredam tensi militer dan membangun kepercayaan,” ujar Presiden Moon, dimuat Korea.net, media milik Badan Kebudayaan dan Informasi Korsel (KOCIS), Senin, 30 Maret.
Anak Pengungsi Pembawa Harapan Unifikasi
Upaya kedua pemimpin Korea itu menjadi jawaban penting dari harapan banyak rakyat Korea, Selatan maupun Utara. Seorang pejabat Kedutaan Besar Korsel di Jakarta yang enggan disebut namanya mengatakan dalam obrolan santai pada medio April 2016, unifikasi Korea sejak lama didambakan olehnya dan mayoritas publik negerinya.
“Kami menginginkannya. Kami punya bahasa yang sama, juga budaya yang sama. Sudah seperti saudara. Kami satu negara (kerajaan) selama ribuan tahun,” ungkapnya dengan bahasa Indonesia terbata-bata kepada Historia.
Baca juga: Korea Bersatu di Arena
Harapan itu kini tinggal beberapa pijakan anak-tangga berkat tangan dingin Presiden Moon. Serangkaian langkah jitunya, dimulai dari pemberian izin para atlet Korut tampil di Olimpiade Musim Dingin Pyeongchan pada Februari 2018,membuat Korut “tersentuh” dan berhasrat mengiyakan ajakan damai. Moon man of the match dalam game ini.
Usut punya usut, Moon ternyata pemimpin Korsel yang lahir dari anak pengungsi Korut. Orangtua Moon termasuk di antara belasan ribu penduduk Korut yang melarikan diri dari Hungnam antara 15-25 November 1950. Mereka dievakuasi Amerika Serikat (AS) menggunakan kapal SS Meredith Victory ke Busan, Korsel. Dari Busan, orangtua Moon menetap di Geoje, kota tempat Moon dilahirkan pada 24 Januari 1953.
Baca juga: Korea Merajut Persatuan Lewat Olahraga
Sebagaimana lazimnya keluarga pengungsi Korut, Moon hidup dalam keterbatasan. Terlebih setelah ayahnya terlilit utang akibat bisnis kaus kakinya mandek. Kendati begitu, Moon tetap jadi pelajar teladan dengan nilai-nilai tinggi di Sekolah Menengah Kyungnam, hingga menerima beasiswa studi hukum di Universitas Kyunghee.
Wajib Militer Menghadapi Korut
Gara-gara mendalangi demo mahasiswa menentang Konstitusi Yusin, Moon ditahan dan di-DO kampusnya. Moon lantas menebus masa hukumannya dengan menjalani wajib militer (wamil) di satuan khusus Angkatan Darat Korsel.
Wamil ini membawa Moon “bersentuhan” dengan negara kelahiran ortunya. Moon yang sudah menyandang baret hitam, ditugaskan dalam Operasi Paul Bunyan. Operasi psywar itu merupakan balasan terhadap aksi pembunuhan dua prajurit Amerika, Kapten Arthur Bonifas dan Lettu Mark Barrett, oleh serdadu Korut di Panmunjom, 18 Agustus 1976.
Baca juga: Adu Kuasa di Angkasa Korea
Menurut Reed R. Probst dalam Negotiating with the North Koreans: The U.S. Experience at Panmunjom, insiden itu berawal dari sebuah misi pimpinan dua prajurit AS yang ikut dalam penjagaan DMZ di Panmunjom, untuk menebang sederetan pohon di antara pos jaga UNC (Komando Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan Korut di kawasan perbatasan. Misi itu kepergok 15 serdadu Korut dan berujung pada pembunuhan Kapten Bonifas dan Lettu Barrett.
Moon dan rekan-rekannya berhasil menjalankan Operasi Bunyan dengan lancar. Mereka kembali ke zona mereka tanpa desingan peluru dari Korut. Selepas wamil pada 1979, Moon mengulang studi hukumnya. Dia kemudian bermitra dengan Roh Moo-hyun menjadi pengacara HAM.
Karier Moon melejit berbarengan naiknya Roh ke kursi Korsel 1 (2003-2008). Moon dipercaya Roh jadi Sekretaris Senior Presiden Bidang Kemasyarakatan. Moon juga masuk ke parlemen di Pemilu 2012 dengan kendaraan Partai Persatuan Demokratik. Pasca-pemakzulan Presiden Park Gyun-hye pada 2017, Moon mencalonkan diri sebagai presiden dan menang.
Baca juga: Lapangan Golf dan Perseteruan Korea
Meski pernah dituduh sebagai simpatisan Korut, Moon tetap mendapat 41,08 persen kepercayaan rakyat Korsel. Moon berhasil menjawab kepercayaan itu dengan membawa Korsel ke era baruuntuk bisa kembali berangkulan dengan saudara mereka dari Utara.
“Saya sangat senang karena pertemuan ini terjadi di tempat bersejarah. Dan saya tergerak melihat Anda mau menerima saya di Garis Demarkasi Militer Panmunjom. Mungkin kini saat yang tepat buat Anda (bergantian) datang ke wilayah Utara,” tandas Kim Jon-un kepada Presiden Moon, disitat Time, 27 April 2018.