RUMAH vertikal nan mewah itu begitu memukau Kim Ki-woo (diperankan Choi Woo-shik). Sampai ia gugup ketika memencet tombol bel. Namun pikiran untuk mengubah kehidupan keluarganya jadi lebih baik mengungguli perasaan inferior itu. Ia datang memperkenalkan diri sebagai guru les bahasa Inggris baru.
Demikian intisari pembuka film Parasite yang diramu sineas Bong Joon-ho. Film thriller berbalut komedi yang begitu dark berdurasi 132 menit ini sejatinya diputar pertamakali di Festival Film Cannes ke-72, 21 Mei 2019. Namun, ia baru merambah bioskop-bioskop Indonesia mulai 21 Juni-15 Agustus 2019.
Ceritanya sendiri berpusar pada keluarga Ki-woo yang hidupnya memprihatinkan. Sebuah peluang langsung mereka sambut untuk memperbaiki ekonomi keluarga meski dengan cara nista, penipuan.
Baca juga: Jalan Pintas Menuju Harta, Tahta, dan Wanita
Namun, twist film ini jangan sangka bakal mudah ditebak. Plotnya bakal bikin mindblowing meski beberapa alurnya sedikit rumit. Ki-woo seolah jadi “pembuka pintu” buat ayah, ibu dan kakak perempuannya yang menganggur semua, jadi punya pekerjaan di rumah keluarga Park yang kaya itu. Bahkan, mereka seolah bisa menguasai rumah dan menikmati hidup mewah meski hanya beberapa jam saja.
Di film ini, sineas Bong Joon-ho akan mengajak penonton menyimak betapa intimnya keluarga Kim yang miskin dan keluarga Park yang kaya. Kepintaran anak-anak keluarga Kim membuat mereka bisa mengandalkan hidup pada keluarga Park sebagai parasitis. Bong berhasil mengemasnya dengan komedi tanpa badut dan tragedi tanpa peran antagonis. Salah satu kunci alur film, kata Bong, ada pada set rumah mewah yang punya banyak tangga.
“Rumah mewah itu berstruktur vertikal – lantai satu, lantai kedua, dan ruang bawah tanah. Tiap bagian rumah itu dihubungkan oleh tangga-tangga yang menjadi kunci metafora untuk pemisahan status sosial,” tutur Bong, dikutip Korea Herald, 22 Mei 2019.
Adegan demi adegannya cukup menggigit. Sejumlah kritikus dan media-media film asing pun mengacungi jempol dalam beragam ulasan. Raihan Palme d’Or pada Festival Film Cannes 2019 sebagai gelar film festival bergengsi sudah jadi bukti.
Torehan Bersejarah Jelang Momen Bersejarah
Anugerah dari Cannes itu menandai sejarah baru untuk perfilman “Negeri Ginseng”. Parasite tercatat sebagai film Korea pertama yang menerima penghargaan itu, kado terbaik bagi perayaan 100 tahun perfilman Korea pada 27 Oktober 1919 nanti.
“Tahun ini menandai 100 tahun peringatan perfilman Korea. Anugerah Palme d’Or jadi hadiah yang sangat bermakna untuk semua sineas dan rakyat Korea. Status budaya hallyu naik lagi satu level ke atas,” kata Presiden Moon Jae-in dalam kicauannya di akun Twitter pribadinya, @moonriver365, 25 Mei 2019.
Baca juga: Tangan Dingin Moon Jae-in
Bagaimana permulaan film Korea seabad lampau sesungguhnya sangat mirip dengan bagaimana perfilman Indonesia lahir hingga disepakati 30 Maret –sebagai hari pertama produksi film Darah dan Doa: The Long March garapan sineas anak negeri pertama, Usmar Ismail– sebagai Hari Film Nasional.
Hari perfilman Korea, yang 31 tahun lebih tua dari Hari Film Nasional, juga berawal dari pemutaran dua film yang diproduseri orang Korea, Uirijeok Gutu dan Scenes of Kyongsong City (dokumenter), yakni pada 27 Oktober 1919. Dua film itu diproduseri pemilik Bioskop Dansung-sa, Pak Sung-pil, dan disutradarai Kim Do-san. Dansung-sa juga jadi satu-satunya bioskop milik orang Korea saat negeri itu masih dijajah Jepang.
Periset Studi Media dan Kultur Brian Yecies dan periset Studi Pop Kultur Shim Ae-gyung dalam Korea’s Occupied Cinemas, 1893-1948: The Untold History of the Film Industry memaparkan, film mulai masuk Korea sejak 1897. Secara terbatas, film-film dari China ditayangkan mulanya di sebuah barak pasukan Joseon di Jongogae. Film yang dianggap oleh Dinasti Joseon saat itu sebagai lukisan bergerak.
Seiring terbukanya Korea untuk negeri-negeri asing sejak 1893, kultur Jepang, China, hingga Eropa turut masuk. “Tapi di saat yang sama orang Korea dilarang terjun langsung dalam produksi, distribusi, dan menayangkan film,” sebut Yecies dan Shim.
Baca juga: Korea Bersatu di Arena
Maka yang ada di Korea hanya berupa pameran-pameran penayangan film asing dan itupun dipegang penuh oleh pejabat-pejabat kolonial Jepang. Larangan itu baru melonggar pasca-Pergerakan Sam-il atau Pergerakan 1 Maret (1919) alias perlawanan pertama Korea terhadap kolonialisme Jepang.
Sejak itulah tampil Pak Sung-pil, pebisnis yang membuka Teater Dansung-sa. Ia pula yang lantas mendanai film pertama karya anak bangsanya.
“Sebenarnya (Uirijok Gutu) lebih kepada kombinasi gambar bergerak, kino-drama, dan teater. Karena keterbatasan peralatan dan pengalaman, sang sutradara juga menyewa jasa seorang kameramen Jepang untuk mensyuting filmnya,” ungkap Kinnia Shuk Ting Yau, profesor Studi Pop Kultur Jepang, Korea, dan Hong Kong dari The Chinese University of Hong Kong, dalam tulisannya, “Imagining Others: A Study of the Asia Presented in Japanese Cinema”, dimuat dalam Development in Asia: Interdisciplinary, Post-Neoliberal and Transnasional Perspectives.
Dunia perfilman Korea lalu diramaikan kino-drama dan dokumenter, selain dibanjiri film-film komersial asing. Pada 1926, film bisu pertama, Arirang, muncul. Judul film ini mengambil judul lagu rakyat Korea nan legendaris.
Baca juga: Kala K-pop Menggoyang Penutupan Asian Games
Film Korea pertama yang bersuara baru hadir pada 1935 lewat Chunghyang-jeon. Kendati tata suaranya masih buruk, publik Korea yang saat itu masih dikekang Jepang, amat membanggakannya.
Butuh satu dekade bagi Korea (Selatan) untuk menjadikan perfilmannya berkembang pesat pasca-lepas dari cengekeraman Jepang pada 1945. Mengutip Paquet Darcy dalam ulasannya di koreanfilm.org, 13 Maret 2013, produksi film Korea mulai menggelembung dari hanya 15 pada 1954 menjadi 111 pada lima tahun berselang. Butuh sekira satu dasawarsa lagi untuk Korea menetapkan hari film nasional mereka.
“Para sineas sudah mulai memperingati Hari Film yang mereka klaim jatuh pada 27 Oktober sejak 1963. Namun kemudian pemerintah baru mengakui, menetapkan, dan meresmikannya pada 1966,” tandas Yecies dan Shim.