LEMBAB, pengap, lusuh, dan suram. Di banjiha, ruang semi bawah tanah berukuran kecil, seperti itulah keluarga Kim hidup di sebuah komplek apartemen padat di Seoul, Korea Selatan. Mereka hidup pas-pasan dengan mengandalkan nafkah ayah sebagai pelipat kardus pizza part-time.
Kakak-beradik dari keluarga Kim, yakni Ki-jeong (diperankan Park So-dam) dan Ki-woo (Choi Woo-shik), sampai harus berebut ruang sempit di kamar mandi yang klosetnya lebih tinggi dari lantai untuk mendapatkan sinyal telepon. Keluarga Kim jelas mendambakan punya kehidupan di atas kelayakan.
Gambaran kemiskinan di negeri terkaya ke-12 dunia (per 2019) itulah yang ditonjolkan sutradara Bong Joon-ho dalam film black comedy berjudul Parasite. Film itu mencetak sejarah di Academy Awards ke-92 di Dolby Theatre, Los Angeles, Amerika Serikat, Minggu (9/2/2020) malam waktu setempat. Dari dari enam nominasi, Parasite menggondol empat Piala Oscars. Salah satunya, kategori Best Picture alias film terbaik. Parasite menjadi film Asia dan berbahasa asing pertama yang menang kategori prestisius itu.
Baca juga: Karpet Merah Piala Oscar dalam Sejarah
Namun tiada “butterfly effect” dalam kegemilangan itu. Kegirangan tim produksi dan para pemerannya di atas panggung Academy Award ke-92 itu tak serta-merta menular ke sesama orang Korea Selatan, terutama para penghuni banjiha. Seperti Song Sung-geun, pria berusia 82 tahun yang tinggal di salah satu banjiha di komplek apartemen area Samseog-dong, Distrik Gwanak, selatan Seoul, misalnya.
“Udaranya lembab dan saya tidak suka tinggal di sini. Tetapi saya tidak mampu punya tempat tinggal lain yang lebih baik,” ujarnya pasrah kala berkisah kepada Daisuke Shimizu, koresponden The Asahi Shimbun di Seoul, Senin (10/2/2020).
Penonton di segenap penjuru dunia hingga para juri-voter Piala Oscar mungkin hanya bisa melihat kenyataan itu dari 132 menit Parasite. Pun dengan para awak produksi hingga para pemainnya, hanya merasakan “gregetnya” hidup melarat seperti Song-geun selama masa produksi. Orang-orang seperti Song-geun lah yang benar-benar merasakan realitasnya.
Di distrik apartemen yang sama masih ada sekira 200 keluarga seperti Song-geun yang terpaksa tinggal di banjiha. Song-geun sendiri tinggal di sebuah banjiha dengan luas 30 meter persegi tanpa kamar mandi –lebih buruk dari gambaran keluarga Kim di film Parasite.
Baca juga: Parasite dan Seabad Perfilman Korea
Selain banjiha-nya berudara lembab, jendela hanya setinggi jalan. Maka, itu rentan polusi baik udara maupun air. Bajinha itu juga rentan banjir jika hujan lebat lantaran posisinya berisisipan dengan drainase dari belasan hingga puluhan lantai apartemen di atas kepala mereka. Lingkungannya jelas kurang sehat.
Data statistik pemerintah Korsel per 2015 mencatatkan, sekira 360 ribu keluarga tinggal di banjiha di berbagai kota di negeri itu. Sekira 220 ribu di antaranya berada di Seoul, baik yang hak milik maupun sewa.
Memang tidak semua yang tinggal di bajinha hidup di bawah garis ‘kemisqueenan’. Beberapa dari mereka di merupakan kelas menengah yang tak sanggup membeli tempat tinggal yang lebih laik mengingat tingginya harga properti di “Negeri Ginseng” itu.
“Kami mungkin bukan orang paling miskin, namun saya yakin apartemen-apartemen semi bawah tanah adalah simbol kemiskinan,” kata Kim Young-nam, perempuan berusia 61 tahun penghuni banjiha di apartemen Distrik Mapo yang jadi salah satu lokasi pengambilan gambar film Parasite.
Bunker Serangan Nuklir
Sebelum munculnya film Parasite, jarang ada film-film Korea yang menggambarkan kehidupan masyarakat menengah dan miskin yang tinggal di banjiha. Parasite membuka mata dunia lebih lebar terhadap gambaran lebih utuh Korea sebagai negara kaya. Di balik beragam bidang industri yang gemerlapan, banyak kehidupan sulit masyarakat kelas proletar yang tersembunyi di baliknya.
“Tempat tinggal seperti (banjiha) di film itu sangat serupa dengan psikologi protagonis kita. Kita menjadi negara kaya dengan sangat cepat. Dan orang-orang yang tak mampu mengejar ketertinggalan, akan merasa tersesat. Dan mereka merasakan inferioritas. Masalah ekonomi bukan sekadar angka. Namun juga tentang emosi yang besar,” tutur Bong Joon-ho, dinukil NPR Illinois, 5 November 2019.
Baca juga: Tangan Dingin Moon Jae-in dalam Perdamaian Korea
Gedung-gedung apartemen di Korea dibangun sebagai pengganti permukiman tapak yang banyak hancur usai Perang Korea (1950-1953). Utamanya di kota-kota besar seperti Seoul dan Busan seiring Korsel membangun perekonomiannya berbasis industri yang tentu mengundang urbanisasi.
“Ekonomi Korea (Selatan) mulai tumbuh sejak awal 1960-an dan telah bertransformasi dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri. Blok-blok apartemen di kota-kota dan kompleks-kompleks industri juga mulai dibangun,” ungkap Damian Harper dkk dalam Lonely Planet Korea.
Kompleks-kompleks apartemen itu mulai dibangun pada 1961. Pemerintahan militer saat itu memercayakan pembangunannya kepada Korea National Housing Corporation. Kompleks apartemen yang dibangun adalah Mapo Apartments, yang dibangun di atas lahan bekas kompleks penjara.
“Lalu dilanjutkan dengan Kompleks Apartemen Hangang di Ichondong, Seoul yang merepresentasikan desain terbaru untuk gedung apartemen. Desainnya kemudian ditiru untuk gedung-gedung apartemen lain di Distrik Banpo, Yeongdong, dan Jamsil pada 1970,” tulis Jung In-ha dalam Architecture and Urbanism in Modern Korea.
Baca juga: Korea Bersatu di Arena
Di tengah pembangunan itu, Korsel tetap dihantui konflik dengan saudaranya dari utara (Korut). Utamanya pada 1968, saat banyak infiltran militer Korut yang berupaya membunuh Presiden Korsel Park Chung-hee.
Potensi eskalasi konflik bersenjata kian terasa kala kapal AL Amerika Serikat USS Pueblo ditangkap militer Korut pada 22 Januari 1968. Di tahun itu juga sekelompok infiltran militer Korut menyatroni Blue House (Istana Kepresidenan Korsel) untuk membunuh Presiden Park, namun gagal.
Sebagai langkah preventif untuk melindungi warganya jika terjadi perang lagi, pada 1970 pemerintah Korsel mengeluarkan kebijakan agar setiap gedung apartemen yang dibangun harus mempunyai ruang bawah tanah sebagai bunker darurat saat terjadi serangan bom maupun nuklir dari utara.
“Dalam satu komplek apartemen terdiri dari tiga gedung yang memiliki tangga eksterior, sebuah ruangan semi bawah tanah dan pilotis (dinding penopang beton bertulang, red.), sesuai kebijakan pemerintah tentang bangunan permukiman yang punya batasan jumlah lantai. Pembangunan ruang semi bawah tanah paling disukai pengembang karena tak terhitung dalam batasan lantai yang ditetapkan pemerintah,” lanjut In-ha.
Mulanya, pemerintah melarang setiap pengembang maupun pemilik apartemen menyewakan atau menjual banjiha itu lantaran diperuntukkan khusus untuk situasi darurat. Namun tingginya kebutuhan permukiman akibat kebutnya laju industri dan perekonomian Korsel pada 1980-an membuat pemerintah melegalkan praktik jual-beli atau sewa banjiha untuk hunian.
Baca juga: Korea Merajut Persatuan Lewat Olahraga