LANGIT di atas Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) cerah Sabtu (18 Agustus 2018) malam itu, seolah tersenyum mengiringi gempita upacara pembukaan Asian Games XVIII. Banyak orang, termasuk media asing, mengagumi upacara pembukaan itu yang oleh beberapa pihak dianggap melebihi pembukaan Piala Dunia 2018, Olimpiade Musim Panas 2016 Rio de Janeiro, dan Olimpiade Musim Dingin 2018 Pyeongchang.
Hal yang juga patut jadi perhatian lebih dalam adalah defile kontingen. Meski ada 45 negara yang terdaftar ikut, hanya 44 kontingen yang menyapa puluhan ribu penonton di stadion. Yang menarik, kontingen Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) melebur jadi satu rombongan dengan satu bendera: bendera Unifikasi Korea atau Korea Bersatu yang berwarna dasar putih dengan motif Semenanjung Korea berwarna biru di tengahnya.
Bendera itu diusung pebasket putri Korsel Lim Yung-hui dan pesepakbola Korut Ju Kyong-chol. Ketika rombongan mereka melintas di tengah arena, Perdana Menteri (PM) Korut Ri Ryong-nam dan PM Korsel Lee Nak-yong langsung berdiri, bergandengan tangan serta melambaikan tangan kepada kontingen. Selain kontingen tuan rumah, kontingen Korea yang mendapat sambutan paling ramai.
Itu kali pertama kedua negara ber-defile sebagai satu kesatuan dan kali kedua bendera unifikasi muncul di pentas Asian Games. Bendera itu juga eksis di Asian Games 1990 di Beijing walau tak menaungi atlet manapun.
Asian Games 2018 juga jadi kali kedua atlet-atlet dari kedua Korea tampil di bawah tim unifikasi setelah di Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang, 9-25 Februari 2018. Di Pyeongchang, tim Unifikasi Korea tampil hanya di cabang hoki putri. Di Asian Games 2018, tim Unifikasi Korea turun di cabang basket putri, perahu naga putra dan putri, serta dayung putra dan putri.
Perang dan Rekonsiliasi
Warga kedua Korea pernah saling bunuh dalam Perang Korea (1950-1953). Akibat perang itu, menurut data Kementerian Pertahanan Korsel tanggal 20 Januari 2013, sekitar 178 ribu serdadu Korsel, 750 ribu tentara Korut, dan 2,5 juta warga sipil di utara dan selatan tewas.
Perang yang hanya dihentikan sementara lewat gencatan senjata itu juga mengakibatkan banyak keluarga hidup terpisah, seperti yang dialami keluarga Bae Dong-sun, penulis dan peneliti sejarah modern dari Korean Cultural Centre. “Mama saya aslinya dari (Korea) Utara. Waktu zaman perang, dia kabur ke (Korea) Selatan. Sampai sekarang, dia hidup terpisah dari orangtua dan keluarganya yang lain,” ujarnya kepada Historia.
Di tataran akar rumput, banyak masyarakat Korea menginginkan reunifikasi. Keinginan itu mulai berhembus tahun 1969, kala Badan National Unifikasi (kini Kementerian Unifikasi) didirikan di masa kepresidenan Park Chung-hee.
“Tentu ada pro dan kontranya. Soal ini sangat anti dibahas di zaman presiden sebelumnya, Rhee Syngman,” Rostineu, dosen Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menimpali.
Upaya unifikasi baru benar-benar diimplementasikan pada 1998, semasa Korsel diperintah Presiden Kim Dae-jung. Kim mengeluarkan Kebijakan Sinar Matahari yang bertujuan untuk mengambil hati pihak Korut dengan mendorong interaksi langsung terkait bantuan ekonomi.
“Terus upaya unifikasinya dilanjutkan di era kepresidenan Roh Moo-hyun yang waktu itu meninggalnya bunuh diri. Presiden Roh juga sempat diterpa tekanan dari kubu oposisi yang menentang hubungan dengan Korut,” lanjut Rostineu.
Isu tentang hubungan dengan Korut, kata Bae, masih sensitif di Korsel. “Di Korea Selatan, masyarakatnya sudah banyak yang ingin bersatu kembali. Kalau di pemerintahnya, tergantung siapa yang sedang berkuasa. Kalau pemerintah di Korut, saya tidak tahu persis bagaimana perhatian terhadap isu ini,” ujar Bae.
Di mata elit pemerintahan, olahraga tampaknya jadi sarana paling pas untuk rekonsiliasi. “Ketimbang politik atau ekonomi, olahraga paling mudah untuk memulai upaya persatuan lagi. Itu cara paling baik daripada konflik untuk bisa bersatu, terutama dengan keluarga yang terpisah di utara,” imbuhnya.
Belakangan, hubungan kedua negara mulai erat. Terlebih setelah pemimpin Korut Kim Jong-un dengan Presiden Korsel Moon Jae-in menandatangani Deklarasi Panmunjom pada 27 April 2018. Deklarasi itu jadi tonggak sejarah baru upaya mengakhiri Perang Korea secara permanen.
Baca juga:
Adu Kuasa di Angkasa Korea
Gerilyawan Korea di Pihak Indonesia
Tangan Dingin Moon Jae-in
Sepakbola Palestina Merentang Masa