Sepakbola Palestina Merentang Masa
Sepakbolanya lahir dari zaman perang. Dirajut dari masa ke masa di tengah konflik.
TAMPIL di hadapan sekitar 28 ribu pendukung tuan rumah di Stadion Patriot Candrabaga, Kota Bekasi, Rabu (15/8/2018), tim Palestina U-23 tak nampak tertekan. Abdallatif al-Bahdari dkk. serasa bermain di rumah sendiri. Sejumlah bendera Palestina dipajang, dikibarkan, bahkan dikoreografikan suporter timnas Indonesia U-23.
Memang beberapa kali terdengar sorakan sumbang saat para pemain Palestina memegang bola. Tapi anehnya, sekali-dua kali turut terdengar nyanyian dukungan, “Palestina…Palestina!” dari suporter Indonesia.
Apa yang terjadi di laga penyisihan Grup A cabang sepakbola putra Asian Games 2018 itu jadi bukti solidaritas bangsa Indonesia dan Palestina sangat erat. Indonesia sejak masa Presiden Sukarno sudah pasang badan di barisan terdepan mendukung kemerdekaan Palestina. Dari waktu ke waktu, bantuan terus disalurkan ke Tepi Barat maupun Jalur Gaza, termasuk pendirian Rumahsakit Indonesia di Palestina.
Sejumlah Bendera Palestina Dibentangkan Suporter Indonesia (Foto: Randy Wirayudha/Historia)
Mau tak mau, perkara politik masuk ke arena. Kendati berulang kali PSSI (induk sepakbola Indonesia) mendenda klub-klub Liga Indonesia gara-gara suporternya membentangkan bendera Palestina, bendera Palestina tetap saja jadi panji kedua yang diusung para suporter di Stadion Patriot.
Di konferensi pers pasca-pertandingan, pelatih timnas Palestina Ayman Sandouqa menghaturkan terimakasihnya. “Terimakasih untuk para suporter Indonesia yang mendukung kami meskipun kami melawan tim tuan rumah,” ujar Sandouqa.
Suporter Indonesia memang menundukkan kepala lantaran tim pujaannya kalah 1-2 dari Palestina. Namun, itu tak melunturkan solidaritas begitu saja. Dari pengamatan Historia, sejumlah suporter Indonesia yang berkerumun di luar stadion pasca-pertandingan, ikut menyorakkan chant “Palestina” kala bus tim Palestina perlahan meninggalkan stadion.
Buat Tim Garuda, hasil yang diperoleh memang menyakitkan lantaran punya target mencapai semifinal. Terlebih, Indonesia sudah lama menikmati kemerdekaan namun tetap inferior dari tim Palestina yang sampai detik ini masih dirongrong tetangganya, Israel.
Lembar Sejarah Sepakbola Palestina
Titik nol permainan si kulit bundar di Palestina dan Indonesia sebenarnya tak berbeda jauh. Induk sepakbola mereka berdiri pada 1928, tahun yang sama dengan berdirinya Persija Jakarta. Tapi jauh sebelum itu, sepakbola sudah menular di Palestina setelah dimainkan para serdadu Inggris di masa Perang Dunia I.
Virus bola itu lalu menular ke masyarakat. Namun, menurut Richard Henshaw dalam The Encyclopedia of World Soccer, perkembangan sepakbola di Palestina pasca-Perang Dunia I justru bergulir hanya di kalangan orang-orang Yahudi. Orang-orang Arab muslim saat itu masih dilarang main bola karena dianggap budaya orang Barat.
Alhasil, saat kewenangan Palestina di tangan British Mandatory, klub-klub yang berkembang hanya milik orang-orang Yahudi. Selain Maccabi Haifa, ada Hapoel Tel Aviv atau klub milik orang Inggris, The Gaza Flyers. Baru setelah itu klub-klub orang Arab Palestina lahir, salah satunya Islamic Sports Club. Klub milik keluarga Nusseibeh itu satu-satunya klub Arab Palestina di antara 14 tim Yahudi yang ikut mendirikan induk sepakbola Palestina, Palestine Football Association (PFA), pada 14 Agustus 1928 di Yerusalem.
“Pada 1929 sebenarnya PFA sudah diterima sebagai anggota FIFA dengan pengajuannya direkomendasikan Mesir. Mereka diterima setelah PFA menggulirkan kompetisi yang diikuti klub-klub dari semua golongan. Strukturnya ada Divisi Utama dengan 10 tim, Divisi Dua dengan 20 tim, dan Divisi Tiga dengan 39 tim,” ungkap J. A. Mangan dalam Europe, Sport, World: Shaping Global Societies.
Laga internasional perdana timnas Mandatory Palestine terjadi saat menjalani laga persahabatan kontra Mesir di Kairo, 16 Maret 1934. Mereka datang dengan bendera Inggris dan lagu kebangsaan “God Save the King”. Di laga itu, Palestina dikoyak 1-7.
Namun, sepeninggal Inggris pada 1948 semuanya berubah. Benih-benih konflik timbul. PFA yang awalnya menaungi semua klub dan pemain multi-etnis, sempat vakum dan kemudian diambilalih Israel. Namanya berubah jadi Israel Football Association (IFA). Pihak Palestina baru bisa membangun sepakbolanya lagi dengan terbentuknya Arab National Football League dan PFA baru pada 1962.
Sebagaimana banyak negara yang baru atau ingin merdeka, Palestina mengajukan keanggotaan ke FIFA. Namun, banyak syarat yang menggagalkan upaya itu. Satu yang terpenting, soal pemerintahan (legitimasi politik). Hingga 1994, belum ada otoritas pemerintahan yang benar-benar berdiri di Palestina. Kondisi itu baru berubah setelah berdirinya Palestinian National Authority (PNA) yang lahir dari kesepakatan Palestine Liberation Organization (PLO) dengan Israel via Oslo Accords pada 1993.
Tonggak baru bagi kehidupan masyarakat Palestina itu ikut masuk ke persepakbolaan. Pada 1998, Palestina diterima sebagai anggota FIFA dan resmi jadi anggota Asian Football Confederation (AFC) pada 2001.
“Kompetisi pertama yang diikuti timnas Palestina setelah masuk FIFA adalah Pan-Arab Games 1999 di Yordania. Di bawah pelatih asal Argentina Ricardo Carugati, mereka tampil hebat dengan finis di urutan tiga,” tulis John Nauright dan Charles Parrish dalam Sports Around the World: History, Culture and Practice Volume 2.
Namun karena wilayah negerinya terpisah dua, demi pembinaan dan pengembangan sepakbolanya PFA mesti menaungi dua liga: Liga Jalur Gaza dan Liga Tepi Barat. Perkembangan sepakbola di Palestina pun tak bisa semulus negara lain. Terlebih sejak adanya blokade Israel di Gaza yang sempat melumpuhkan aktivitas sepakbola di sana. “Pada umumnya Tepi Barat-lah yang kemudian jadi pusat baru persepakbolaan Palestina,” imbuh Nauright dan Parrish.
Hampir semua fasilitas olahraga hancur akibat konflik berkepanjangan Palestina-Israel. Untuk berlatih atau bertanding di beragam kompetisi regional maupun internasional, timnas Palestina mesti mengungsi ke Yordania, bahkan kadang sampai ke Qatar.
Penderitaan itu membuat FIFA beberapakali menggulirkan program bantuan, mulai “Goal”, pengembangan sepakbola, hingga bantuan rekonstruksi stadion-stadion di Palestina. Salah satunya, Stadion Faisal al-Husseini di Ramallah. Stadion yang hancur itu dibangun kembali dan diresmikan 26 Oktober 2008 oleh Presiden FIFA Sepp Blatter.
Lewat Nota Kesepahaman yang ditandatanganani pada September 2013, FIFA juga membentukTim Khusus (Timsus) Israel-Palestina yang berisi perwakilan FIFA, IFA, dan PFA. “Fakta bahwa pihak Israel dan Palestina sepakat untuk berpartisipasi dana timsus ini, sudah jadi pertanda niat baik di antara keduanya dalam hal perdamaian,” kata Blatter di laman FIFA, 3 September 2013.
Timnas Palestina U-23 di Stadion Candrabaga, Bekasi (Foto: Randy Wirayudha/Historia)
Meski realitanya Palestina masih direcoki Israel yang berulangkali menimbulkan banjir darah, timnas Palestina mulai bisa unjuk gigi dalam prestasi. Pada 2014, Palestina juara AFC Challenge Cup. Setahun kemudian, mereka lolos untuk kali pertama ke Piala Asia 2015 di Australia meski hanya berakhir di fase grup.
Tak salah bila suporter Indonesia di Stadion Patriot respek pada mereka. Meski perang terus merundung Palestina, mereka mampu melangkah setapak demi setapak namun pasti. “Kita akui, Palestina memang satu level di atas kita,” ucap kiper timnas Andritany Ardhiyasa usai laga melawan Palestina.
Baca juga:
Darah dan Air Mata Palestina
Sukarno dan Palestina
Sumbangsih Pertama Indonesia untuk Palestina
Medali yang Dirindukan
Pesan Bung Karno dan Rujak Diponegoro
Tambahkan komentar
Belum ada komentar