Medali yang Dirindukan
Berharap menyamai prestasi enam dekade lalu yang membawa pulang perunggu.
EUFORIA puluhan ribu suporter timnas Indonesia U-23 di Stadion Patriot Candrabaga, Kota Bekasi, 12 Agustus 2018 itu sangat terasa. Harapan munculnya prestasi tinggi dari cabang sepakbola putra melesat ke angkasa.
Meski pembukaan resminya baru akan bergulir 18 Agustus, cabang sepakbola Asian Games XVIII Jakarta-Palembang sudah dimulai sejak 10 Agustus. Tuan rumah yang dibesut pelatih asal Spanyol, Luis Milla, memulai laga perdana di Grup A dengan kemenangan 4-0 atas Taiwan (China Taipei).
Stefano Lilipaly yang mencetak dua gol, muncul jadi pahlawan baru. Namanya begitu dipuja sampai dijadikan chant-chant para suporter. Pemain blasteran Belanda-Indonesia itu bersama rekan-rekannya tentu bisa tampil menggebu lagi di laga kedua kontra Palestina, Rabu (15/8/2018) di venue yang sama. Pun di laga-laga berikutnya kontra Laos dan Hong Kong, untuk meneruskan mimpi lolos grup agar bisa berbicara banyak di fase 16 besar.
Kalaupun mimpi merebut medali emas dianggap terlalu tinggi, target mencapai babak empat besar (semifinal) sebagaimana di Asian Games 1954 dan 1986 jadi target yang cukup logis. Pelatih Luis Milla pun, seperti dimuat laman resmi AFC, 24 Juli 2018, punya harapan dan target demikian: minimal sampai empat besar.
Jelas, langkah timnas takkan mudah. Masih ada macan-macan Asia macam Jepang dan Korea Selatan di grup lain dan bukan tidak mungkin akan jadi batu sandungan di 16 besar seandainya timnas lolos dari fase grup.
“Dulu juga Jepang dan Korea levelnya sudah kelas dunia. Sementara kita tidak diperhitungkan,” kenang Robby Darwis, eks pemain timnas Asian Games 1986, kepada Historia.
Tampil di rumah sendiri diharapkan jadi ekstra stimulan bagi tim Garuda Muda. “Saya pribadi optimis karena memang kita sekarang sebagai tuan rumah. Support penonton juga pasti besar. Lihat materi pemain sekarang juga lebih bagus. Walau di beberapa laga ujicoba kurang bagus, tapi saya optimis. Minimal bisa masuk empat besar-lah, seperti yang kita dulu pernah capai. Kalau lebih ya syukur, kalau enggak ya minimal empat besar,” imbuhnya
Medali Berharga dan Skandal Senayan
Bicara prestasi di lapangan hijau Asian Games, timnas pernah membawa pulang sekeping medali perunggu di Asian Games III Tokyo 1958. Prestasi itu meningkat pesat. Di Asian Games I di New Delhi 1951, Indonesia hanya sampai perempatfinal dan Asian Games II Manila 1954 hanya semifinal.
Di Asian Games I, sistemnya masih sistem gugur, Indonesia hanya tampil sekali dan langsung kalah oleh tuan rumah tiga gol tanpa balas, 5 Maret 1951. Tapi Maulwi Saelan dkk. pulang dengan kemenangan di laga hiburan kontra Birma (kini Myanmar), 9 Maret 1951 di Delhi.
“Tim Indonesia berhasil mengalahkan Birma dengan kedudukan 4-1. Meskipun pertandingan bukan dalam rangka Asian Games I, hanya pertandingan persahabatan, itu jadi hiburan dari kegetiran tersingkir dari pesta olahraga bangsa-bangsa Asia itu,” ungkap catatan Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah: Periode 1945-1965 terbitan Ditjen Olahraga Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004.
Adapun di Asian Games II di Manila, Indonesia sempat jadi juara Grup C dengan dua kemenangan atas Jepang dan India. Sialnya, Ramang cs. justru kalah 2-4 dari Republic of China (kini Taiwan) di Rizal Memorial Stadium, 7 Mei 1954. Di laga perebutan perunggu pun Indonesia keok 5-4 dari Birma.
Indonesia baru bisa merebut medali (perunggu) pertama di Asian Games III. Di penyisihan Grup B, Indonesia jadi juara grup dengan dua kemenangan atas India dan Birma. Di perempatfinal pun Indonesia mengandaskan Filipina 5-2.
Namun, di semifinal Indonesia kalah 0-1 dari Republic of China. Untung mereka pulang dari Negeri Sakura dengan medali perunggu setelah sukses menekuk India 4-1 di laga perebutan juara tiga. Hasil yang sampai kini masih jadi medali satu-satunya dari cabang sepakbola itu jadi tonggak harapan untuk meraih prestasi lebih di Asian Games berikutnya di negeri sendiri.
Di Asian Games IV 1962 di Jakarta, Wowo Sunaryo dkk. di bawah asuhan pelatih Antun ‘Toni’ Pogačnik digembleng sejak 1961 dengan menjalani sejumlah tur dan laga ujicoba. Timnas antara lain menjamu Yugoslavia Selection (kalah 2-3), Malmö FF dari Swedia (kalah 0-2), Petrolul dari Rumania (kalah 3-4), dan Thailand (menang 7-1).
Sayang, menjelang sebelum Asian Games 1962 skandal pengaturan skor mencuat. Sepuluh pemain yang terlibat dicoret. Toni Pogačnik terpukul. “Kalau saja tidak terjadi suap-suapan, tim itu dapat mencapai standar internasional,” ujarnya, dimuat dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1981-1982.
Dengan pemain “tambal-sulam” untuk menggantikan 10 pilar utama yang dipecat, timnas gagal lolos fase grup. Selebihnya, timnas melulu tanpa prestasi. Di Asian Games 1966 dan 1970, hanya mencapai perempatfinal. Pada edisi 1974, 1978, dan 1982 bahkan tak mengirimkan tim.
Baru pada 1986 timnas ikut lagi. Robby Darwis dkk. mencapai semifinal. Di babak empat besar itu, Indonesia dibekuk tuan rumah Korea Selatan 0-4. Sementara di laga perebutan perunggu, digilas Kuwait 0-5.
Di tiga Asian Games berikutnya (1990, 1994, 1998) Indonesia kembali tak ikut. Sejak aturan tim yang diperbolehkan tampil adalah tim U-23 diterapkan tahun 2002, Indonesia baru ikut cabang sepakbola lagi pada Asian Games 2006 di Doha. Lagi-lagi, Indonesia gagal menembus grup. Sementara di 2014, terhenti di babak 16 besar.
Tahun ini, Indonesia kembali jadi tuan rumah dan ada harapan besar dari publik terhadap Stefano Lilipaly dkk. Mereka butuh doa dan dukungan ratusan juta rakyat Indonesia untuk mencapai target semifinal, atau mungkin medali yang dirindukan sejak 1958.
“Kita mulai mimpi kita di Asian Games. Selalu berpikir positif. Selangkah demi selangkah. Yakinlah Indonesia!” kata Luis Milla membakar semangat via akun Twitter pribadinya, @Luismillacoach.
Baca juga:
Prahara 1998 Bikin Kacau Sepakbola
Robby Darwis yang Legendaris
Ketika Robby Dikerjai Malaysia
Main Bola Bukan untuk Pamer Paha
Tendang Bola Bisa Hilang Keperawanan?
Tambahkan komentar
Belum ada komentar