ISU boikot menghantui Olimpiade Paris 2024 yang mengusung slogan OUVRONS grand les jeux (Olahraga terbuka lebar). Salah satu yang jadi perhatian, soal keikutsertaan Rusia dan Belarusia, serta negara Zionis Israel di pesta olahraga terbesar yang edisi ke-33 (26 Juli-11 Agustus 2024) tersebut.
Terkait Belarusia dan Rusia, Komite Olimpiade Internasional (IOC) sendiri yang merekomendasikan sejumlah federasi olahraga untuk mengeluarkan larangan bertanding bagi atlet-atlet Belarusia dan Rusia, imbas invasi Rusia ke Ukraina sejak 2022. Sejumlah kontingen, seperti Denmark, Finlandia, Islandia, Swedia, Polandia hingga Ukraina, sempat mengancam akan memboikot Olimpiade Paris 2024. Akhirnya ditetapkan para atlet Rusia dan Belarusia tetap diperbolehkan bertanding sebagai atlet individu berstatus netral tanpa identitas nasional.
Sedangkan soal Israel, beberapa kontingen asal dunia Arab, bahkan sejumlah politisi sayap kiri Prancis juga menyerukan sanksi larangan kepada kontingen dan atlet Israel. Negara zionis itu tak bergeming kendati seluruh dunia mengecam aksi-aksi genosidanya terhadap Palestina sejak Oktober 2023.
Baca juga: Epilog Tragis Sang Pengusung Bendera Palestina di Olimpiade
Kendati International Criminal Court sudah mengindikasikan genosida dilakukan Israel, IOC justru mengancam para atlet pro-Palestina manapun dengan sanksi larangan berkompetisi jika menolak bertanding melawan atlet-atlet Israel. Presiden IOC Thomas Bach juga menjamin Israel akan tetap berpartisipasi.
“Tidak, tidak ada keraguan tentang (partisipasi Israel) tersebut. Dan sejak terjadinya serangan mengerikan terhadap kontingen Israel (di Olimpiade Munich 1972) akan selalu ada kebijakan (keamanan) khusus kepada para atlet Israel,” cetus Bach, dikutip Associated Press, 7 Maret 2024.
Tentu bukan kali ini saja isu boikot menggema menjelang hajatan olimpiade. Ada yang berujung pada aksi nyata boikot beberapa negara peserta, ada pula yang akhirnya urung memboikot.
“Boikot dalam olimpiade biasanya terjadi karena tiga alasan utama: karena Perang Dingin, apartheid, dan ras atau imperialisme. Adanya sejumlah boikot menjadi ironi tersendiri karena salah satu gagasan utama di balik olimpiade modern adalah menciptakan komunita olahraga internasional yang bebas dan tidak akan termanipulasi politik negara,” ungkap John Horne dan Garry Whannel dalam Understanding the Olympics.
Tetapi isu boikot yang kontroversial tetap saja terjadi. Semisal Olimpiade Berlin 1936 yang sempat terancam boikot Amerika Serikat hingga Uni Soviet –yang memprotes rasisme dan diskriminasi kaum Nazi di Jerman– walau akhirnya tetap ikut bertanding ke Berlin. Berikut lima olimpiade lainnya yang tetap diboikot sejumlah partisipannya:
Baca juga: Etalase Nazi di Olimpiade
Olimpiade Melbourne 1956
Untuk pertamakalinya aksi boikot benar-benar terjadi di olimpiade modern pada edisi ke-16 di Melbourne, Australia (22 November-8 Desember 1956). Ada sembilan kontingen yang menarik diri dari keikutsertaan imbas dari tiga isu global yang tengah memanas.
Pertama, terkait invasi Uni Soviet yang mengintervensi Revolusi Hungaria 23 Juni-11 November 1956. Imbasnya, Spanyol, Belanda, Swiss, dan Liechtenstein memboikot sebagai aksi protes terhadap IOC mengizinkan Soviet tetap tampil.
“Konflik antara Uni Soviet dan Hungaria pecah di Olimpiade saat kedua tim berhadapan di semifinal (cabang) polo air. Wasit sampai menghentikan pertandingan setelah terjadi baku pukul dan baku tendang. Pertandingan yang dikenal sebagai ‘Pertandingan Berdarah di Dalam Air’,” sambung Horne dan Whannel.
Baca juga: Dendam Hungaria terhadap Soviet Terbalaskan di Australia
Kedua, terkait invasi Israel ke Sinai dan Krisis Suez (29 Oktober-7 November 1956) ketika Mesir dikeroyok Israel, Amerika Serikat, dan Inggris. Alhasil Mesir, Lebanon, Irak, dan Kamboja pilih boikot.
Ketiga, Republik Rakyat China (RRC) juga menarik diri. Gara-garanya IOC tidak hanya mengakui keanggotaan tapi juga mengizinkan keikutsertaan Republic of China (ROC) alias Taiwan.
Olimpiade Tokyo 1964
Buntut dari kebijakan Presiden Sukarno yang melarang keikutsertaan Republic of China/Taiwan dan Israel dalam Asian Games 1962 di Jakarta –sebagai aksi solidaritasnya terhadap Palestina, IOC “menghukum” Indonesia dengan menjatuhkan sanksi. Indonesia pun melawan sanksi dengan membuat pesta olahraga tandingan, Games of the New Emerging Forces (Ganefo), pada 1963. Konsekuensinya, IOC melarang kontingen dan atlet Indonesia yang tampil di Ganefo 1963 di Jakarta bertanding di Olimpiade Tokyo 1964.
“Kalau bukan masalah politik, mungkin kita sudah bisa dapat medali di tahun 1964 di (Olimpiade) Tokyo,” kenang Hendrik Brocks pembalap sepeda legendaris, kepada Historia.
Baca juga: Asa yang Kandas di Negeri Sakura
Setelah diadakan sejumlah lobi, sanksi terhadap para peserta Ganefo dan juga Indonesia dicabut. Pasalnya sanksi terhadap Indonesia akan memicu boikot yang lebih luas dari negara-negara Asia dan Timur Tengah.
“Presiden Meksiko (Adolfo López Mateos) mengambil prakarsa terobosan menghubungi pihak (tuan rumah) Jepang yang berusaha menemukan jalan keluar lewat lobi-lobi internasional. Hasilnya pada Juni 1964 skorsing terhadap Indonesia dicabut dan Jepang mengundang kontingen Indonesia ke Olimpiade Tokyo,” tulis Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno.
Kendati demikian, Indonesia tetap memutuskan mundur. Diikuti aksi boikot RRC dan Korea Utara sebagai bentuk solidaritas.
“Sebenarnya tim balap sepeda dan beberapa cabang lain sudah lebih dulu diberangkatkan ke Jepang. Tapi paginya sebelum pembukaan (10 Oktober 1964), kita disuruh mengepak koper semua untuk pulang ke Indonesia. Kita semua mundur dari olimpiade,” tandas Hendrik.
Olimpiade Meksiko 1968
Pesta olahraga musim panas terbesar dunia edisi ke-19 mulanya terancam boikot besar-besaran sejumlah kontingen, termasuk Amerika Serikat. Pasalnya, IOC mempertimbangkan pencabutan sanksinya terhadap negara apartheid, Afrika Selatan, yang sudah diberikan sejak 1960.
“Negara-negara Afrika dan atlet-atlet Amerika keturunan Afrika mengancam boikot jika Afsel ikut serta dan negara-negara Blok Timur mengeluarkan ancaman serupa. Pada April 1968 akhirnya IOC menyatakan bahwa tidaklah bijak untuk mengizinkan Afsel berpartisipasi. Afsel baru diizinkan berpartisipasi pada 1992 (pasca-apartheid runtuh),” ungkap Richard Epsy dalam The Politics of the Olympic Games: With an Epilogue, 1976-1980.
Namun, pada akhirnya tetap ada satu kontingen yang bersikeras memboikot: Korea Utara. Sebelumnya Korut juga memboikot Olimpiade Tokyo 1964 menyusul Indonesia dan RRC (China) akibat kontroversi Ganefo 1963.
“Mundurnya (Korut) termotivasi akibat kemarahan karena keputusan IOC. Pada Keputusan Sesi (Rapat) IOC ke-68 di Mexico City pada 1 November 1968, kontingen (Korut) diharuskan tetap menyandang identitas sesuai geografi, ‘North Korea’, sementara pihak peserta bersikeras dengan identitas Democratic People’s Republik of Korea (DPRK/Republik Demokratik Rakyat Korea). Keputusan yang serupa ketika IOC memaksa German Democratic Republik (GDR/Republik Demokratik Jerman memakai nama East Jerman (Jerman Timur) dan ROC dengan nama Taiwan,” ungkap John Grasso, dkk. dalam Historical Dictionary of the Olympic Movement.
Baca juga: Mula Api dan Pawai Obor Olimpiade