top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Asa yang Kandas di Negeri Sakura

Penyesalan legenda balap sepeda Hendrik Brocks di Olimpiade 1964. Gegara politik.

21 Feb 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Hendrik Brocks, legenda balap sepeda Indonesia (Foto: Dok. Pribadi Hendrik Brocks)

BERAGAM foto hitam-putih menghiasi tiga sisi dinding ruang tamu kediaman Hendrik Brocks di Sriwidari, Kota Sukabumi. Sejumlah piagam dan medali yang tertata rapi di satu lemari kaca, menemani. Itu semua merupakan buah prestasi Hendrik di berbagai ajang balap sepeda road race tingkat Asia Tenggara maupun Asia.


Hanya satu yang tak ada dalam deretan penghargaan Hendrik tadi, yakni medali olimpiade. “Kalau bukan karena masalah politik, mungkin kita sudah bisa dapat medali di tahun 1964 di (Olimpiade) Tokyo,” ujar Hendrik menyesalinya saat mengenang masa-masa jayanya, kala ditemui Historia, 11 Februari 2019.


Medali olimpiade, terlebih medali emas, senantiasa jadi mimpi terbesar setiap atlet. Tak terkecuali Hendrik Brocks, pembalap sepeda legendaris Indonesia era 1960-an. Sayang, kesempatannya untuk meraih medali olimpiade sirna akibat politik.


“Waduh itu nyeselnya waktu itu. Saya perkirakan minimal dapat perunggu. Balap sepeda waktu itu kita masih merajai di Asia. Tapi akhirnya kita enggak jadi tanding waktu itu karena ada masalah itu. Ya itu negara urusannya,” kata Hendrik menjelaskan.


Tersandung Politik


Hendrik merupakan salah satu anggota andalan Indonesia di balap sepeda sejak Olimpiade Roma 1960. Di olimpiade itu, tulis buku Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah: Periode 1945-1965, Indonesia mengirim tim di tujuh cabang, yakni menembak, renang, angkat besi, anggar, atletik, tinju, dan balap sepeda. Di tim balap sepeda, Hendrik bahu-membahu bersama Theo Polhaupessy, Hamsjin Rusli, Sanusi, dan Munaip Saleh. Sayang, tak satupun dari mereka membawa pulang medali.


“Di kategori perorangan saya gagal finis, ketinggalan jauh dari para pembalap Eropa dan (benua) Amerika. Tapi untuk tim beregu kita sudah terbaik di Asia waktu itu,” kata Hendrik.


Hendrik Brocks, legenda balap sepeda Indonesia yang kini tuna netra akibat penyakit glaukoma (Foto: Randy Wirayudha/Historia)
Hendrik Brocks, legenda balap sepeda Indonesia yang kini tuna netra akibat penyakit glaukoma (Foto: Randy Wirayudha/Historia)

Di olimpiade itu, hanya Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) wakil Asia yang lolos kualifikasi. Catatan waktu Indonesia di putaran final jauh lebih baik dari Korsel. Tim beregu road race Indonesia menempati urutan ke-26 dari 32 tim dengan catatan waktu 2 jam 34 menit 29,98 detik, sementara Korsel menempati urutan ke-30 dengan torehan waktu 2 jam 53 menit 09,51 detik.


Sebagai “Macan Asia”, kedigdayaan Indonesia di balap sepeda dibuktikan di Asian Games 1962 di Jakarta. Indonesia jadi juara umum dengan tiga emas dan satu perunggu. Ketiga emasnya disumbangkan Hendrik di nomor open road race individual, team road race, dan team time trial. Di Ganefo (Games of the New Emerging Forces) 1963 di Jakarta, Hendrik menyumbang satu emas dan satu perak.


Namun, di Asian Games 1962 dan Ganefo 1963 itulah Indonesia bergelut dengan Komite Olimpiade Internasional (IOC). Gara-gara Indonesia melarang Israel dan Taiwan ikut serta dalam Asian Games 1962 sebagai sikap politik pro-Palestina dan pengakuan satu China, IOC menjatuhkan sanksi medio Februari 1963.


“Saya menyatakan memberi sanksi terhadap Komite Olimpiade Indonesia. Prinsip-prinsip olimpiade jelas tak dihormati di negara itu,” ujar Presiden IOC Avery Brundage, dikutip Alfred Senn dalam Power, Politics and the Olympic Games.


Tapi keanggotaan Indonesia di IOC kemudian dipulihkan menjelang Olimpiade 1964. Pasalnya, Jepang sebagai tuan rumah dan Meksiko sebagai tuan rumah olimpiade 1968 khawatir boikot Indonesia, yang mendapat simpati negara-negara Arab, akan mengurangi level kesuksesan olimpiade di Jepang dan Meksiko.


“Presiden Meksiko (Adolfo López Mateos, red.) mengambil prakarsa terobosan menghubungi pihak Jepang untuk kemudian berusaha menemukan jalan keluar lewat lobi-lobi internasional. Hasilnya pada Juni 1964 skorsing terhadap Indonesia dicabut. Jepang kemudian diizinkan mengundang Kontingen Indonesia di Olimpiade Tokyo 1964,” tulis Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno.


Pun begitu, Indonesia tetap batal hadir di Olimpiade Tokyo 1964. Perkaranya, seperti termuat di buku The Games of the XVIII Olympiad Tokyo 1964: The Official Report of the Organizing Committee Volume 1, tidak semua atlet Indonesia diizinkan bertanding, khususnya para atlet renang dan atletik. FINA (Federasi Akuatik Internasional) dan IAAF (Federasi Atletik Amatir Internasional) belum mencabut sanksi para atlet Indonesia yang berlaga di Ganefo 1963. Kontingen Indonesia pun memutuskan seluruh atletnya mundur ketimbang ikut tapi beberapa atletnya dilarang berlaga.


Para atlet Indonesia meninggalkan Tokyo jelang pembukaan Olimpiade 1964 (Foto: Repro "The Games of the XVIII Olympiad Tokyo 1964")
Para atlet Indonesia meninggalkan Tokyo jelang pembukaan Olimpiade 1964 (Foto: Repro "The Games of the XVIII Olympiad Tokyo 1964")

“Sebenarnya saya, tim balap sepeda dan beberapa cabang lain, sudah lebih dulu diberangkatkan ke Jepang. Seingat saya ada tim tinju sama angkat besi juga. Kami di tim sepeda sudah nyobain rutenya tuh di Jepang. Tapi paginya sebelum pembukaan (Olimpiade, 10 Oktober 1964, red.), kita disuruh mengepak koper semua untuk pulang ke Indonesia. Kita semua mundur dari olimpiade,” ujar Hendrik.


Keputusan mundur itu tak hanya menimbulkan penyesalan di dalam diri Hendrik dan para atlet Indonesia. Pelatihnya asal Jerman Timur, Heinz Schmidt, bahkan paling terpukul. Berbulan-bulan upayanya mempersiapan para atlet untuk bisa mensejajarkan diri dengan para kontestan Eropa, kandas.


“Pelatih saya, si Schmidt itu, sampai jadi gila dia karena kecewa. Ya karena olimpiade kan bukan event kecil dan catatan tercepat waktu uji coba yang kita buat selama persiapan di Jepang sesuai dengan peraih emas olimpiade. Sampai pernah ditangkap polisi karena mabuk-mabukan. Kasihan dia,” kata Hendrik.


Setelah itu, prestasi balap sepeda Indonesia perlahan mengendur kendati di Ganefo Asia 1966 prestasinya lumayan. Di Olimpiade Meksiko 1968, Hendrik dkk. gagal lolos. “Kita enggak lolos kualifikasinya. Olahraga semuanya kena imbas karena negara kita juga lagi ngambang, kacau (pasca-Tragedi 1965 dan transisi kepemimpinan 1967). Negara kita lagi babak belur, banyak atletnya jadi korban juga pada waktu itu,” kata Hendrik menutup pembicaraan.



Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page