KINI, lebih banyak orang tahu nama artis-artis K-Pop dibanding jurnalis Mochtar Lubis sebagai orang Indonesia yang pernah berada di Korea saat terjadi perang saudara di sana. Mochtar yang ke sana untuk meliput Perang Korea, kemuudian merilis sebuah buku berjudul Catatan Perang Korea.
Namun, lebih sedikit lagi orang yang mengetahui bahwa selain Mochtar Lubis sebenarnya ada orang Indonesia lain di perang tersebut. Mereka sebagai tentara Kerajaan Belanda, yang merupakan bagian dari kubu Blok Barat pimpinan Amerika Serikat bersama Korea Selatan. Mereka melawan Korea Utara yang disokong Blok Timur (Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok) dalam perang tersebut.
Tentara Belanda mengirim Nederlands Detachement Verenigde Naties (NDVN) dalam perang tersebut. Detasemen tersebut terdiri dari prajurit reguler dan sukarelawan. Mereka diangkut ke Korea menggunakan 27 kapal dan 33 angkutan udara.
“Detasemen Perserikatan Bangsa-Bangsa Belanda (NDVN) didirikan setelah siaran pers yang dikeluarkan pada 11 Agustus 1950 meminta sukarelawan untuk melapor. Meski pemerintah Belanda menahan diri, jumlah relawan yang mendaftar cukup banyak. Dalam empat hari, 1.044 sukarelawan menanggapi panggilan tersebut. Namun, hanya persentase relatif kecil yang memenuhi syarat untuk tugas tersebut. Mayoritas – sekitar 80%– terdiri dari mantan venteran Hindia Belanda yang tidak bisa atau tidak mau menetap di dalam masyarakat Belanda dan senang keluar lagi,” tulis BCM Kester dalam “Van Wimpel tot Oranje Strik, Nederlandse Militairen in de Koreaoorlog: Een Verkenning van de Beeldvorming in Pers, Bioscoopjournaal en Speelfilm”, termuat di buku Het Beeld in de Spiegel: Historiografische Verkenningen: Liber Amicorum voor Piet Blaas.
Di antara veteran di Hindia Belanda yang diterima NDVN itu adalah Jim Arthur Nelson Loth, sersan mayor KNIL berdarah Indo dan terkenal kejam di sekitar Jember. Koran Trouw, 16 April 1952, menyebutkan Loth memimpin 25 sukarelawan yang berangkat ke Korea. Tujuh di antaranya sebelumnya pernah bertugas di Korea.
Selain Loth, ada juga perwira sohor Belanda yang ikut dalam Perang Korea. Koran Nieuw Guinea Koerier edisi 20 Juli 1962 menyebut pada Oktober 1950 Kapten Willem David Henri Eekhout (1917-1965), juga ikut serta di NDVN. Sebelumnya, ia pernah memimpin operasi perebutan bandara Maguwo Yogyakarta dalam Agresi militer Belanda kedua (19 Desember 1948).
Di dalam kontingan Belanda tersebut terdapat pula segelintir orang Indonesia. Antara lain Sersan Satu Raden Moardjiman. Kata koran De Tijd, 1 Mei 1951, Moardjiman adalah mantan KNIL dan tinggal di Oostveedijk 73, Rotterdam, Belanda.
Bersama Sersan Cornelis Toren, Prajurit Satu Leendert Balkenhede, Prajurit Hendrik Peters, Prajurit Johan Koch, Prajurit Gijsbert Balkenboer, Prajurit Anton Boeklagen, dan Kopral Herman Jorink, Raden Moardjiman sempat mengalami masa sulit dalam perang. Mereka pernah dua hari bergerak tanpa makanan hingga lapar dan harus melintasi dua pegunungan. Ketika kembali ke kamp, mereka kelelahan. Setelah hari-hari sulit itu, Raden Moardjiman dan serdadu lainnya itu dibawa ke Tokyo untuk pemulihan kesehatan.
Moardjiman masih lebih beruntung daripada prajurit kelahiran Makassar bernama Willem Mandika. Pemuda kelahiran lahir 12 Mei 1931 ini baru berusia 22 tahun ketika meninggal dunia pada 29 Maret 1953. Menurut koran Algemeen Handelsblad, 4 April 1953, sebelum ikut kontingen NDVN dalam Perang Korea, Mandika berdinas di KNIL. Mandika termasuk prajurit dalam Regiment van Heutsz. Seperti Moardjiman, dia ikut ke Belanda setelah KNIL dibubarkan.
Sebelum KNIL bubar, pihak militer Belanda di Indonesia menawarkan anggota KNIL untuk menjadi sukarelawan di Perang Korea. Namun, ternyata pemerintah Belanda tak menghendaki anggota KNIL (yang kebanyakan dari Ambon) untuk bertugas ke Perang Korea. De Preangerbode edisi 17 Februari 1951 menyebut, kesempatan berperang di Korea hanya diberikan kepada anggota AD Kerajaan Belanda (Koninklijk Landmacht/KL) atau mantan KNIL yang sudah menjadi KL.
Dari jalur itulah orang Indonesia mantan KNIL masuk. Menurut De Locomotief edisi 28 September 1950, hingga September 1950 setidaknya terdapat 60 eks serdadu KNIL yang diterima sebagai relawan ke Korea. Pada Oktober 1950, Nieuwe Courant edisi 11 Oktober 1950 memberitakan, ada pemberangkatan 48 tentara ke Korea dari Bandara Schipol. Di dalamnya terdapat 16 serdadu bekas KNIL, termasuk lima orang berdarah Indonesia.