UNTUK kesekian kalinya, pada 1946 Kapten Johan Bernard Theodor Konig (1907-1985) harus bertugas lagi di Bali. Tugasnya di Bali sebelum itu yakni pada 1941, menjelang Jepang Datang. Koran De Sumatra Post tanggal 3 Desember 1941 menyebut, Kapten Konig dipindahkan dari Singaraja ke Malang.
Di Malanglah perwira tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) itu bertemu tentara Jepang yang berkuasa baru berkuasa. Sebagai serdadu pihak yang kalah perang, Kapten Konig pun ditawan. Kartu tawanan perang atas nama dirinya menyebut sebelum ditawan Jepang, dirinya bertugas di Depot Barisan Malang. Di Jawa Timur, KNIL membawahi Korps Barisan Madura juga. Ketika berada di Malang, istrinya, Willemina Cohen, tinggal di Emmastraat nomor 26.
Kapten Konig termasuk tawanan yang dibawa ke Burma. Koran De Gooi en Eemlander tanggal 6 Agustus 1959 memberitakan, dia berada di sana dari 1943-1945. Mulanya, dia termasuk dalam 400 tawanan yang dipekerjakan membuat jalur rel kereta api Burma, yang kelak difilmkan dengan judul The Bridge on the River Kwai. Di sana hingga Jepang kalah, Koning termasuk satu dari 75 tawanan yang selamat dari 400 tawanan yang dipekerjakan tadi.
Setelah bebas, Konig –yang sebelum Perang Dunia II pernah bertugas di Aceh dan bagian lain Jawa– bersama bekas tawanan perang yang lain berada di Thailand. Mereka tergabung dalam salah satu batalyon Gadjah Merah. Konig bertindak sebagai komandan salah satu batalyon Gadjah Merah itu.
Pada 1946, Konig kembali ditugaskan ke Bali. Dia dianggap paham tentang Bali karena pernah antara lain menjadi kepala intelijen militer di sana. Kini, dia diberi jabatan baru. Koran Het Dagblad tanggal 6 November 1946 memberitakan, pada 25 Oktober 1946 diadakan serah-terima jabatan komandan tentara dan teritorial untuk daerah Bali-Lombok dari Letnan Kolonel Infanteri Fritz Mollinger kepada Kapten Konig.
Ketika itu, sejumlah pasukan Brigade Y yang membawahi Batalyon Gadjah Merah sejak September 1946 sudah mulai bergerak ke Jawa Timur. Menurut De Volkskrant, tersisa 500 orang serdadu dari Batalyon Infanteri ke-12 KNIL di Bali.
Sebagai perwira teritorial, Kapten Konig juga membawahi milisi lokal Korps Prajoda. Milisi yang berisi orang-orang Bali itu statusnya pasukan bantuan (hulptroepen) di bawah komando KNIL. Kapten Konig mengenal beberapa pemuda Bali. Antara lain Letnan Dua I Gusti Ngurah Rai (1917-1946) dan Sersan Mayor I Gusti Wayan Debes.
Namun dalam penugasan terbaru itu, keadaan di Bali sudah jauh berbeda. Gusti Ngurah Rai yang dikenalnya sudah menjadi komandan Brigade Ciung Wanara di bawah Republik Indonesia (RI). Pun Wayan Debes, juga ikut RI. Artinya, mereka kini adalah rival Kapten Konig dan semua yang berpihak pada Belanda. Keadaan Bali kali ini membahayakan siapapun di pihak Belanda.
Benar saja, pada 18-19 November 1946, markas detasemen polisi Belanda di Tabanan diserang oleh para pejuang RI, termasuk kelompok pimpinan Wayan Debes. Kelompok Wayan Debes sampai mendapatkan senapan mesin dan barang-barang lain.
Untuk mengatasinya, Konig berupaya persuasif terhadap Ngurah Rai. Namun Ngurah Rai sudah bulat tekad tak mau tunduk kepada Belanda. Tekad itu dibuktikannya kemudian.
Beberapa hari setelah peristiwa di Tabanan, pertempuran meletus di Margarana pada 22 November 1946. Kali ini antara pasukan KNIL melawan pasukan brigade pimpinan Ngurah Rai. Kendati hanya membawa sedikit personel di brigadenya, Ngurah Rai memimpin pasukan itu bertempur habis-habisan login super88 bet, hingga peristiwa itu dikenal sebagai Puputan Margarana.
Sementara, Mayor Konig mengerahkan pasukan KNIL terlatih untuk menghadapi pasukan Ngurah Rai. Sebuah pesawat Pipercub juga dilibatkan untuk mengintai pasukan Ngurah Rai dari udara.
“Hasil dari tindakan kemarin masih belum sepenuhnya diketahui. Yang pasti gerombolan teroris yang berjumlah kurang lebih 100 orang itu telah kami musnahkan seluruhnya dan persenjataannya menjadi kecapi kami. Ini telah mengambil langkah maju yang penting dalam pengamanan Bali,” kata Konig dalam laporannya, dimuat De Volkskrant.
Saking pentingnya Pertempuran Margarana, yang membuat Mayor Konig berhasil mengalahkan “juniornya”, sang mayor sampai mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan itu. Koran Het Dagblad tanggal 3 Januri 1947 membaritakan, Konig mengundang pihak-pihak yang berjasa dalam keamanan Belanda di Bali dalam pesta pada 19 Desember 1946 itu.
Setelah cuti pada 1948, Mayor Konig mendapat tugas baru menjadi komandan pasukan di Maluku dan Papua dari 1949 hingga 1950. Begitu KNIL bubar, Konig melanjutkan karier di Koninklijk Landmacht (KL) alias angkatan darat Kerajaan Belanda hingga 1959. Hari-hari pensiunnya dia jalani hingga 2 Maret 1985, saat ajal menjemputnya di Doorn, Belanda dalam usia 78 tahun.