SETELAH minggu kedua bulan Desember adalah waktu yang tepat untuk makan durian di sekitar Muaro Jambi. Di poros jalan antara kota Jambi menuju arah Candi Muaro Jambi, pedagang-pedagang durian banyak terlihat. Harga durian di pinggiran jalan itu relatif murah. Apalagi jika mau berburu ke arah Kumpeh, sebuah kecamatan di Kabupaten Muaro Jambi.
“Dua ratus ribu bisa bawa karung,” kisah Dwi Raharyoso, pengajar sastra Universitas Jambi, menceritakan koleganya yang sukses berburu durian ke daerah Kumpeh.
Selain mengalami musim durian, Kumpeh juga mengalami musim duku. Duku Kumpeh juga terkenal.
Baca juga:
Selain terkenal dengan duku dan duriannya, Kumpeh juga punya cerita. Antara 1890 hingga 1906, terjadi Perang Kumpeh di sana. Perang tersebut antara orang-orang Jambi di bawah Kesultanan Jambi melawan tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL), yang embrionya telah ada sejak kesultanan melawanan monopoli perdagangan VOC di Jambi. Kendati timbul-tenggelam, perlawanan Kesultanan Jambi terus eksis hingga menjelang abad ke-20 datang.
“Penyelidik Belanda berkesimpulan bahwa Thaha adalah penyebab utama keadaan itu, hingga perlu ditentukan apakah Thaha perlu dipaksa bekerjsama dengan Belanda atau membinasakannya,” tulis Direktorat Sejarah & Nilai Tradisional Depdikbud dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Jambi.
Rakyat Jambi dipimpin oleh Sultan Thaha Saifuddin (1816-1904), yang namanya telah diabadikan sebagai nama bandara di kota Jambi, kembali melawan pasukan kolonial. Setelah Thaha meninggal dunia pada 26 April 1904 dan dimakamkan di Muara Tebo, perlawanan orang Jambi tetap berlanjut.
“Setelah Sultan Thaha Syaifuddin wafat, maka perlawanan diteruskan oleh Raden Mattaher yang melakukan perang gerilya,” catat Masykuri dalam Sultan Thaha Syaifuddin: Pahlawan Nasional.
Baca juga:
Riwayat Bumbu dan Budak di Jambi
Mattaher (1871-1907) yang bernama lengkap Raden Mohammad Tahir adalah anak Pangeran Kusin dan cucu Pangeran Adi. Pangeran Adi adalah saudara Sultan Thaha. Jadi Mattaher terhitung sebagai cucu Sultan Thaha.
Mattaher merupakan pemimpin perang yang teruji dan cakap. Dia lahir saat peperangan antara Jambi dengan pihak Belanda sudah dimulai.
“Sejak usia remaja Raden Mattaher telah bergabung dalam pasukan militer pimpinan Sultan Thaha,” catat Ichwan Azhari dalam 100 Tokoh Melayu Nusantara.
Mattaher punya beberapa pengalaman menyerang pos tentara Belanda ketika Sultan Thaha masih hidup. Salah satu daerah serangan pasukan Mattaher adalah daerah pertambangan minyak Belanda di Bayung Lencir, yang berada di perbatasan Jambi-Sumatra Selatan, pada pertengahan 1901.
“Ini daerah minyak dulu,” kata Alif Firmasyah, warga Bayung Lencir, kepada Historia.ID.
Baca juga:
Westerloo Menghadapi Orang Jambi
Serangan pasukan Mattaher ke kilang minyak itu sukses. Koran De Sumatra Post tanggal 15 Juni 1901 menyebut, Kontrolir Hens tertusuk ginjalnya dan dua orang sersan KNIL terluka dalam serangan itu. Sementara 12 prajurit Jambi terbunuh dalam serangan dan dua orang lainnya tertangkap.
“Mattaher mendapat julukan Singa Kumpeh, karena terkenal ketangkasannya dalam Perang Kumpeh,” tulis Masykuri.
Kolega terkenal Mattaher adalah Raden Pamoek di samping para raden lain yang tersebar di pelosok-pelosok Jambi.
Menjelang akhir 1904, sekitar dua bulan sebelum musim durian, pasukan Mattaher berada di sekitar Kumpeh, sekira 40 km dari kota Jambi. Durian sebagai buah yang banyak tumbuh di hutan jadi salah satu makanan bagi para gerilyawan itu.
Baca juga:
Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri Jambi
Bagi pemerintah kolonial, Mattaher beserta pasukannya di Jambi tak ubahnya gerombolan pengacau keamanan. Koran De Locomotief tanggal 11 Oktober 1904 menulis bahwa kehadiran mereka di Kumpeh dianggap sebagai tidak amannya kota Jambi yang menjadi pusat pemerintahan Belanda.
Kendati jarak Kumpeh tak jauh dari kota Jambi, tak mudah bagi militer Belanda untuk meringkus Mattaher dkk. Hampir tiga tahun waktu yang dihabiskan Belanda untuk mencapai tujuannya, melenyapkan Mattaher. Koran Telegraph tanggal 3 Oktober 1907 memberitakan, patroli di bawah pimpinan Letnan Geldorp yang dikirim untuk memburu Mattaher dan pengikutnya akhirnya berhasil menewaskan Mattaher beserta enam pengikutnya di Muaro Jambi. Mattaher ditembak serdadu KNIL bernama Kaeng.
Setelah kematiannya, jasad Mattaher dimakamkan di tepi Danau Sipin, namun ada jarinya yang dimakamkan di sebuah kebun warga dekat Candi Muaro Jambi. Makam jari itu kemudian dikenal sebagai Makam Kelingking Raden Mattaher.*