SOROTAN cahaya menambah indah dan mewah beragam benda dari emas itu. Taburan berlian di badan gagang keris, kotak tembakau, dan bermacam perhiasan emas itu menyempurnakan keindahan benda-benda warisan Kerajaan Lombok itu.
Beragam benda indah itu merupakan milik Kerajaan Lombok-Mataram. Lebih dari seabad mereka “tinggal” di Belanda usai dijarah para serdadu Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) yang menyerang Puri Cakranegara.
Namun, beragam benda berbahan emas itu kini telah kembali ke Indonesia lewat repatriasi benda-benda warisan budaya Nusantara tahun 2024. Benda-benda tersebut kini bisa dilihat di Museum Nasional lewat Pameran Repatriasi: Kembalinya Warisan Budaya dan Pengetahuan Nusantara yang dihelat 15 Oktober-30 Desember 2024.
Beberapa waktu sebelum benda-benda itu diambil dari tempat asalnya, Puri Cakranagara, sebuah insiden kecil terjadi di dekat puri tersebut. Kisahnya berawal dari seorang rantai (tahanan) yang sedang menyiram jalan di depan perkemahan tentara Hindia Belanda Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) di Cakranegaara pada 24 Agustus 1894. Tanpa disengaja, air siraman orang rantai itu mengenai orang Bali yang sedang lewat hingga membuat orang Bali itu marah dan mengacungkan kerisnya.
Lantaran mengancam keamanan si orang rantai, para penjaga turun tangan. Mereka mengusir orang Bali yang marah-marah itu. Keadaan pun kembali kondusif.
Namun, keadaan kondusif itu ternyata tak lama. Pada tanggal 25 Agustus 1896 malam, keadaanya berbeda. “Suara tembakan terdengar dari arah Mataram dan Cakra,” kata koresponeden dalam laporannya tanggal 4 September, dikutip koran Java Bode tanggal 8 September 1894.
Baku tembak terjadi dalam waktu yang lama. Daerah Mataram dan Cakranegara pun tak aman hari itu.
Berita penyerangan orang-orang Bali itu kemudian sampai ke negeri Belanda. Bredaasch Courant tanggal 9 September 1894 mengabarkan: dari telegram pemerintah soal penggerebekan KNIL di Cakranegara tanggal 25 Agustus 1894 telah didengar dan dalam penggerebekan itu, Jenderal Mayor Petrus Paulus Hermanus van Ham, 55 tahun, tewas. Jenderal Ham, disebut Het Niuewsblad voor Nederland tanggal 3 Septmber 1894, tewas bersama 150 bawahannya yang diterjunkan sejak pertengahan 1894.
Jenderal Van Ham dan pasukannya kala itu sedang melangsungkan ekspedisi militer Belanda terhadap penguasa Lombok yakni raja Mataram yang keturunan Bali. Panglima tertinggi dalam ekspedisi tersebut adalah Jenderal Mayor Jacobus Augustinus Vetter (1837-1907), sementara Jenderal Van Ham (1839-1894) sebagai wakilnya.
Ekspedisi dimulai setelah kapal-kapal yang mengangkut serdadu-serdadu KNIL itu mendarat di Ampenan. Setelah Juli 1894, pasukan Belanda diarahkan Cakranegara, yang dianggap benteng terkuat orang Bali. Sebelum menyerang, pasukan Belanda membangun perkemahannya yang kemudian diserang itu.
Sebelumnya, orang Sasak sudah berperang melawan raja Mataram yang keturunan Bali. Koran Algemeen Handelsblad tanggal 18 Juni 1896 memberitakan, Guru Bangkol sebagai salah satu pemuka Sasak pernah meminta bantuan Belanda untuk melawan raja Bali di Lombok. Namun orang-orang Sasak itu tak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Alhasil orang Sasak dibiarkan melawan Bali sendiri.
Guru Bangkol, yang merupakan pemuka Islam Sasak dan pemimpin tarekat Naqsabandiyah, jelas diuntungkan oleh ekspedisi militer Belanda. Kekuatan orang Bali di Lombok jauh melemah setelah ekspedisi itu.
Jenderal Van Ham sendiri kemudian dimakamkan di Mataram, Lombok. Pria kelahiran tahun 1839 itu, menurut Het Niuewsblad voor Nederland tanggal 3 Septmber 1894, masuk militer sejak 11 Juni 1861 dengan pangkat letnan dua KNIL. Dia pernah bertugas di Kalimantan bagian Timur dan Selatan, Sumatra Barat, dan Aceh. Sebelum menjadi kapten, dia sudah menunjukan kemampuannya sebagai perwira hingga dia dianugerahi bintang Militaire Willemsorde.
Ketika berpangkat letnan kolonel, Van Ham ditugaskan kembali ke Kalimantan, sebagai komandan Divisi Kalimantan bagian Selatan dan Timur. Ketika berpangkat kolonel, dia ditugaskan ke Jawa sebagai panglima militer Magelang. Tak sampai setahun menyandang pangkat kolonel, Van Ham pada 12 Januari 1893 naik menjadi jenderal mayor (setara brigadir jenderal). Dia dipercaya menjadi komandan militer kedua untuk Jawa.
Kematia Van Ham menambah daftar jenderal KNIL yang terbunuh dalam perang kolonial di Hindia Belanda. Dimulai dari Jenderal Michels pada 1849 di Bali, Jenderal Kohler pada 1873 di Aceh, Jenderal Pel pada 1876 juga di Aceh, dan Jenderal Demmeni pada 1886 di Aceh. Setelah Van Ham, menyusul Jenderal Moulin pada 1896 yang juga tewas di Aceh.