SEPERTI halnya Lembah Cahuenga yang memukau banyak turis yang berkunjung ke Hollywood di abad ke-19, gambar bergerak yang kini dikenal sebagai film juga sukses menarik perhatian banyak orang sejak kemunculannya di tahun 1890-an. Rasa takjub dan penasaran terhadap benda ajaib karena menampilkan gambar bergerak itu pula yang membuat orang-orang berkumpul untuk melihat Kinetoskop Thomas Edison, salah satu atraksi utama di Chicago’s World Fair tahun 1893. Setahun berselang, Edison membuka anjungan yang menampilkan rekaman adegan pertunjukan vaudeville, sirkus, dan rodeo di Broadway, New York City, yang disebut sebagai prototipe bioskop pertama.
Memasuki abad ke-20, minat masyarakat yang tinggi terhadap gambar bergerak memungkinkan film terus berkembang. Pada 1903, muncul konsep baru dalam film dari juru kamera Edwin Porter, yang bekerja untuk Edison. Porter muncul dengan ide tidak hanya merekam peristiwa, tetapi juga membuat peristiwa untuk difilmkan. Berangkat dari ide ini, munculah The Life of an American Fireman, sebuah film yang menunjukkan wanita dan anak yang diselamatkan secara heroik dari gedung terbakar, dan The Great Train Robbery.
Baca juga:
Hollywood dari Masa ke Masa (Bagian I)
“Film-film ini diputar di bagian depan toko yang diproyeksikan pada sprei yang digantung di bagian belakang. Ribuan orang mengeluarkan uang receh untuk menonton ‘drama bergambar’ ini, dan sebuah tradisi Amerika pun lahir,” tulis Paul Zollo dalam Hollywood Remembered: An Oral History of Its Golden Age.
Tak butuh waktu lama hingga film menjadi industri baru dalam dunia hiburan dengan peluang bisnis yang menjanjikan. Meski Hollywood dikenal sebagai ibu kota perfilman dunia, industri perfilman Amerika justru tak lahir dari sini. Sebagian besar studio pertama berlokasi di New York, Philadelphia, dan Chicago.
Menurut Gerardo Marti dalam Hollywood Faith, ada beberapa faktor yang menyebabkan pusat industri film Amerika bergeser dari timur ke barat. Beberapa sejarawan beranggapan faktor penentu pergeseran ini berkaitan dengan cuaca. Cerita yang umum di kalangan masyarakat mengisahkan, pada 1907 karena cuaca buruk di Chicago, Kolonel William Selig –pengelola Selig Polyscop Company di Chicago– mengirim tim ke Los Angeles yang kering dan hangat untuk membuat film The Count of Monte Cristo. Wilayah ini menjanjikan sinar matahari yang melimpah hampir setiap hari sehingga proses syuting dapat berjalan tanpa perlu khawatir pencahayaan minim, ini menjadi keuntungan besar bagi kru film mengingat teknologi yang mereka gunakan masih sederhana. Karena hal ini pula pengambilan gambar di dalam ruangan juga dilakukan di luar ruangan menggunakan dinding tanpa atap, dengan matahari sebagai sumber pencahayaan utama.
“Dengan memperhatikan cuaca yang dapat diprediksi dan keragaman lanskap yang tersedia di wilayah tersebut, Selig kembali dua tahun kemudian untuk membangun studio. Tidak adanya gangguan cuaca meningkatkan kecepatan pembuatan film dan membuat prosesnya menjadi lebih efisien,” tulis Marti.
Para pembuat film lain mengikuti langkah Selig membangun studio di Los Angeles. Setidaknya 15 perusahaan mendirikan studio di Hollywood antara tahun 1911 dan 1913. Angka ini melonjak menjadi 37 pada 1915 seiring banyaknya studio yang berdiri di wilayah tersebut.
Baca juga:
Pesta Liar dan Skandal Bintang Besar Hollywood
Namun, cuaca bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan Hollywood menjadi pusat industri film di Negeri Paman Sam. Banyak sejarawan berargumen perpindahan juga dilakukan untuk menghindari tuntutan hukum yang mahal dari perusahaan Thomas Edison, yang memegang hak paten dasar kamera film dan proyektor berteknologi mutakhir, dan berlokasi di New York. Perusahaan ini menjual atau menyewakan film secara eksklusif kepada pembuat film dan peserta pameran yang setuju menggunakan produk berlinsensi Edison.
Terbatasnya izin pakai sejumlah teknologi membuat beberapa orang yang tidak memiliki lisensi melakukan segala cara untuk dapat membuat film, salah satunya dengan membajak kamera, yang berujung pada pelanggaran hukum. Mereka dituntut oleh Motion Picture Patents Company (yang juga dikenal sebagai Trust) atas dasar pelanggaran paten. Kontrol perusahaan Edison atas akses ke kamera dan proyektor membatasi produksi film. Akibatnya, banyak perusahaan film pindah ke West Coast untuk menghindari cengkeraman hukum dari Trust yang dapat mengakibatkan kehancuran finansial. California Selatan, di mana Hollywood berada, menjadi tempat yang tepat untuk melawan Trust dan melarikan diri hingga Trust pada akhirnya menghilang. Pada 1915, pengadilan memutuskan perusahaan paten film Edison bukan merupakan perwalian yang sah. Keputusan ini memungkinkan para produser film bebas membuat film dan menciptakan industri baru.
Menurut Marti, meskipun menghindari tuntutan hukum atas paten yang dimiliki Edison merupakan penjelasan yang cukup meyakinkan, namun hal ini masih belum memadai untuk menjelaskan pertumbuhan industri film di Hollywood. Meneliti daftar studio pertama di Los Angeles menunjukkan mereka adalah anggota Trust dan sebagian besar studio awal memiliki kantor pusat di East Coast serta cukup mudah diakses oleh Trust. Akhirnya, Trust baru dibubarkan pada 1915 setelah sejumlah studio film di Hollywood telah berdiri.
“Yang lebih penting dari faktor cuaca atau tuntutan hukum adalah nilai ekonomis dari tanah dan tenaga kerja yang berlimpah dan murah di kawasan Hollywood. […] Karakteristik wilayah, sumber daya manusia, dan pengaturan organisasi ad hoc digabungkan menjadi mesin yang sukses untuk pengembangan industri kreatif baru,” tulis Marti.
Industri film di Hollywood berkembang mencakup studio (produksi dan penyuntingan film), aktor (objek layar), dan bioskop (distribusi dan penayangan film). Setiap studio mengusai lebih dari 500 –beberapa di antaranya bahkan hingga 1.000– bioskop hingga akhir tahun 1920-an, yang memungkinkan mereka mengontrol jalur produksi dari proses pembuatan hingga pemutaran film. Studio juga mengendalikan bioskop di pusat kota yang menghasilkan pendapatan terbesar melalui minggu-minggu pertama penayangan box-office, dan mengizinkan distribusi film untuk diputar di bioskop-bioskop kecil dan independen.
Di sisi lain, perkembangan film di Hollywood menyebabkan lonjakan populasi yang tak tertandingi, dari sekitar 500 penduduk pada 1900 menjadi hampir 8.000 orang pada 1913. Di sepanjang Hollywood Boulevard dan jalan-jalan di sekitarnya bermunculan toko dan butik pakaian modis, restoran, kafe, kedai minuman, dan hotel. Banyaknya studio di Hollywood membuat produksi film terus berlangsung, di mana hampir seluruh ruang publik di Hollywood menjadi lokasi pengambilan gambar.
Baca juga:
Dewi Dja Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia di Amerika
“Gedung bank digunakan pada hari libur, Sabtu sore, dan Minggu untuk adegan perampokan. Toko obat dan tempat bisnis lainnya secara teratur menjadi target kejahatan di depan kamera. Tak jarang warga dihentikan di jalanan untuk menambah adegan kerumunan massa. Jalanan ditutup untuk kecelakan mobil, seringkali disemprot dengan air untuk membuat mobil tergelincir dan terbalik,” tulis Zollo.
Dalam periode singkat dan alasan yang tak terduga, Hollywood menjelma menjadi pusat gemerlap dari penemuan baru yang revolusioner dan penuh mimpi yang dikenal sebagai film. Daya tarik Hollywood memikat ribuan pemimpi muda setiap minggunya dari seluruh penjuru menuju Hollywood Boulevard, yang dikenal sebagai jalan penuh impian dan dipenuhi mimpi-mimpi yang kandas. Lebih dari sekadar ibu kota perfilman dunia, Hollywood menjadi tempat bertemunya ambisi dan pencapaian.
Menurut Marti, para gadis muda khususnya tertarik pada bisnis produksi film di Hollywood karena kemewahan dan fantasinya. Beberapa yang merantau ke sana berhasil menjadi terkenal, meski lebih banyak lagi yang menjadi figuran, dan sisanya menjadi pekerja di kota tersebut. “Bagi para pemimpi ini, Hollywood mewakili tiga serangkai kemewahan, kesenangan, dan kebebasan dari batasan moral kehidupan era Victoria, sebuah citra yang diabadikan melalui film-filmnya… Film-film yang menggambarkan para selebritas yang menikmati kehidupan yang baik di luar hierarki kelas berkontribusi pada keyakinan bahwa kesuksesan di Hollywood adalah mungkin bagi siapa saja yang memiliki bakat dan mau mengambil risiko dan bekerja keras,” tulis Marti.
Bagi banyak orang yang ambisius, ketenaran dan kekayaan terikat dengan tanda Hollywood, salah satu landmark paling terkenal di Los Angeles. Mulanya, ikon setinggi 50 kaki di Gunung Lee ini bertuliskan “Hollywoodland” dan merupakan trik pemasaran para pengembang untuk menjual 500-an hektar lahan berupa bukit dan ngarai di kawasan bisnis Los Angeles pada 1920-an. Tanda yang semula bertuliskan “Hollywoodland” kemudian berganti menjadi “Hollywood”. Landmark ikonik ini membuat para wisatawan menjulurkan leher untuk melihat sekilas ikon ini.
Baca juga:
Ketika Hollywood Takut “Hantu” Komunis
Ironisnya, signage Hollywood yang menjadi simbol harapan dan impian juga menjadi saksi keputusasaan dan hilangnya harapan bagi mereka yang kesulitan mencapai kesuksesan di dunia film. Salah satu yang paling terkenal adalah kematian aktris Lillian Millicent “Peg” Entwistle. Pindah dari Britania Raya ke Amerika untuk mengembangkan karier di dunia hiburan, wanita kelahiran 5 Februari 1908 itu gagal mengulangi kesuksesannya di atas panggung saat berakting di layar perak. Pemain film Thirteen Women (1932) itu tewas setelah melompat dari puncak huruf H di papan nama Hollywood pada September 1932.
Terlepas dari sisi gelap yang membayangi Hollywood yang glamor dan penuh ingar bingar, kawasan yang dahulu merupakan lahan perkebunan yang dikembangkan suami-istri Wilcox pada abad ke-19 itu kini tak hanya menjadi pusat perfilman dunia, tetapi juga destinasi wisata populer. Dengan jutaan pengunjung setiap tahun, Hollywood berada di urutan kedua setelah Disneyland dalam hal popularitas di California Selatan.*