SUDAH lebih dari empat dekade Prof. Asvi Warman Adam menggeluti riset sejarah. Karya-karyanya sering jadi rujukan, terutama jika sudah menyoal isu kontroversial Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Seiring masa purna baktinya di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Asvi terus mengadvokasi pelurusan isu-isu Tionghoa dalam sejarah Indonesia.
Asvi sudah berkarier di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, kini BRIN) sejak 1983. Sebulan pascagenap berusia 70 tahun, tepatnya pada 1 November 2024 lalu, Asvi memasuki masa purna bakti.
Tetapi, ia tentu belum akan berhenti menulis dan mengadvokasi pelurusan isu-isu sejarah. Salah satu karya terbarunya, buku Mengembalikan Tionghoa ke dalam Historiografi Indonesia, bahkan terbit tahun ini.
“Sebetulnya ada tiga buku yang sedang dipersiapkan. Namun yang baru terbit buku tentang Tionghoa ini,” ujar Asvi dalam pidatonya di gelaran diskusi peluncuran buku Mengembalikan Tionghoa ke dalam Historiografi Indonesia dalam rangka “70 Tahun Asvi Warman Adam” di Kampus BRIN Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (7/11/2024).
Baca juga: Dedikasi Peter Carey Meneliti Pangeran Diponegoro
Asvi memutar kembali ingatannya terkait perkenalannya pada tokoh-tokoh Tionghoa yang memengaruhi pemikiran dan penelitiannya tentang etnis Tionghoa di Indonesia. “Salah satunya Bob Hasan. Pada 1980 saya bekerja di majalah (olahraga) Sportif yang dimilikinya,” imbuh Asvi yang –juga dipengaruhi dua tokoh Tionghoa lain yakni Seng Oei Hay Djoen dan Eddie Lembong (Wang You Shan)– mendapatkan pengukuhan gelar profesor risetnya di LIPI pada 2018.
Sejak awal 2000-an, Asvi kritis terhadap isu-isu sejarah etnis. Tak lama setelah memasuki era Reformasi, beraneka penelitian dan kegiatan advokasi terkait para korban Peristiwa 1965 dilakoninya.
“Setelah mengenal Pak Asvi secara gagasan lewat tulisan-tulisannya di (harian) Kompas, saya sendiri pertamakali bertemu di tempat ini, waktu itu lembaganya masih LIPI, untuk mengundang Pak Asvi jadi pembicara ketika kami sekitar tahun 1999 bikin seminar di Undip (Universitas Diponegoro, red.) yang judulnya ‘Siapa Dalang Peristiwa 1965?’” kenang sejarawan Bonnie Triyana dalam acara diskusi tersebut.
Sifat kritis Asvi ternyatanya menurun dari ayahnya, Adam Sutan Djamaris. Sebagaimana diungkapkan sejarawan Romo Baskara Tulus Wardaya dalam Berkah Kehidupan: 32 Kisah Inspiratif tentang Orangtua, Asvi yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada 8 Oktober 1954 itu sudah mulai “tertular” pemikiran kritis dari lingkungan keluarganya yang majemuk.
“Ayah sering mengkritik adat. Mungkin karena ia tidak kebagian warisan dari Mamaknya. Ia mengatakan harta warisan tidak layak untuk dimakan tetapi untuk dipertahankan saja. Ayah kritis terhadap birokrasi pemerintah yang dinilai lebih jelek daripada masa kolonial. Ia juga sensitif terhadap kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa,” ungkap Asvi dikutip Romo Baskara.
Baca juga: Asvi Warman Adam Manawarkan Solusi Macetnya Penyelesaian Genosida 1965
Menyusuri Isu Kontroversial Peristiwa 1965 hingga Tionghoa
Selulusnya dari Sastra Prancis di Universitas Indonesia, Asvi menempuh studi yang sama di Universitas Gadjah Mada. Ia lalu bekerja sebagai jurnalis olahraga Sportif pada 1980-1983. Setelah itu, ia mulai berkarier di LIPI dan mendapat kesempatan melanjutkan studi doktoralnya bidang Asia Tenggara di École des hautes études en sciences sociales (ÉHÉSS) di Prancis, di bawah bimbingan Indonesianis Prof. Denys Lombard.
“Saya memperhatikan dalam buku ini (Mengembalikan Tionghoa ke dalam Historiografi Indonesia), Prof. Asvi mengaku dirinya sebagai seorang accidental historian. Karena menarik bagaimana seorang lulusan Sastra Prancis kemudian menjadi sejarawan yang besar kontribusinya pada ilmu sejarah di Indonesia. Saya kira itu pengaruh pembimbingnya, Prof. Lombard,” tutur sinolog Natalia Soebagjo.
Sepulangnya ke tanah air dan kembali jadi peneliti di LIPI, Asvi sempat mengikuti riset persiapan negara-negara Indocina menjelang bergabung ke ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Namun haluannya mulai berubah seiring peralihan kekuasaan pada 1998, utamanya terkait kekerasan pasca-Peristiwa 1965 dan isu-isu Tionghoa.
“Isu-isu kontroversial itu dengan entengnya Pak Asvi mengungkapkannya dengan mudah untuk dipahami masyarakat. Apalagi pasca-Reformasi itu tidak ada yang berani mengungkapkan,” imbuh co-founder Centre for Chinese Studies itu.
Baca juga: Sejarawan Asvi Warman Adam: Saya Bukan Pengkhianat Negara
Isu 1965 di masa awal Reformasi tentu masih jadi “barang” sensitif. Sejumlah akademisi dan sejarawan asing peneliti isu tersebut banyak yang di-blacklist, salah satunya sejarawan Universiteit van Amsterdam Prof. Saskia Wieringa. Tapi Asvi tetap berani menapaki jalan sunyi itu dengan segala risikonya. Mulai lewat opininya di sejumlah suratkabar hingga menerbitkan buku-buku karyanya, antara lain Pelurusan Sejarah Indonesia (2004); Seabad Kontroversi Sejarah (2007); 1965: Orang-Orang di Balik Tragedi (2009); Melawan Lupa, Menepis Stigma: Setelah Prahara 1965 (2015); dan Mengembalikan Tionghoa ke dalam Historiografi Indonesia (2024).
“Saya teringat Pak Asvi pernah mengatakan bahwa beliau ini sprinter, bukan pelari maraton. Karena pengalamannya sebagai wartawan bisa membuatnya menulis opini yang pendek-pendek tapi mendalam. Bisa dibilang Pak Asvi ‘raja opini’ karena hampir setiap hari opininya muncul di suratkabar,” timpal sejarawan Tionghoa Didi Kwartanada.
Selain lewat tulisan, Asvi aktif menjadi pembicara di berbagai seminar dan diskusi terkait prahara 1965. Bahkan, ia sempat jadi saksi ahli untuk menjelaskan kekerasan-kekerasan oleh rezim Orba terkait kekerasan-kekerasan pasca-prahara 1965 di International People’s Tribunal 1965 di Den Haag, medio 2015.
“Sebenarnya peristiwa-peristiwa itu secara akademis sudah terbukti lewat karya-karya skripsi, tesis, disertasi. Tapi seringkali ada stigma di tengah masyarakat sehingga tidak bisa dibicarakan leluasa. Bahkan langsung dilabel (stigma komunis). Saya tahu Pak Asvi juga sampai mendapat ancaman kekerasan fisik setelah menghadiri International People’s Tribunal itu. Tapi itulah konsekuensi yang dipilih Pak Asvi dan dia tidak ragu melakukan itu,” sambung Bonnie.
Hal senada juga disampaikan Saskia Wieringa. Asvi, katanya, tak gentar menembus segala stigma atas nama pencarian kebenaran.
“Ketika saya meriset tentang Gerwani dan (prahara) 1965 pada awal 1980-an, tidak ada peneliti Indonesia yang meriset tentang pembantaian 1965-1966. Tapi pada akhir 1990-an saya tahu setidaknya ada satu akademisi Indonesia yang berani terlibat dalam pencarian kebenaran tentang genosida ini. Proyek riset Pak Asvi tentang kamp-kamp konsentrasi di Pulau Buru bersama Komnas HAM (2003) menjadi contoh betapa luar biasanya ia dan tim riset di masa itu. Keberaniannya terlibat dalam subyek tabu dalam sejarah Indonesia ini memang tidak mendapat sambutan hangat dari segala penjuru tapi ia tetap melakukannya,” ujar Wieringa melalui pesan video di diskusi tersebut.
Hampir bersamaan dengan itu, “jalan sunyi” lain juga ditelusuri Asvi pasca-Reformasi. Ia meriset aneka isu tentang peranan Tionghoa dalam sejarah Indonesia.
“Kontribusi Pak Asvi membawa kembali Tionghoa ke dalam gelanggang sejarah Indonesia. Itu berawal dari tulisan (opini) ‘Cina Absen di Pelajaran Sejarah’ di koran Tempo, 2 Februari 2002. Itu jadi artikel yang cukup monumental dan berdampak karena selama ini buku ‘babon’ sejarah Indonesia (Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang & Zaman Republik/SNI IV) di lima edisinya meng-exclude semua (tokoh) Tionghoa dari sejarah Indonesia,” imbuh Didi.
Baca juga: Mencari Ruang Narasi Peran Etnik Tionghoa dalam Sejarah Bangsa
Didi merujuk pada empat tokoh Tionghoa di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI): Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa. Keempat nama itu masih ada sampai buku SNI VI edisi ketiga (1976), tapi mulai menghilang sejak SNI IV dan edisi-edisi berikutnya, termasuk di edisi-edisi pemutakhiran hingga kini.
“Sampai edisi 1976 tertulis masih ada empat golongan Cina dan satu golongan Arab, yakni AR Baswedan. Tapi mulai edisi ketiga terbitan 1982 hingga sekarang Tokoh golongan Cinanya hilang, diganti empat orang golongan Arab. Oleh karenanya meski Pak Asvi concern dalam sejarah Tionghoa tapi ini masih jadi PR (pekerjaan rumah) yang belum terselesaikan perihal manipulasi soal BPUPKI ini,” sambung Didi.
Namun, meski lama jadi peneliti senior BRIN, Prof. Asvi tak pernah dilibatkan pemerintah dalam usaha-usaha pelurusan sejarah dalam buku-buku sejarah nasional Indonesia yang resmi. Meski begitu, Asvi tak mempedulikannya dan tetap meniti jalannya sendiri guna menembus stigma-stigma negatif tentang kalangan Tionghoa. Salah satu kontribusinya adalah dianugerahinya John Lie gelar pahlawan nasional pada 2009.
“Salah satu kontribusi Pak Asvi adalah ketika ia menulis agar orang Tionghoa menjadi pahlawan nasional. Itu dari opini Pak Asvi di Kompas edisi 31 Januari 2003, ‘Pahlawan Nasional Etnis Tionghoa’. Enam tahun kemudian John Lie dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Saya rasa ketika Pak Asvi menulis opininya saat itu tak seorangpun yang membayangkan ada nama seorang Tionghoa yang tak sekadar jadi pahlawan nasional tapi juga dipakai untuk kapal perang TNI AL yang canggih (korvet KRI John Lie-358) sejak 2014,” lanjutnya.
Dari dedikasinya dan banyak kontribusi, bahkan konsekuensi dari “mengawal” isu-isu sejarah kontroversial itu, Bonnie pun menganggap Asvi sebagai satu dari sedikit sejarawan langka yang beruntung dimiliki Indonesia. Pasalnya pada suatu titik tertentu Asvi sudah berani berpihak untuk mengadvokasi pelurusan sejarah.
“Sejarawan seringkali enggak boleh berpihak. Walaupun ada saatnya sejarawan harus mengambil jarak dari objek yang ditelitinya dan pada titik apa sejarawan harus berpihak. Saya menemukan intelektual di diri Pak Asvi yang mengadvokasi tidak hanya semata berdiri di atas nama ‘netralitas, objektivitas’. Dia sudah melewati itu sehingga dia melakukan advokasi-advokasi terhadap para korban (Prahara 1965 dan stigma Tionghoa). Indonesia saya pikir beruntung punya seorang Asvi Warman Adam karena kerelaan dan dedikasi hidupnya. Seorang intelektual yang mengamalkan ilmunya agar tidak hanya terjadi di ruang akademik tapi kemudian bisa keluar untuk memengaruhi pola pikir masyarakat melihat suatu isu sejarah,” ujar Bonnie yang kini anggota Komisi X DPR RI tersebut.
Baca juga: Asvi Warman Adam Menjelaskan Kontroversi-Kontroversi Bung Karno