Orang Tionghoa Menambang Timah di Bangka
Bangka sudah dikenal sebagai penghasil tambang timah sejak kedatangan orang Eropa pada abad ke-17. Timah laku dijual ke Eropa untuk bahan campuran genta dan lonceng gereja. Sebagian besar penambangnya adalah orang Tionghoa.
Menurut Mary F. Somers Heidhues dalam Bangka Tin and Mentok Pepper, kedatangan massal orang Tionghoa terjadi pada 1710. Sultan Palembang tertarik mempekerjakan mereka karena melihat orang Tionghoa berhasil mengolah timah di Johor dan Perak. Hampir semua orang Tionghoa yang datang lelaki.
Mereka biasa dipanggil orang Hakka dan tinggal di wilayah pertambangan timah, sedangkan masyarakat setempat berada di sekitar sungai karena mata pencaharian mereka berkebun dan berladang. Meski begitu, dua kelompok itu tetap berinteraksi dan melahirkan percampuran budaya, terutama bahasa dan arsitektur bangunan.
Baca juga: Timah Bangka dan Tuan Besar Buaya
Gangguan bajak laut dan wabah penyakit beri-beri tak menghentikan laju migrasi orang Tionghoa ke Bangka. Jumlah mereka terus meningkat. Namun, sebagian besar berada dalam kondisi memprihatinkan. Mereka kerap dijerat utang melalui judi dan madat oleh mandor. Tak jarang mereka menerima kekerasan.
Di bawah kuasa kolonial, mereka sempat memberontak karena aturan yang menindas. Mereka menghimpun pemberontakan itu bersama orang Bangka-Melayu. Karena itu, mereka memiliki hubungan harmonis. Sampai sekarang hubungan itu tetap terjaga. Terbukti dari 249 kelenteng telah berdiri di Kepulauan Bangka Belitung. Dan mereka tetap bisa berbahasa Tionghoa.*
Baca juga: Perebutan Tambang Timah yang Menghancurkan
Orang Tionghoa Menambang Emas di Singkawang
Mereka biasa disebut orang Khek dan datang dalam jumlah besar pada 1760 atas undangan Sultan Sambas yang tak puas dengan sedikitnya hasil tambang emas dari pekerja Melayu dan Dayak. Hasilnya, tulis Hadi Purwanto dalam Orang Cina Khek di Singkawang, keahlian mereka memberi keuntungan besar untuk Kesultanan Sambas.
Mereka lantas membentuk kongsi untuk mendatangkan lebih banyak buruh dari Tiongkok. Mereka juga merekrut pasukan keamanan untuk melindungi diri karena merasa diperas Sultan Sambas. Pada akhir abad ke-18, mereka tak lagi mengakui kekuasaan Sultan Sambas dan berusaha mengambil alih tambang.
Selain dengan Sultan Sambas, mereka sempat bergesekan dengan orang Dayak dan Melayu terkait perebutan mata pencarian. Namun, itu tak menghalangi akulturasi budaya. Orang Khek tetap diterima penduduk. Bahkan, penduduk setempat bersedia menikah dengan mereka.
Baca juga: Gold dan Kisah Penipuan Tambang Emas di Kalimantan
George Windsar Earl, pengelana Inggris yang mengunjungi Singkawang pada 1834, mencatat dalam The Eastern Seas or Voyages and Adventures in The Indian Archipelago: “Toko-toko di Singkawang hanya dijaga oleh nyonya-nyonya yang bersuami laki-laki Tionghoa. Hanya sedikit nyonya pemilik toko adalah orang Tionghoa. Kebanyakan perempuan Dayak itu bersuamikan orang Tionghoa.”
Seperti umumnya kaum Tionghoa, mereka tak lepas dari diskriminasi; dituding membela pasukan Malaysia saat Konfrontasi, dicap komunis setelah G30S. Stigma itu tak menghentikan hubungan mereka dengan penduduk. Terbukti dari 462 kelenteng telah berdiri di Kalimantan Barat. Bahkan, mereka turut memperkaya budaya Dayak dan Melayu.*
Tulisan ini telah dimuat di majalah Historia No. 10 Tahun I 2013