NYARIS putus sekolah, karena keluarganya miskin, Ivana Lie terbantu karena prestasinya di bidang bukutangkis. “Dari situ akhirnya muncul motivasi. Kalau saya jadi juara, saya bisa membantu orangtua saya,” ujarnya. Sedari kecil dia kerap memenangi kejuaraan. Hingga suatu waktu, dia terpilih mewakili Indonesia dalam sebuah kejuaraan bulutangkis yunior di India. Namun, dia gagal berangkat lantaran tak punya paspor.
Latar belakangnya sebagai orang Tionghoa menjadi pangkalnya. Dia tak punya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), aturan lama bagi warga Tionghoa yang terus dipakai semasa Orde Baru. “Faktanya begitu,” ujar mantan atlet bulutangkis yang kemudian menjadi staf ahli di Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga ketika ditemui Historia di kantornya di bilangan Senayan, Jakarta.
Seperti pebulutangkis Tionghoa lainnya, Ivana Lie harus memiliki SBKRI setiap kali bertanding ke luar negeri. “Begitu pulang, kertasnya dicabut. Saya stateless,” ujarnya. Kendalanya baru teratasi setelah dia dan pebulutangkis lainnya berdialog dengan Presiden Soeharto –sementara warga Tionghoa lainnya mengalami diskriminasi ini lebih lama.
Baca juga: Ivana Lie, Srikandi Bulutangkis yang Tak Diakui
Terus Lahir
Ditemukan para perwira Inggris di India pada abad ke-18, bulutangkis kemudian menyebar ke negara-negara di Eropa dan Asia, termasuk Hindia Belanda. Tak jelas kapan masuknya. Liem Hong Giok dalam Pedoman Bulu Tangkis, yang terbit tahun 1954, menyebut pada 1928 seorang juara bulutangkis asal Penang, Yap Eng Hoo menginjakkan kakinya di Medan. Empat tahun kemudian Liem Hong Giok menyambangi Batavia.
“Saat itu sudah terdapat gabungan beberapa perkumpulan dengan nama Bataviasche Badminton Bond yang disingkat BBB. Setiap tahun BBB menyelenggarakan pertandingan antarklub,” tulis Suharso Suhandinata dalam biografinya, Diplomat Bulu Tangkis.
Sejak mula, orang-orang Tionghoa sudah memainkan olahraga ini. Mereka memiliki perkumpulan bernama Bataviasche Badminton Unie, yang kemudian jadi Persatuan Badminton Djakarta sebelum lebur dalam Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Di Bengkulu, orang Tionghoa bergabung dalam Klub Monte Carlo, yang berdiri sejak lama dan diasuh Sukarno ketika dibuang di sana.
“Maraknya perkembangan badminton yang bergerak dari Jakarta dan meluas ke Jawa Tengah dan Jawa Timur itu tak lepas dari usaha seorang pemain Jakarta, Oei Hok Tjoan, yang mengadakan kunjungan ke berbagai kota, di antaranya ke Pekalongan dan Surabaya. Dia yang merajai berbagai pertandingan saat itu,” tulis Suharso.
Baca juga: Ketika Rumah Susi Susanti Nyaris Dibakar
Baca juga: Gelar Juara di Tengah Prahara
Bulutangkis menjadi salah satu cabang olahraga terpenting di Indonesia setelah merdeka. Ia sudah diperlombakan dalam Pekan Olahraga Nasional I tahun 1948. Tiga tahun kemudian, lahir induk organisasi Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI).
Pada 1958, Indonesia merebut Piala Thomas dari tangan Malaya, juara tiga kali berturut-turut. Setelah itu, Indonesia langganan juara supremasi bulutangkis beregu tertinggi dunia itu. Di kejuaraan perorangan, Tan Joe Hok menjuarai All England. Era kejayaan ini dilanjutkan Rudy Hartono menjuarai All England delapan kali berturut-turut. Pebulutangkis beretnis Tionghoa terus lahir dari klub-klub di berbagai kota. Mereka juga tak henti melahirkan prestasi.
“Kenapa olahraga ini bisa bagus prestasinya? Itu akan tergantung apakah dia digemari oleh masyarakat. Bulutangkis sudah menjadi historis dari dulu,” ujar Ivana Lie.
Baca juga: Raihan Uber Cup Seharga Kain Brokat
Diskriminasi
Kebijakan pemerintah yang diskriminatif sempat mencoreng perbulutangkisan nasional. Peraturan Pemerintah No. 10/1958, yang melarang orang Tionghoa berdagang di daerah tingkat II dan berdampak tindakan kekerasan, mendorong ribuan orang Tionghoa memilih eksodus ke Tiongkok. Beberapa di antaranya pemain-pemain top bulutangkis yunior, yang kemudian menjadi pemain papan atas Tiongkok.
Salah satunya Tong Sin Fu atau Thing Hian Houw, kelahiran Teluk Betung, Lampung, yang sesampai di Tiongkok ganti nama dalam bahasa Mandarin menjadi Tan Xianhu. Di Tiongkok, dia merajai kompetisi bulutangkis pada 1970-an. Setelah pensiun, dia menjadi pelatih yang melahirkan pebulutangkis kenamaan, dari Li Lingwei hingga Yang Yang.
Beruntung, pada akhirnya Tong Sin Fu memilih kembali ke Indonesia. PBSI kemudian mengangkatnya sebagai pelatih tim nasional. Beberapa pemain merasakan polesannya: dari Icuk Sugiarto hingga Alan Budikusuma. Namun, lantaran permintaannya untuk memperoleh SBKRI ditolak, dia kembali ke China pada 1998. Kerugian untuk Indonesia langsung terasa: China mengalahkan Indonesia 3-0 di final Piala Thomas pada 2010.
Baca juga: Tionghoa Warga Tanpa Negara
Politik kembali memakan korban. Sebagai dampak G30S tahun 1965, Liang Chiu Sia (Leung Ca Hua) hengkang ke China pada 1966. Menariknya, tapi ironis, “sebagaimana sering terjadi, beberapa saudara Liang pergi bersamanya ke China, sementara yang lainnya tetap tinggal di Indonesia. Di antara mereka yang bertahan adalah adik lelakinya, Tjun Tjun, yang memenangi gelar ganda putra All England enam kali untuk Indonesia antara 1974 dan 1980,” tulis Colin Brown dalam “Sport, Politics and Ethnicity: Playing Badminton for Indonesia”. “Liang kemudian meninggalkan China ke Hong Kong, dan akhirnya kembali ke Indonesia, memperoleh kewarganegaraan Indonesia pada 1986.”
Tak heran jika muncul anggapan bahwa orang-orang Indonesia-lah yang mengembangkan bulutangkis China.
Kendati sudah mengharumkan nama Indonesia, pebulutangkis Tionghoa terus mendapat perlakuan diskriminasi. SBKRI selalu menjadi momok. Toh, mereka tetap berusaha keras dan berjuang untuk kebanggaan diri dan nama harum Ibu Pertiwi. “Karena rasa nasionalisme saya tidak bisa dinilai dengan sebuah surat yang bernama SBKRI,” tulis Hendrawan, yang pernah kesulitan memperoleh SBKRI, dalam “Catatan Bulutangkis Hendrawan: Antara Nasionalisme dan Profesionalisme”, dimuat bulutangkis.com.
Syarat SBKRI akhirnya dicabut pada 1996. Jika pengalaman buruk para pebulutangkis nasional terulang lagi, kejayaan bulutangkis Indonesia mungkin hanya tinggal kenangan.*
Majalah Historia No. 10 Tahun I 2013