Masuk Daftar
My Getplus

Sejarah Gambang Kromong dan Wayang Potehi

Berawal dari peranakan Tionghoa, gambang kromong jadi kesenian tradisional khas Betawi. Pertunjukan Wayang Potehi sempat mati suri di era Orde Baru.

Oleh: Historia | 12 Okt 2024
Gambang Kromong. (Ikhtisar Kesenian Betawi).

Gambang Kromong

UNTUK menyambut pembebasan Nie Hoe Kong, seorang Kapitan Cina di Batavia, dari pembuangan di Makassar pada 1743, sebuah pesta khusus digelar. Pertunjukan orkes gambang ikut memeriahkan suasana.

Terpesona, Nie Hoe Kong mencari tahu. Ternyata, musik itu hasil interaksi orang Tionghoa dengan penduduk setempat. Gamelan slendro dan pelog diganti yang-khim, instumen berdawai serupa kecapi tapi dimainkan dengan cara dipukul dengan alat khusus, dan dimainkan dengan instrumen lainnya. Karena yang-khim sulit diperoleh, digantilah gambang yang terbuat dari kayu.

“Lama-kelamaan, orkes gambang yang semula hanya digemari oleh kaum peranakan Tionghoa, pun mulai digemari oleh golongan pribumi,” tulis Phoa Kian Soe dalam “Orkes Gambang, Hasil Kesenian Tionghoa Peranakan di Jakarta”, dimuat Pantjawarna tahun 1949.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Imlek tanpa Tanjidor

Sekitar 1880, atas usaha Tan Wangwe dengan dukungan kepala kampung (Wijkmeester) Pasar Senen, Teng Tjoe, orkes gambang mulai dilengkapi dengan kromong. Sejak itu, orkes ini dikenal dengan sebutan gambang kromong –kelak, ada yang menggabungkannya dengan alat-alat musik modern. Dan mulailah mereka ngibing, yang disebut tari cokek.

Dari rumah-rumah Tionghoa kaya, gambang kromong kemudian memeriahkan pesta dan perayaan hingga menjadi pertunjukan di rumah-rumah plesir. Ia juga menyebar ke Semarang, yang kemudian dikenal sebagai Gambang Semarang.

Gambang kromong memasuki masa keemasan pada 1970-an karena keterlibatan seniman ternama macam Benyamin S, Ida Royani, dan Lilis Suryani. Kini, ia menjadi kesenian tradisional yang muncul saat momen-momen tertentu.

Wayang Potehi dengan cerita Sie Djien-Koei, Jakarta. (Taman Renyah/Wikipedia). 

Wayang Potehi

ALKISAH, di Negeri Tiongkok, lima narapidana divonis hukuman mati. Untuk menghibur diri, berbekal alat seadanya, mereka membuat pertunjukan boneka yang mengisahkan kehebatan raja. Siapa sangka raja terhibur dan memberi ampun.

Itulah legenda di balik kemunculan Potehi atau Poo Tay Hie, wayang boneka dari kain. Cara memainkannya, dalang memasukkan tangan ke dalam boneka dan menggerakannya. Diperkirakan ia sudah ada pada masa Dinasti Jin (265-420 M) dan diperkenalkan para perantau Tiongkok di Nusantara sejak abad ke-17.

“Awak Potehi biasanya terdiri dari lima orang, tiga pemain musik, seorang dalang dan asisten dalang. Dulu memainkannya terbatas di kelenteng,” kata Sugiyo Waluyo, 51 tahun, dalang Potehi asal Surabaya.

Baca juga: 

Wayang Potehi Terawat di Gudo

Seiring zaman terjadi perubahan. Cerita dan lakon-lakonnya tak hanya dari kisah klasik Tiongkok, tapi juga mengambil cerita populer seperti Sun Go Kong atau Kera Sakti. Dialek Hokian berganti jadi bahasa Melayu. Menariknya, karena akulturasi budaya, beberapa cerita dan lakon seperti Sam Pek Eng Tay diadaptasi dalam pertunjukan ketoprak.

Potehi juga mempengaruhi kemunculan wayang Thithi yang dimainkan dalam bahasa Jawa. “Wayang kulit Cina-Jawa ini sering disebut sebagai revolusi dari wayang Potehi, dan terkenal mulai tahun 1925 sampai 1967,” tulis Ngesti Lestari, dosen Sejarah Universitas Diponegoro Semarang, dalam hasil penelitian berjudul “Dari Wayang Potehi ke Wayang Thithi”.

Kebijakan diskriminatif masa Orde Baru melenyapkan wayang Potehi dan Thithi. Wayang Potehi kembali bergeliat sejak masa pemerintahan Abdurrahman Wahid kendati tak segreget dulu.*

Majalah Historia No. 10 Tahun I 2013

TAG

wayang tionghoa

ARTIKEL TERKAIT

Kado Manis dari Tionghoa untuk Tenis Indonesia Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Diaspora Resep Naga Kiprah Tionghoa dalam Tinju dan Wushu Sastra Melayu Tionghoa, Pelopor Sastra yang Merana Bung Karno dan Jenderal S. Parman Penggila Wayang Tentang Dua Kelenteng yang Bersejarah Pengaruh Tionghoa pada Masjid Demak dan Masjid Angke Amuk Pengikut Sun Yat Sen di Sanga-sanga