Masuk Daftar
My Getplus

Kiprah Tionghoa dalam Tinju dan Wushu

Petinju Tionghoa terus bertahan sejak era The Twan Liong hingga Chris John dan Daud “Cino” Yordan. Wushu, satu dari sekian banyak buah relasi panjang Tiongkok-Nusantara.

Oleh: Historia | 13 Okt 2024
Chris John. (Historia.ID).
Hengky “The Killer” Gun pada perebutan gelar juara WBC Intercontinental melawan Robert Dickie di Inggris, 1990.

Tionghoa di Pentas Adu Jotos

WAJAH lebam dan berdarah tak mengendorkan semangatnya. Sempat dua kali terjatuh, Chris John akhirnya berhasil mempertahankan gelar juara dunia kelas bulu usai mengalahkan petinju Thailand Chonlatarn Piriyapinyo pada November 2012 di Singapura.

Sejak mulai dipertandingkan di awal abad ke-20, tinju menarik banyak orang. Adalah serdadu-serdadu Hindia Belanda (KNIL) yang mempopulerkan dan memainkannya di berbagai pasar malam. “Di setiap pasar malam, dapat dipastikan akan ada pertandingan tinju,” tulis Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah diterbitkan Ditjen Olahraga Depdiknas. Perlahan, olahraga ini menyebar dengan berdirinya banyak sasana (stall) di berbagai kota.

Baca juga: 

Advertising
Advertising

Chris John Antara Tinju dan Wushu

Orang-orang Tionghoa tertantang untuk menggelutinya. Muncul beberapa sasana milik pengusaha kaya Tionghoa seperti Stall milik Sport Vereniging Tionghoa dan Stall Gie Hoo di Surabaya. Ada juga yang jadi promotor seperti Liem Tiang Tjwan di Jakarta dan Tan Sei Tiat di Surabaya. Pada 1950-an, Liem Bwan Sing (Laksono Petrus Setyadi) jadi promotor yang menampilkan petinju-petinju profesional di berbagai pasar malam, dan kemudian membangun sasana tinju.

Petinju beken di masa kolonial antara lain The Twan Liong, The Tjoe Liong, dan Tio Hian Gwan. Kiprah mereka diikuti Kawanto Pamungkas alias Ong Kay Tjwan, petinju terbaik di kelas bantam era 1960-an, dan Hengky “The Killer” Gun, penyandang gelar juara dunia kelas bulu super WBC yunior dan juara OPBF (Asia-Pasifik) empat kali berturut-turut era 1980-an.

Saat ini, setelah Chris John, yang tak kalah mentereng adalah Daud “Cino” Yordan, penyandang sabuk juara kelas bulu versi IBO.


Vonny Kusumadewi sedang melatih di klubnya, Poenix Wushu Kids, di Kembangan, Jakarta Barat. (Randy Wirayudha/Historia.ID).

Wushu, Warisan Budaya Saudara Tua

VONNY Kusumadewi serius mengamati anak-anak didiknya yang berlatih senam di sasana Poenix miliknya. “Karena wushu itu kan juga ada unsur senam. Jadi mereka lagi jadwal latihan senam,” ujar Vonny, mantan atlet wushu nasional, kepada Historia.

Tak ada catatan kapan wushu masuk Indonesia. Menurut Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah diterbitkan Ditjen Olahraga Depdiknas, wushu mulanya dikenal sebagai kunthauw. Yang memperkenalkannya adalah imigran Tiongkok yang datang ke Nusantara dan membuka perguruan.

Seni beladiri ini mulai menyebar sejak kedatangan Louw Djing Tie, seorang lulusan sekolah Shaolin di Tiongkok, sekira tahun 1900. Dia menetap dan membuka Perguruan Garuda Mas Shaolin di Parakan, Jawa Tengah. Dari sinilah wushu menyebar ke banyak tempat.

Baca juga: Vonny Kusumadewi dari Balet ke Wushu

IGK Manila, kala itu wakil Dan Puspom Angkatan Darat, lalu mendirikan Pengurus Besar Wushu Indonesia (PBWI) pada 10 November 1992. Untuk mengembangkan wushu, Manila mendatangkan pelatih-pelatih dari Tiongkok.

Beberapa pewushu Indonesia sudah berprestasi di ajang internasional; meraih medali emas di kejuaraan Wushu Asia I di Yokohama, Jepang (1987) dan medali perak di Festival Wushu I di Hang Chiu, China (1988). Kini, wushu jadi penyumbang medali bagi Indonesia ajang SEA Games maupun Asian Games. Ia juga kian popular dan peminatnya tak lagi terbatas orang-orang Tionghoa. “Di era modern ini, olahraga yang dikemas dengan lebih indah itu namanya wushu,” ujar Vonny.*

Majalah Historia No. 10 Tahun I 2013

TAG

tionghoa wushu tinju

ARTIKEL TERKAIT

Kado Manis dari Tionghoa untuk Tenis Indonesia Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Diaspora Resep Naga Sejarah Gambang Kromong dan Wayang Potehi Sastra Melayu Tionghoa, Pelopor Sastra yang Merana Sarung Tinju Muhammad Ali Punya Cerita Empati Muhammad Ali untuk Palestina Tentang Dua Kelenteng yang Bersejarah Pengaruh Tionghoa pada Masjid Demak dan Masjid Angke