Chris John Antara Tinju dan Wushu
Sebelum mendunia lewat tinju pro, Chris John langganan prestasi wushu. Kini estafet prestasinya diteruskan kedua putrinya.
MARIA Rosa Christiani, putri mantan bintang tinju Indonesia Chris John, mengikuti jejak kesuksesan ayahnya mengecap prestasi. Maria mengalungi medali emas nomor taolu kelas A (senior) di Jatim Open Wushu Championship pada Minggu (18/9/2022) lalu.
Kejuaraan Jatim Open itu jadi pembuka dari rangkaian agenda Kejurnas Wushu, 16-22 September 2022. Ajang tersebut sebagai persiapan Indonesia menjadi tuan rumah Kejuaraan Dunia Wushu Junior, 2-11 Desember 2022.
Sebelumnya, putri pertama Chris John, Maria Luna Ferisha, juga menggeluti wushu. Atlet putri yang akrab disapa Fey itu tercatat pernah menyabet medali perak di nomor taichi pada Kejurnas Wushu 2019.
Seperti kedua putrinya, Chris John sebelum dikenal sebagai petinju Indonesia paling sukses mengglobal dengan gelar juara tinju dunianya pernah meraih sejumlah prestasi di cabang wushu. Pria kelahiran Jakarta, 14 September 1979 itu bahkan pernah menjalani dua cabang sekaligus sampai di masa awal masuk tinju profesional.
“Banyak yang berpikir dulu saya wushu dulu, makanya di sini saya perjelas juga. Awalnya memang saya di tinju amatir dulu. Baru setelah masuk pro (awal karier), saya coba di event-event wushu,” kenang Chris saat berbincang dengan Historia, 2 Juli 2022.
Baca juga: Fonny Kusumadewi, Dari Balet ke Wushu
Dari Tinju ke Wushu, Kembali ke Tinju
Sebagaimana banyak kisah atlet legendaris, “DNA” olahraga Yohannes Christian ‘Chris’ John menurun dari mendiang ayahnya, Djohan Tjahjadi (Tjia Foek Sem). Sejak usia dini, Chris dan adiknya, Adrian, sudah mulai dilatih sang ayah yang kariernya hanya sampai level amatir di tingkat lokal.
Chris berkisah bahwa di masa amatir pada 1970-an, Djohan acap berlatih dan bertanding diam-diam tanpa sepengetahuan orangtuanya yang tak mendukung kariernya. Tak ayal ketika Chris lahir, Djohan amat mendukungnya menjadi petinju hingga berupaya membimbing langsung latihan sejak Chris kecil.
“Dia punya ambisi bahwa, ‘saya ingin kalau punya anak cowok, saya akan latih dia.’ Akhirnya terwujud, saya lahir di tahun 1979 di Jakarta, di usia lima tahunan sudah dilatih tinju oleh ayah saya. Jadi memang saya awal-awal dilatih tinju oleh ayah saya. Terus akhirnya dari Jakarta kami harus pindah ke desa kecil di Banjarnegara, mulai dari situ saya mulai digembleng di sana,” sambung Chris.
Baca juga: Tuntutlah (Ilmu) Wushu sampai ke Negeri Cina
Dari kedua putranya, Djohan menyadari Chris yang paling punya bakat. Maka Chris di usia 14-15 tahun mulai sering dibawanya ke sejumlah event amatir lokal semacam antar-kecamatan dan antar-kabupaten. Talenta Chris rupanya juga diendus pelatih kondang Sutan Rambing.
“Terus dari amatir itu saya sempat mewakili Banjarnegara untuk bisa bertanding di Porda 1995. Dari situ ada salah satu pelatih senior, Sutan Rambing, cukup memperhatikan saya. Ada satu juga pemerhati, pengurus Pertina di Jawa Tengah, Pak Sudarsono, dia sudah melihat saya. Dia bilang, ‘Oh... kayaknya anak ini cukup berbakat’,” lanjutnya.
Sutan, yang melihat Chris sebagai bibit muda dengan prospek cerah, menawarkan pelatihan yang lebih mumpuni di Sasana Orang Tua, Semarang, Jawa Tengah. Djohan, yang merasa kemampuannya melatih putranya masih terbatas, mengikhlaskan Chris ditempa di Semarang dengan program-program pelatihan dan fasilitas lebih baik dengan harapan putranya bisa punya prestasi yang jauh lebih baik darinya.
Tetapi di sasana itu rupanya Chris tak hanya mengikuti program-program latihan tinju. Belakangan, menjelang Kejurda Wushu 1996, Sutan Rambing mengarahkan Chris dan beberapa petinju muda lain untuk menggeluti wushu sekaligus.
“Kebetulan di sasana itu juga diadakan kepelatihan atau pemusatan latihan untuk Kejurda untuk wushu nomor sanda, jadi seperti kickboxing-lah. Pak Sutan Rambing berpikir, ya kenapa enggak? Petinju bisa masuk kok. Dengan dia bisa mukul, pakai pukulan aja sudah enggak masalah. Paling tetap pakai aturan di wushu, pukulan enggak boleh bertubi-tubi, satu arah. Para petinju waktu itu beberapa yang terjun di wushu sanda juga dan cukup menorehkan prestasi, termasuk saya,” tambah Chris.
Baca juga: Wushu Menembus Sentimen dan Stigma Orde Baru
Meski belum lama mendalami wushu, Chris berhasil juara di cabang wushu PON 1996 yang masih eksebisi. Ia lalu terpilih masuk Timnas Wushu Indonesia untuk SEA Games 1997. Lagi-lagi, Chris berhasil meraih emas.
Mengutip buku Chris John: Legenda Baru Dunia Tinju Indonesia, Chris melakoni debutnya di ajang multi-event se-ASEAN itu dengan menghasilkan medali emas. Sejak itulah Chris menjalani dua jalur karier sekaligus yang hebatnya juga bergelimang prestasi di tinju kelas bulu. Di antaranya juara (amatir) Mahesa Cup 1997 dan Kejurnas Junior 1998.
“Kemudian PON (2000) di Surabaya juga dapat emas. Beberapa kejurda juga dapat emas. Sampai akhirnya saya di wushu sekaligus di tinju. Apalagi saat-saat itu juga ada gelaran tinju profesional di televisi ya. Ya sudah, sambil ikut itu dan kalau ada pertandingan wushu yang bisa saya ikuti, saya ikuti. Karena waktu itu level-levelnya di tinju masih bisa saya peganglah ya, untuk bisa konsentrasi di tinju maupun di wushu,” kata Chris.
Selepas Kejurnas Junior 1998, Chris menasbihkan diri jadi juara nasional usai mengalahkan Muhammad Alfarizi di level senior Kejurnas 1999. Pertarungan itu jadi salah satu duel paling berkesan bagi Chris.
“Saya menghadapi (almarhum) Alfarizi, di ronde-ronde awal kena pukulan telak hingga hidung saya patah. Saya juga terjatuh dengan pukulan itu di awal-awal ronde. Setelah itu saya teringat kata-kata ayah, untuk kemudian saya bisa bangkit,” kenang Chris.
Baca juga: Wushu dan Telepon Merah RI Satu
Ketika pada 1999 Chris mulai membulatkan tekad untuk masuk tinju pro, namanya masih tercatat sebagai atlet wushu. Chris turut mempersembahkan medali perunggu di SEA Games 2001. Di tahun yang sama, Chris juga sukses melingkarkan sabuk juara tinju PABA usai mengalahkan Soleh Sundava.
“(Tahun) 2000-2001, level saya mulai naik, di tinju saya juara PABA. Itu saya masih di wushu juga. Sampai akhirnya 2003 saya dapat kesempatan kejuaraan dunia di Bali lawan Oscar León, gelar kosong (kelas bulu WBA, red.) waktu itu. Akhirnya kita mulai berpikir sepertinya fokus di tinju aja, makanya saat itu juga wushu saya lepas,” tutur legenda berjuluk The Dragon tersebut.
Pilihannya tak keliru. Chris sukses menggondol sabuk kelas bulu WBA di “Pulau Dewata” pada 26 September 2003 usai menang angka dari Oscar León Navas asal Kolombia. Chris kemudian tercatat sebagai petinju Indonesia ketiga yang punya gelar dunia. Ia mewujudkan mimpinya mengikuti salah satu idolanya, Ellyas Pical, yang jadi petinju Indonesia pertama dengan gelar dunia (versi IBF) pada 1985. Petinju Indonesia kedua dengan gelar dunia yakni Nico Thomas, yang memegang IBF pada 1989.
“Itu (Ellyas Pical) idola saya juga dari kecil, untuk bisa menjadi seperti Ellyas Pical yang dikagumi banyak orang. Pertamakali saya punya role model, Ellyas Pical. Dulu kalau dia tanding, rame masyarakat datang ke rumah saya karena kebetulan televisi waktu itu enggak banyak. Sementara petinju luar, saya senang dengan gayanya Oscar De La Hoya yang taktis dan counter-boxer,” lanjutnya.
Kendati sudah lama gantung sarung tinju, nama Chris saat ini masih lekat di kepala para penggemar tinju. Chris tak hanya bisa mengikuti jejak idolanya menjadi juara dunia, namun juga mewujudkan impian sang ayah. Terlebih, gelar juara dunia WBA-nya terus ia pertahankan hingga satu dekade kemudian sebelum gantung sarung tinju.
“(Chris John) itu petinju kita satu-satunya yang terlama, di seluruh dunia (mempertahankan gelar). More than 10 years. Enggak sedikit itu waktunya. Sepuluh tahun lebih dia jadi juara. Enggak gampang itu (diikuti petinju lain),” tandas pengamat tinju M. Nigara kepada Historia.
Baca juga: Sengkarut Tinju Pro Indonesia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar