Masuk Daftar
My Getplus

Pengaruh Tionghoa pada Masjid Demak dan Masjid Angke

Masjid Demak salah satu masjid tertua di Indonesia. Menggunakan tukang kayu dan arsitektur Tiongkok. Empat perpaduan arsitektur pada Masjid Angke merupakan simbol multikulturalisme.

Oleh: Historia | 03 Agt 2024
Masjid Demak antara tahun 1870-1900. (Wereldmuseum Amsterdam).

Masjid Demak Prototipe Masjid Nusantara

SETELAH mengalahkan Majapahit pada abad ke-15, Raden Patah atau Panembahan Jinbun yang seorang Muslim ingin adanya sebuah masjid untuk memperindah ibukota Demak sekaligus melengkapi identitas sebagai kerajaan Islam.

Pembangunan sudah dimulai tapi tak pernah selesai karena kesulitan mendirikan tiang penyangga (sokoguru) berupa empat tiang raksasa yang menjadi konstruksi utamanya. Salah satu tiang terbuat dari potongan-potongan kayu (sokotatal). Tukang-tukang setempat tak punya pengalaman.

“Tiga tahun setelah penundukan Majapahit, kapten Cina Gan Si Cang di Semarang menyampaikan permohonan kepada bupati Kin San untuk ikut serta menyelesaikan pembangunan masjid agung Demak,” tulis Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara.

Advertising
Advertising

Baca juga: Legenda Kota Suci Demak

Kin San, ipar Jin Bun, meneruskan permohonan itu. Jin Bun menyambut baik. Dimulai pembangunan masjid yang dikerjakan tukang-tukang kayu Tionghoa dari galangan kapal Semarang. Itulah sebabnya sokotatal tersebut “mirip teknik penyambungan tiang-tiang kapal jung Cina,” tulis Sumanto Al Qurtuby dalam Arus Cina-Islam-Jawa.

Pengaruh Tionghoa juga tampak pada mustaka (hiasan di atap masjid), berbentuk bola dunia yang dikelilingi empat ular, tembok bergambar kura-kura di mihrab (tempat imam), penggunaan tumpak, serta hiasan piring dan hiasan lainnya. Sementara atap tumpangnya, sekalipun masih diperdebatkan, mengingatkan pada atap pagoda. Masjid Demak kemudian menjadi prototipe masjid di Nusantara.*

Baca juga: Benarkah Kesultanan Demak Bagian dari Turki Usmani?

Pintu masuk Masjid Angke. (KITLV).

Masjid Angke dari Tionghoa untuk Bali

ENAM kampung Bali, kebanyakan penduduknya adalah budak yang dijual raja-raja mereka, tak lagi mampu menampung orang Bali. Memasuki abad ke-18 pemerintah Batavia mendirikan sebuah Kampung Bali lagi di dekat Kali Angke. Penduduk kampung ini warga merdeka dan datang atas kemauan sendiri.

Orang Bali Muslim bermukim di kampung ini. Dibantu warga Tionghoa, mereka mendirikan sebuah masjid pada 1761. Perancangnya, seorang Tionghoa yang menurut tradisi bernama Gouw Yjay, menyerap beragam budaya.

Atapnya bertumpang dua seperti kebanyakan masjid di Batavia kala itu. Untuk mengadaptasi gaya Bali, ujung atap dirancang agak melengkung (punggel). Pengaruh Jawa tampak dalam bentuk dasar bangunan yang menyerupai pendopo, gapura, dan tembok yang mengelilingi masjid. Pintu, anak tangga, jendela, dan ornamen pintu mendapat sentuhan kolonial. Sementara gaya Tionghoa kental pada kayu penyangga (sokoguru) yang berukir kepala naga.

Baca juga: Melestarikan Keberkahan Masjid Angke

Menurut sejarawan Adolf Heuken, arsiteknya paling tidak telah mengenal beragam arsitektur. Sementara Kees Van Dijk dalam “Perubahan Kontur Masjid”, termuat di Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia, menyebut perpaduan ini sangat penting untuk melihat pola hubungan orang Bali, Belanda, Tionghoa, dan Jawa masa itu.

Masjid Angke masih berdiri dengan arsitektur aslinya. Pemugaran dilakukan beberapa kali tapi tak sampai mengubah bentuk dan gayanya. “Hanya materialnya yang diganti dan diperkuat,” kata Haji Ahmad, mantan kepala pengurus Masjid Angke, yang sekarang dikenal dengan Masjid al-Anwar.*

Tulisan ini telah dimuat di majalah Historia No. 10 Tahun I 2013

TAG

masjid demak tionghoa

ARTIKEL TERKAIT

Raja-Raja Jawa dalam Lintasan Masa Amuk Pengikut Sun Yat Sen di Sanga-sanga Orang Tionghoa di Tambang Timah dan Emas Kaum Papa Tionghoa dari Benteng Tangerang Om Genit Mata Keranjang Njoo Han Siang, Pengusaha yang Tak Disukai Soeharto Mencari Ruang Narasi Peran Etnik Tionghoa dalam Sejarah Bangsa Pajak Judi Masa Kompeni Mula Pedagang Kelontong Kala Penduduk Tionghoa di Batavia Dipimpin Wanita