Masuk Daftar
My Getplus

Raja-Raja Jawa dalam Lintasan Masa

Catatan sejarah Jawa cukup sesak dengan para raja beserta pencapaiannya.

Oleh: Randy Wirayudha | 27 Agt 2024
Candi Prambanan yang merupakan warisan Raja Rakai Pikatan di masa Kerajaan Medang/Mataram Kuno (kemendikbud.go.id)

BELUM lama ini, ketua umum partai besar yang baru terpilih secara aklamasi sekaligus seorang menteri menyinggung perihal “raja Jawa”. Katanya, bisa celaka kalau main-main dengan raja Jawa. 

Tentu saja publik bertanya-tanya. Tak terkecuali Megawati Sukarnoputri, ketua umum PDIP. Sayangnya, publik justru diminta menafsirkan sendiri-sendiri oleh seorang staf yang mewakili rezim. 

“Jawa” yang dimaksudkannya kemungkinan besar mengacu pada etnis, yakni orang-orang-orang yang mendiami Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Sebab, masyarakat di Jawa bagian barat beretnis Sunda.

Advertising
Advertising

Lantas, pertanyaannya, raja yang mana? Toh, sejak abad ke-5 ada banyak raja ataupun ratu di tanah Jawa dengan pencapaian masing-masing. Berikut di antaranya: 

Baca juga: Prasasti Damalung yang Hilang Ditemukan di Negeri Seberang

Kerajaan Medang/Mataram Kuno 

Kendati Kerajaan Kalingga (594-695 Masehi) disebutkan sebagai yang tertua di kawasan Jawa Tengah, tapi wilayahnya di masa jayanya hanya dari Sungai Pemali (Kali Brebes) hingga Kuwu (Grobogan). Pun Kerajaan Kanjuruhan sebagai yang tertua di Jawa Timur (700-760 M), wilayahnya sebatas lembah Sungai Brantas hingga lereng timur Gunung Kawi. Maka Kerajaan Medang/Mataram Kuno (732-1016) dapat dikatakan yang pertama menguasai tanah Jawa, meliputi mayoritas Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur.

Masa kejayaan Medang bermula dari era Rakai Panangkaran (746-784 M) dari Wangsa/Dinasti Syailendra. Di masa itu, kemajuan pesat Medang ditandai dengan warisan-warisan candi megah bercorak Buddha: Candi Kalasan, Candi Sewu, Candi Plaosan, Situs Ratu Boko hingga Candi Borobudur. Namun, menurut filolog Belanda Johannes Gijsbertus de Casparis dalam Prasasti I: Inscripties uit de Çailendra-tijd (1950), pembangunannya dilanjutkan di masa Raja Samaratungga (802-842) dan Raja Rakai Pikatan (847-855).

“Seperti Candi Plaosan memang sedikit seperti candi Hindu tapi pada dasarnya ini candi Buddha karena ada beberapa stupanya. Dibuatnya dari era Dinasti Syailendra di abad ke-8 (era Rakai Panangkaran). Satu zaman dengan Borobudur dan Ratu Boko. Dibuat lebih dulu ketimbang (candi) Prambanan karena (di prasastinya) aksaranya Palawa,” terang Ancah Yosi Cahyono, tenaga pembantu pemugaran Balai Pelestarian Kebudayaan X, kepada Historia.

Sedangkan Candi Prambanan, murni warisan era Rakai Pikatan. Di masa kekuasaan raja beragama Hindu inilah Medang maju pesat dalam hal wilayah, yang membentang dari Brebes di barat –berbatasan dengan Kerajaan Sunda Galuh– hingga Argopuro di Jawa Timur usai Rakai Pikatan “menganeksasi” Kerajaan Kanjuruhan pada 847 M lewat perkawinan politik.

“Itulah sebabnya Kerajaan Kanjuruhan menjadi daerah swapraja (sima) dari Medang Mataram. Maka sangat wajar ketika Medang diperintah Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M), raja Kanjuruhan menyumbangkan bangunan candi perwara (pengiring) di komplek Candi Prambanan yang dibangun oleh Rakai Pikatan,” tulis Otto Sukatno dan Untung Mulyono dalam Pararaton Kitab Para Raja: Menguak Jejak Genealogi Sejarah Wangsa Jawa dari Tarumanegara hingga Majapahit.

Baca juga: Prasasti Damalung Wajib Dipulangkan, Begini Kata Arkeolog

Kerajaan Kadiri 

Kerajaan Kadiri (1042-1222) yang kadang disebut Daha atau Panjalu berdiri tak lama usai keruntuhan Kerajaan Medang/Mataram Kuno. Mulanya, satu per satu wilayah Medang ditaklukkan Airlangga (1019-1043), penguasa Kerajaan Medang Kahuripan. Lantas Kadiri lahir usai pembelahan wilayah menjadi Panjalu dan Janggala oleh keturunannya dari Wangsa Isyana sepeninggal Airlangga.

“Panjalu di bawah Sri Jayabhaya (lalu) berhasil menaklukan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam Prasasti Ngantang (1135), yaitu ‘Pangjalu Jayati’ yang berarti Kadiri Menang. Pada masa Jayabhaya inilah Kerajaan Kadiri mengalami masa kejayaannya,” tulis Aloysius Fernandi dalam Ensiklopedia Sejarah Kerajaan Nusantara: Seri III.

Di masa kekuasaan Jayabaya (1135-1159), Kadiri memperluas wilayahnya ke hampir segenap Pulau Jawa. Dengan Kedatuan Sriwijaya di Sumatera, Kadiri mengendalikan wilayah-wilayah di jalur perniagaan mulai Selat Malaka hingga Laut Jawa, bahkan bagian selatan Kalimantan. Di eranya pula Jangka (Ramalan) Jayabaya yang bersumber dari Kitab Musasar kondang.

“Ramalan Jayabaya berbentuk tembang atau kakawin dalam bahasa Jawa Kuno. Kata-katanya bisa dilagukan dan mengandung arti yang dalam, terutama mengupas pelbagai hal yang menyangkut nasib Pulau Jawa sampai 2100 nanti. Oleh karenanya selalu jadi buah bibir masyarakat Jawa sejak berabad-abad silam karena memiliki akurasi dan ketepatan sendiri. Wajarlah dalam situasi penuh kekacauan, orang berpaling pada Ramalan Jayabaya untuk mencari jawaban,” ungkap D. Soesetro dan Zein Al-Arif dalam Menguak Rahasia Ramalan Jayabaya.

Baca juga: Api Terakhir di Bhumi Kadiri

Kerajaan Singhasari 

Meski kerajaan Hindu-Buddha ini selalu punya kaitan erat dengan kisah-kisah pendirinya, Ken Angrok –yang mengalahkan Kerajaan Kadiri pada Pemberontakan Ganter di abad ke-13, Kerajaan Singhasari (1222-1292) justru mencapai kejayaan di era raja terakhirnya, Kertanagara (1268-1292). Wilayahnya meliputi bekas wilayah Kerajaan Kadiri namun pengaruhnya meluas sampai ke Semenanjung Malaya.

Pada 1275-1286, Raja Kertanagara melancarkan Ekspedisi Pamalayu di bawah pimpinan Kebo Anabrang ke wilayah Kerajaan Melayu di Dharmasraya. Ekspansi ini belakangan diklarifikasi sebagai bukan penaklukan, melainkan perjalanan menjalin persahabatan.

“Dari perjalanan itu, (raja) Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa bersedia menyerahkan dua puterinya, Dara Petak dan Dara Jingga untuk dibawa serat ke Jawa. Kalau begitu, apakah itu sebuah penaklukan? Jadi, ini narasi peristiwa persahabatan diubah (narasi kolonial) jadi sebuah penaklukan,” kata Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan saat membuka Festival Pamalayu di Museum Nasional Jakarta pada 22 Agustus 2019.

Pada kurun 1282-1284, Kertanagara juga mengirimkan Ekspedisi Pabali ke Pulau Bali dan sekitarnya. Dengannya, hubungan perdagangan rempah sampai ke Maluku Selatan dijalin.

Keberanian Kertanagara juga dikenal lewat penolakannya untuk tunduk pada penguasa Mongol, Kubilai Khan. Alih-alih mengirim tanda takluk pada beberapa utusan Kubilai Khan yang tiba di Jawa, Kertanegara malah merusak wajah Meng Qi, utusan terakhir Kubilai Khan, sebagai bentuk penolakan.

Di masa Kertanegara, Singhasari mencapai puncak kejayaan. Menurut arkeolog Universitas Indonesia Dr. Ninie Susanti Tedjowasono, Singhasari mewariskan puncak seni arca Nusantara. Ini tampak pada beberapa arca asal Candi Singhasari, yakni Arca Durga, Mahakala, Nandiswara, dan Ganesha yang baru dipulangkan ke tanah air dari Belanda pada 2023.

“Arca pada masa Singhasari dibuat sangat halus dan jelas arca ini besar-besar, kemudian dipahat dengan sangat halus, dan sesuai dengan kaidah ikonografi, seni arca, dan saya pikir punya ciri sendiri. Ini adalah satu puncak seni arca yang ada di Indonesia,” terangnya kepada Historia.

Baca juga: Puncak Seni Arca dari Candi Singhasari

Kerajaan Majapahit 

Kenekatan Kertanagara terhadap Mongol, menurut Herald van der Linde dalam bukunya Majapahit: Intrigue, Betrayal and War in Indonesia’s Greatest Empire, ikut memprakondisikan kelahiran Majapahit (1293-1527) yang merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir di Nusantara. Pasalnya, tebasan hidung Meng Qi oleh Kertanagara mengakibatkan Kubilai Khan marah dan mengerahkan pasukannya. 

Namun ketika pasukan Kubilai Khan tiba di Jawa, Kertanagara sudah mangkat (Juni 1292) di tangan Raja Gelang-Gelang, Jayakatwang –keturunan raja terakhir Kadiri, Kertajaya. Pasukan Mongol itu kemudian justru dirangkul Raden Wijaya, menantu mendiang Kertanagara, untuk berkoalisi menghancurkan Jayakatwang. Ujung-ujungnya, Raden Wijaya yang mendirikan Majapahit kemudian berbalik menghancurkan pasukan Mongol.

“Kita mengenal Hayam Wuruk dan Gajah Mada sebagai aktor-aktor kunci (Majapahit). Tapi saya pikir yang kadang dilupakan adalah sosok Kertanagara. Raja terakhir Singhasari ini membuat segala kondisi bagi lahirnya Majapahit,” kata Van der Linde dalam diskusi bertajuk “Majapahit: Nusantara’s Game of Thrones” di Perpustakaan Nasional, 19 Juli 2024.

Kendati dirintis di era kekuasaan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350), puncak kejayaan Majapahit digapai di era Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Di masa itulah Majapahit di bawah Patih Gajah Mada dengan kekuatan maritimnya di bawah Laksamana Nala “menyatukan” Nusantara.

Menurut Kakawin Nagarakrtagama, pengaruh kekuasaannya membentang dari Kedah di Semenanjung Malaya di ujung barat, Kepulauan Sulu di tapal batas utara, Timor di ujung selatan, dan Semenanjung Onin (Papua Barat) di ujung timur.

Baca juga: Epos Majapahit Lebih Seru dari Game of Thrones

Kesultanan Demak 

Seiring kemerosotan Majapahit di abad ke-15 hingga abad ke-16, Kesultanan Demak (1478-1554) yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa lahir di pesisir utara Jawa Tengah. Sejurus dengan penyebaran Islam di Jawa, Kesultanan Demak merebut wilayah timur Jawa dari tangan Majapahit di masa Sultan Trenggana (1521-1546).

Di puncak masa kejayaannya, wilayah Kesultanan Demak membentang dari Cirebon di barat, yang berbatasan dengan wilayah Pajajaran, hingga Panarukan di timur, yang berbatasan dengan Blambangan –juga bekas kekuasaan Majapahit. Di masa Sultan Trenggana pula pasukan Kesultanan Demak pimpinan Fatahillah merebut Sunda Kelapa dari tangan Portugis lalu mengubah nama kota pelabuhan itu jadi Jayakarta pada 1527.

“Demak (di bawah Sultan Trenggana) juga berhasil menjalin hubungn dengan kerajaan-kerajaan Islam di ujung timur Sumatera. Salah satunya yang kelak berhasil membawa kaitan perubahan sejarah adalah hubungannya yang begitu intim dengan Kerajaan Samudera Pasai di Aceh yang juga berniat menghalau Portugis,” ungkap Ade Soekirno dalam Pangeran Jayakarta: Perintis Jakarta lewat Sejarah Sunda Kelapa.

Namun masa kejayaann Demak terbilang singkat. Konflik dengan Blambangan di perbatasan timur cukup menguras energi Sultan Trenggana. Bahkan, ia tewas di tangan bocah berusia 10 tahun yang merupakan anak bupati Surabaya dalam sebuah ekspedisi di Panarukan dan Blambangan pada 1546.

“(Jenazah) Sultan Demak itu segera dibawa pulang meninggalkan Panarukan. Berita kematian Trenggana ditemukan dalan catatan seorang Portugis bernama Fernandez Mendez Pinto yang saat itu bersama 40 temannya ikut serta dalam pasukan Banten ke Panarukan,” tulis Tuhidin dalam Gerilya Terakhir Diponegoro.

Suksesi mendiang Sultan Trenggana tak semulus yang dibayangkan. Sejumlah kerabatnya saling bersaing memperebutka takhta hingga saling bunuh. Arya Penangsang yang jadi sultan terakhir Demak (1549-1554) punya nasib serupa, terbunuh di tangan Sutawijaya –kelak mendirikan Mataram, anak Joko Tingkir yang kemudian mendirikan Kerajaan Pajang. Kematian Arya Penangsang menandai berakhirnya masa Kesultanan Demak.

Baca juga: Benarkah Kesultanan Demak Bagian dari Turki Usmani?

Kesultanan Mataram 

Sewaktu masih merdeka penuh, Kesultanan Mataram (1561-1755) saling mengirim duta besar dengan Kerajaan Belanda. Namun di kemudian hari, Kesultanan Mataram di masa Anyakrakusuma alias Sultan Agung (1613-1645) dua kali menyerbu Batavia. 

Secara formal, wilayah kekuasaannya membentang dari Tegal di perbatasan dengan Jawa Barat hingga Kediri di Jawa Timur. Meski begitu, pengaruh kekuasaannya yang diperluas Sultan Agung mencapai Sungai Citarum di Priangan hingga Pasuruan dan Sumenep di Pulau Madura.

Terlepas dari perlawanannya terhadap Belanda dan perluasan wilayah-wilayah, Sultan Agung juga mewariskan reformasi syiar Islam yang sering bergesekan dengan budaya-budaya pra-Islam di tanah Jawa. Di masa Sultan Agung, akulturasi nilai-nilai Islam yang disebarkan para wali memasuki puncaknya. Selain lewat akulturasi kalender Jawa dan kalender Islam, juga berkembangnya budaya gamelan, batik, keris, hingga wayang kulit yang masih lestari hingga kini.

“Reformasi yang dilakukan Sultan Agung juga membangun perekat persatuan-kesatuan kubu sarat konflik (abangan vs. mutihan) melalui pembauran otoritas politik dan agama yang sinergik di tangan raja. Ulama ditempatkan pada kedudukan terhormat sebagai pejabat Dewan Parampara (penasihat kerajaan). Ia juga mendirikan Lembaga Mahkamah Agama Islam dan menetapkan kelak para penerusnya tetap bertindak sebagai kepala pemerintahan dan kepala agama,” ungkap Abimana Gumelar dalam Jagat Batin Sultan Agung: Biografi, Peranan, Laku Spiritual, dan Ajarannya.

Namun, sejumlah pemberontakan dan perpecahan berangsur-angsur melemahkan Mataram. Klimaksnya adalah Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Kesultanan Mataram dan Pangeran Mangkubumi dengan dimediasi VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) sebagai penanda berakhirnya Perang Takhta Jawa Ketiga (1749-1757). Kekuasaan Kesultanan Mataram pun terpecah dua menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. 

Baca juga: Hukuman Sultan Agung bagi Panglima yang Gagal

TAG

raja raja raja jawa kuno majapahit singhasari mataram kuno demak

ARTIKEL TERKAIT

Cerita Dua Arca Ganesha di Pameran Repatriasi Keris Pusaka dari Puri Smarapura Cerita di Balik Repatriasi Arca Brahma Jalan Panjang Arca Bhairawa dan Arca Nandi Pulang ke Indonesia Ketika Rahib Katolik Bertamu ke Majapahit Jejak Kejayaan Raja-raja Jawa Semerbak Aroma Sejarah Pencegah Bau Ketiak Soeharto Berkuasa seperti Raja Jawa Prasasti Damalung Wajib Dipulangkan, Begini Kata Arkeolog Pangeran Panji Tolak Politik Uang