SOSOK Durga, Mahakala, Nandiswara, dan Ganesha dalam bentuk arca yang tingginya berkisar antara 154-175 cm itu begitu gagah dan indah saat terpajang dalam pameran “Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara” di Galeri Nasional, Jakarta, sedari 28 November hingga 10 Desember 2023. Mahakarya yang jadi warisan era Kerajaan Singhasari itu kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi setelah dua abad bersemayam di negeri Belanda.
Empat arca yang sebelumnya merupakan bagian dari Candi Singhasari di Malang, Jawa Timur dari abad ke-13 itu menjadi salah satu himpunan koleksi dari 472 benda bersejarah Indonesia yang direpatriasi dari Belanda. Serah terimanya sudah diresmikan sejak 10 Juli 2023 dan keempat arca itu tiba di tanah air pada 23 Agustus 2023.
“Arca pada masa Singhasari ini dibuat sangat halus dan jelas arca ini besar-besar, kemudian dipahat dengan sangat halus, dan sesuai dengan kaidah ikonografi, seni arca, dan saya pikir punya ciri sendiri. Ini adalah satu puncak seni arca yang ada di Indonesia,” ujar arkeolog dan pakar epigraf Universitas Indonesia Ninie Susanti Tedjowasono kepada Historia.
“Baik sebelum maupun sesudahnya sepertinya tidak seindah ini begitu. Saya menganggap itu suatu kecerdasan lokal yang dimiliki oleh nenek moyang kita pada waktu itu,” lanjutnya.
Baca juga: Perjalanan Arca Candi Singhasari Kembali ke Indonesia
Empat arca itu masuk ke dalam permintaan benda bersejarah yang direpatriasi oleh Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda dengan alasan untuk menghidupkan pengetahuan di balik objeknya. Terlebih, menurut Ninie, arca-arca itu masih sangat penting untuk dikaji oleh para peneliti negeri asal karena masih banyak untold story yang bisa diungkap tentang perjalanan bangsa Indonesia di balik situs Candi Singhasari.
“Candi Singhasari itu kalau sekarang terlihat hanya satu yang utuh. Di situs itu ditemukan banyak arca, termasuk arca Hindu dan Buddha yang saya rasa belum banyak diungkap sampai saat ini. Jadi kepentingan bahwa arca yang kembali itu akan jadi satu pusat kajian yang dikaji oleh ahli sejarah kuno maupun arkeologi, mengenai style-nya dan tren pada masa itu karena arca-arca pada masa Singhasari ini sangat indah dalam pandangan ikonografi,” sambung Ninie.
Tentu saja, butuh waktu untuk menguaknya. Terlebih, menguaknya mesti dengan sains, yang tentu punya tahapan-tahapan.
“Harus dikaji secara ilmiah karena di dalam arkeologi tentu ada metodenya dan semuanya bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Karena arca-arca ini kan hanya yang kita lihat di permukaan, tetapi apa yang ada di balik itu, bagaimana masyarakat pendukungnya, bagaimana si pengrajin, apakah ada pengaruh asing, dan bagiamana pengaruh kecerdasan lokal dalam membentuk arca itu, masih belum banyak diketahui,” tambah salah satu anggota tim repatriasi itu.
Jika sudah begitu, imbuh Ninie lagi, akan tumbuh rasa bangga dan sense of belonging terhadap artefak yang membuktikan bahwa sejak lama bangsa Indonesia sudah punya peradaban yang maju.
“Karena kami orang sejarah, kita ingin memperlihatkan bahwa nenek moyang kita itu luar biasa dan membuat kita bangga. Jadi kita bukan bangsa yang sembarangan yang tidak punya keahlian maupun pengetahuan,” papar Ninie.
Baca juga: Masyarakat Singhasari Pada Masa Kertanagara
Dari Tangan Meneer Kembali ke Tanah Air
Suatu hari di tahun 1803, pejabat kolonial Nicolaus Engelhard singgah di sebuah hutan jati di wilayah Karesidenan Malang. Ia tengah dalam perjalanan dari Pasuruan menuju Malang. Saat itulah ia menemukan Kompleks Candi Singhasari yang di masa itu masih disebut Candi Menara.
“Di Singasari, tak jauh dari kota Malang, terletak Candi Singasari yang ditemukan sekitar tahun 1803 oleh Nicolaus Engelhard. Ketika itu disebutkan candi tersebut berada di tengah hutan jati yang baru dibabat pada 1820,” ungkap Edi Sedyawati dkk. dalam Candi Indonesia: Seri Jawa.
Candinya berhias sejumlah arca indah. Sri Pare Eni dan Adjeng Hidayah Tsabit dalam Arsitektur Kuno Kerajaan-Kerajaan Kediri, Singasari & Majapahit di Jawa Timur, Indonesia mengungkapkan, terdapat patung Syiwa Guru di salah satu relung dinding selatan. Sementara arca Mahakala berada di relung pengapit utara terhadap arca Mahakala, arca Nandiswara di relung pengapit selatan. Di beberapa sisi lainnya ada juga arca Durga, Ganesja, dan Bhairawa.
Baca juga: Meluruskan Mitos Candi Plaosan
Engelhard pun gelap mata terhadap keindahan sejumlah arca di candi itu. Setahun berselang, ia memerintahkan pemindahan enam arca itu ke kediamannya di Semarang.
Di Semarang itu pula ia mulai menginstruksikan pendeskripsian sketsa keenam arcanya (Durga, Mahakala, Bhairawa, Ganesha, Nandi, dan Nandiswara). Deskripsi itu untuk dilampirkan dalam timbal-balik laporannya dengan kolektor artefak Inggris, Colin Mackenzie.
“Engelhard menegaskan bahwa ia mengambil arca-arca itu karena orang Jawa tak lagi menjadikannya berhala yang disembah dan oleh karenanya harus dilindungi,” tulis Natasha Reichle dalam Violence and Serenity: Late Buddhist Sculpture from Indonesia.
Begitu pindah tugas ke Maluku, Engeldhard menyerahkan keenam arca itu ke pemerintah pusat di Batavia pada 1817. Menukil laporan penelitian repatriasi dari Comissie Koloniale Collecties, “Vier beelden uit het tempelcomplex Singasari”, keenam patung itu disebar: Durga, Mahakala, dan Nandiswara di Lands Plantentuin Buitenzorg (kini Kebun Raya Bogor).
Baca juga: Empat Arca Warisan Singhasari Akhirnya Tiba di Tanah Air
Sementara itu, arca Bhairawa, Ganesha, dan Nandi diangkut ke Belanda pada 1819 untuk ditempatkan di taman Institut Kerajaan Belanda di Amsterdam. Ketiga arca yang sebelumnya menghiasi Kebun Raya Bogor pun akhirnya turut diboyong ke Belanda juga untuk jadi koleksi Rijksmuseum kurun 1827-1828.
Ketiga arca yang ditempatkan di taman institute ikut dipindah ke Rijksmuseum pula pada 1841. Baru pada 2022, Tim Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda memasukkan empat arca di atas ke daftar permintaan pengembalian.
“Yang kami minta pulang adalah arca-arca Singhasari ini. Pertimbangannya jelas, bahwa barang ini diperlukan untuk penelitian lanjut, karena barang ini mempunyai ciri khusus yang mewakili suatu perjalanan sebuah bangsa. Barang itu harus kembali agar pengetahuan tentang benda-benda itu hidup dan terus berkembang karena berakar dari masyarakat Indonesia,” tandas Ninie.