PAJAK selalu menjadi isu sensitif di mana-mana. Jangankan sudah dinaikkan, baru kabar akan dinaikkan pun biasanya langsung mengundang protes dari banyak pihak. Di Nairobi, Kenya, Juni lalu usulan kenaikan pajak dari pemerintah langsung membuahkan demonstrasi yang berujung pada kerusuhan.
Di dalam negeri, penolakan terhadap isu kenaikan pajak kerap terjadi. Salah satunya ketika marak terjadi kasus “getok biaya” yang dilakukan bea cukai terhadap barang-barang dari luar negeri. Hal itu sampai membuat gaduh di jagat maya. Komika Ernest Prakasa sampai mencuit keras di akun X-nya.
“Stop malakin kelas menengah, maksimalkan pendapatan negara dengan memastikan para konglomerat & crazy rich semuanya taat pajak,” tulis Ernest di akun X-nya, @ernestprakasa, dikutip cnbcindonesia.com, 28 April 2024.
Sedari dulu pun protes terhadap kenaikan pajak telah berlangsung di berbagai tempat di Nusantara. Salah satunya di daerah Pasir, Kalimantan Timur. Pada awal abad ke-20, pemerintah menaikkan pajak pajak kepala (bagi yang berumur di atas 20 tahun) yang disebut belasting. Buntut darinya, daerah pedalaman yang kini menjadi Kabupaten Paser itu bergolak. Salah satu orang yang menolak kebijakan pemerintah kolonial itu adalah Demoeng, seorang kepala di Pedalaman Pasir. Sikap Demoeng menghebohkan masyarakat setempat.
Sikap Demoeng, tulis koran De Locomotief tanggal 7 Juli 1908, sampai menarik Pangeran Panji Nata Kesuma untuk ikut menenangkan masyarakat. Panji merupakan pangeran dari Kesultanan Pasir Darul Aman yang berpusat di Tanah Grogot. Ia adalah cucu Sultan Adam dan anak dari Aji Timur Balam gelar Sultan Abdurrahman.
Upaya Panji tetap tidak berhasil mengubah pendirian masyarakat. Demoeng dkk. tetap pada pendirian mereka menolak kebijakan pemerintah. Bahkan, pasukan bersenjata yang dikirim pemerintah mereka lawan. Demoeng dkk. lalu kabur setelah kalah melawan pasukan bersenjata.
Bertahun-tahun kemudian, giliran nama Pangaren Panji yang jadi berita. Pangeran Panji menjadi orang yang meresahkan, setidaknya buat aparat pemerintah kolonial. Koran Bandung De Expres tanggal 19 Agustus 1912 menyebut Pangeran Panji punya banyak pengikut, yang terdiri dari orang Dayak (sebutan orang luar untuk menyebut penduduk asli Kalimantan) –umumnya berada di pedalaman– serta orang-orang Pasir (sebutan orang luar untuk menyebut orang Dayak sekitar Pasir yang sudah masuk Islam).
Sejak Agustus 1912, Pangeran Panji sudah diwaspadai pemerintah kolonial. Lantaran tetap meresahkan, pasukan bersenjata pun dikirim dari Kandangan, Kalimantan Selatan. Di Kalimantan Timur dan Selatan, disiagakan satu batalyon garnisun. Koran De Telegraaf edisi 16 Desember 1912 memberitakan, pada 12 Agustus 1908 pejabat sipil pergi ke Kuaro dan Kandilo guna menyelidiki Pangeran Panji. Pejabat itu menemukan antara Juni hingga Agustus orang-orang Dayak Semu, Biu, Setiu, Samerangan, Koman, Kasungai, dan Kuaro sudah menganut Islam. Bahkan masjid diadakan untuk mereka. Jumlah orang Dayak yang telah memeluk Islam lebih dari 3.400 orang.
“Pangeran Panji, salah satu mantan bangsawan Pasir, berhasil membuat 3000 orang Dayak masuk Islam di bekas wilayahnya tersebut di bawah ancaman kedatangan orang Turki yang akan membunuh orang Kafir,” catat J Eisenberger dalam Kroniek der Zuider- en Oosterafdeeling van Borneo.
Pemerintah pun bereaksi atas islamisasi Pangeran Panji itu. Koran Het Vaderland tanggal 6 Januari 1913 memberitakan bahwa kontrolir Belanda yang ikut ke sana mendengar bahwa orang Dayak yang tidak ihklas masuk Islam akan dibuang ke laut. Selain itu, Pangeran Panji juga memprovokasi dengan bilang, “nanti melawan kompani.”
Kepala kampung Batung mengaku diminta hadir di Pasir luar untuk menghadap Toewan Pakei Songko Mera, yang menurutnya adalah Pangeran Panji. Pangeran Panji disebut-sebut pihak Belanda telah perintahkan para kepala suku di pedalaman itu untuk pergi ke Pasir. Kabarnya, Pangeran Panji ingin diangkat menjadi sultan Pasir. Pihak Belanda menyebut Pangeran Panji meminta mereka untuk tidak membayar pajak ke Belanda, tapi kepada pihaknya.
Pangeran Panji dan pengikutnya lalu dihadapi pasukan bersenjata. Mau tak mau mereka harus menyingkir. Pada akhirnya, Pangeran Panji ditangkap sekitar September 1912. Koran Het Vaderland menyebut Pangeran Panji ditangkap di Kotabaru, dekat Batulicin, Kalimantan Selatan. Sementara, De Telegraaf menyebut Pangeran Panji ditangkap di Tanah Grogot. Pangeran Panji lalu diperiksa di Banjarmasin yang merupakan pusat pemerintahan.
Menurut Fidy Finandar dkk. dalam Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Kalimantan Timur, Pangeran Panji telah ditawari uang sebesar 28.855 gulden sebagai ganti rugi penyerahan Kesultanan Pasir kepada pemerintah kolonial Belanda. Namun dia termasuk yang menolaknya dan memilih melawan.