Belum lama ini, seorang Youtuber asal Korea Selatan bernama Kim Jiah mendapat pelecehan verbal saat berlibur di Manado, Sulawesi Utara. Kejadian bermula saat Jiah sedang menyantap dan mereviu makanan di salah satu restoran sebelum menuju taman laut Bunaken. Tiba-tiba, datang dua orang pria ikutan nimbrung di meja Jiah. Satu orang mengaku bernama Alex dan satu lagi yang berkepala botak bernama Albert. Tanpa curiga Jiah mempersilakan keduanya ikut makan bersama.
Sembari menanti pesanan makanan, Jiah dan kedua pria asing mengobrol. Albert dan Alex mengaku berasal dari Kendari dan datang ke Manado untuk tujuan bisnis. Mereka juga menanyakan kegiatan apa yang dilakukan Jiah di Manado. Suasana yang semula hangat itu mendadak jadi kaku setelah Albert mengajak Jiah untuk main ke hotel tempatnya menginap.
“Mampir ke hotel boleh,” ujar Albert, “Mampir ke hotel aku boleh,” ajaknya lagi.
“Tapi jam 2 perahu ke Bunaken (berangkat),” Jiah menolak secara halus.
Baca juga: Pesta Seks Tukar Pasangan Tempo Dulu
Meski tidak blak-blakan, ajakan itu mengandung niat terselubung menjurus ke arah asusila. Dari bidikan matanya yang genit, kuat indikasi Albert melakukan perbuatan yang tidak sopan. Bukan hanya itu, gerakan menggoda lagi dari Albert tampak seperti coba merangkul bahu hingga menyuapi Jiah dengan es brenebon tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Kelakuan tak senonoh itu viral setelah Jiah mengunggah video ke laman Youtube-nya berjudul . Video itu terpantau sudah ditonton lebih dari sejuta kali. Tak kurang kecaman netizan dari kolom komentar yang merembet ke media sosial lain hingga menjadi berita skala nasional. Setelah viral, identitas Albert sebenarnya terkuak bernama asli Asri Damuna (AD), yang merupakan kepala Unit Penyelenggara Bandar Udara Sangia Nibandera Kolaka. Atas kelakuannya itu, Asri kini dibebastugaskan dari jabatannya. Kejadian tersebut agak mencoreng citra masyarakat Indonesia yang terkenal ramah dan santun.
Pengalaman tidak menyenangkan Kim Jiah juga tentu membuatnya lebih berhati-hati berurusan dengan pria mata keranjang seperti Albert alias AD selama kunjungannya ke Indonesia. Perilaku mata keranjang memang meresahkan kaum perempuan. Tapi, ia bukan barang baru dan ada di mana-mana.
Baca juga: Celana Superpendek yang Menggoda
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "mata keranjang" berarti sifat selalu merasa berahi apabila melihat lawan jenisnya; sangat suka pada perempuan. Asal-usul "mata keranjang" ditelusuri oleh budayawan yang juga ahli sejarah Betawi Alwi Shahab. Dalam bukunya Batavia Kota Banjir, Alwi Shahab menerangkan kemunculan lema ini berasal dari kebiasaan lelaki Jakarta yang doyan melihat nona-nona Indo-Belanda bercelana pendek saat main bola keranjang pada 1950-an. Permainannya mirip seperti bola basket.
“Meski hanya latihan, banyak penontonnya kalau mereka (noni-noni) main di Lapangan Banteng. Para penonton umumnya datang untuk ‘cuci mata’”, jelas Alwi.
Kelakuan “mata keranjang” sendiri sudah lebih dulu dilakoni laki-laki dewasa nakal jauh sebelum istilah itu mengkhalayak. Oey Tambahsia barangkali pria mata keranjang paling terkenal di Batavia pada zaman kolonial. Saking populernya Oey Tambahsia, beberapa karya sastra cerita rakyat Jakarta mengisahkan tentang kehidupan si playboy Betawi ini. Salah satu yang menjadi rujukan ialah Sedjarahnja: Souw Beng Kong, Phoa Beng Gan, Oey Tamba Sia. Biografi karya sejarawan peranakan Poa Kian Sioe ini terbit pada 1956.
Baca juga: Dari Mata Keranjang hingga Mata Ijo
Oey Tambahsia lahir pada 1827 di Pekalongan, Jawa Tengah. Ia merupakan anak ketiga dari Oey Thoa, seorang pedagang Tionghoa asal Pekalongan yang memiliki toko tembakau terbesar di Batavia. Memasuki usia 50, Oey Thoa meninggal. Oey Tambahsia ketiban warisan dan kekayaan dalam jumlah besar. Ia pun jadi orang tajir di usia 15 tahun.
“Ia terkenal sebagai pemuda yang royal, sombong, serta takabur. Kemanapun pergi, Tambah selalu diikuti para kaki tangannya,” catat Ahmad Sunjayadi dalam “Kisah Playboy di Batavia” termuat di kumpulan tulisan (Bukan) Tabu di Nusantara.
Selain tampil necis, Oey Tambahsia punya kegemaran yang kerap bikin resah komunitas Tionghoa di Batavia. Meski masih muda, Oey Tambahsia sudah otak mesum. Dia suka mengganggu anak perempuan dan istri orang. Sebagai pemuda kaya, Oey Tambahsia memiliki rumah peristirahatan di Ancol bernama Bintang Mas. Bukan sekadar tempat pelesiran, Bintang Mas menjadi tempat hunian bagi perempuan simpanan Oey Tambahsia.
Baca juga: Tempat-Tempat Pacaran Tempo Dulu
Oey Tambahsia pernah kepincut dengan istri pedagang kelontong di daerah Tongkangan. Lewat bantuan mak comblang, dia tak kesulitan memboyong perempuan cantik untuk berkencan di Bintang Mas. Perselingkuhan itu membuat istri pedagang kelontong bercerai dari suaminya. Sementara itu, ibunda Oey Tambahsia kian khawatir dengan kelakuan anaknya. Oey Tambahsia pun dinikahkan dengan seorang gadis dari keluarga Sim. Pesta pernikahan Oey Tambahsia disebut-sebut yang paling meriah di Betawi pada masa itu.
Setelah menikah, Oey hanya betah sebulan tinggal bersama istrinya di rumah. Oey lebih suka menghabiskan waktunya bersama bekas pedagang kelontong di rumah pelesir di Ancol. Selain itu, dia masih saja memangsa perempuan lain. Para orang tua di Batavia makin getat memingit anak mereka di dalam rumah. Berharap jangan sampai anak mereka dilirik Oey Tambahsia.
Sekali waktu, Oey Tambahsia menghadiri undangan pesta sunatan putra bupati Pekalongan. Sang bupati tak lain adalah abang ipar Oey Tambahsia yang menikahi kakak kandung Oey. Oey pun datang membawakan bermacam hadiah untuk keponakannya. Pesta sunatan itu dimeriahkan oleh seorang pesinden ternama, Mas Ajeng Gunjing. Kemerduan suaranya konon tiada yang menandingi di seantero Pekalongan.
Baca juga: Kisah Cinta Sang Biduan di Cianjur
“Si mata keranjang Oey segera tertarik dan jatuh hati kepada pesinden jelita itu. Pelbagai cara ditempuhnya untuk mendekati dan membujuknya. Ternyata ia tak bertepuk sebelah tangan. Gunjing bahkan menyambutnya dengan sepenuh hati,” tulis Siswadhi dalam “Oey Tambahsia, Playboy Betawi yang Tewas di Tiang Gantungan” termuat di Batavia: Kisah Jakarta Tempo Dulu.
Sebelum pesta berakhir, Oey telah memboyong Gunjing berkencan ke Cirebon. Dari Cirebon, mereka ke Betawi. Gunjing sendiri sempat tinggal sebentar di Bintang Mas, Ancol. Entah karena banyak yang cemburu atau hawa di Ancol kurang sehat, Oey kemudian memindahkan Gunjing ke Tangerang, tanah Pasar Baru milik Oey.
Petualangan esek-esek Oey Tambahsia berakhir tragis karena ulahnya sendiri. Oey didakwa bersalah atas kematian anak buahnya, Oey Cun Ki, untuk memfitnah rivalnya Lim Soe Keng Sia yang merupakan menantu dari Tan Eng Goan, seorang kapitan Cina di Batavia. Selain itu, Oey juga menjadi dalang pembunuhan Mas Sutedjo –saudara Mas Ajeng Gunjing– yang dicemburui oleh Oey. Pada 1856, Oey Tambahsia dihukum gantung di depan Stadhuis (Balai Kota Batavia, kini Museum Sejarah Jakarta) kurang lebih seabad sebelum istilah "mata keranjang" lahir.
Baca juga: Rumah Merah Kapitan Lim