Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Cinta Sang Biduan di Cianjur

Asal-usul terciptanya lagu Semalam di Tjiandjoer.

Oleh: Hendi Jo | 15 Okt 2015
Wisma Karya Cianjur. Foto: Hendi Jo/Historia.

TAK ada orang Cianjur yang tak mengenal bangunan tua di Jalan Mohammad Ali itu. Kendati masih artistik, namun kondisinya terlihat usang, cat terkelupas di sana-sini, ditambah sampah plastik di sekitar jalan yang melintasinya.

“Para pembeli makanan dari penjual-penjual bergerobak di depan gedung yang biasanya membuang seenaknya sampah-sampah itu,” kata Encun (64), penduduk di sekitar bangunan tersebut.

Terletak di pusat kemacetan kota tauco, Gedung Wisma Karya itu dibangun sekitar tahun 1950-an oleh Tjung Hwa Tjung Hwee, perkumpulan orang-orang Tionghoa di Cianjur yang berafiliasi kepada Badan Permusjawaratan Warganegara Indonesia (BAPERKI).

Advertising
Advertising

BAPERKI adalah organisasi orang-orang Tionghoa yang didirikan oleh jurnalis Siauw Giok Tjhan dan kawan-kawanya pada 13 Maret 1954 di Jakarta. Tujuannya mengakomodir sekaligus merepresentasikan setiap aspirasi kepentingan masyarakat Tionghoa di Indonesia, terutama terkait dengan pendidikan dan sosial politik. Pasca Gerakan 30 September 1965 (G30S), pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto memberangus organisasi ini karena dituduh terkait dengan Republik Rakyat Tiongkok, negara yang dituduh mendukung  G30S.

Tahun 1966, Gedung Wisma Karya digeruduk demonstran KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia). Semua isinya dikeluarkan dan dibakar, temboknya dicoret-coret dengan tulisan penuh kecaman terhadap Tionghoa. Tak seorang pun anggota BAPERKI setempat  yang berani melawan aksi vandal itu. “Rata-rata kalau tidak sembunyi, mereka diam saja,” kata Dadang Djuanda (67), mantan aktivis KAPI Cianjur.

Sejak itu, KAPI menjadikan Wisma Karya sebagai salah satu markas besarnya selain Eng Tjun Kong Hui (sekarang Gedung Dewan Kesenian Cianjur) di Jalan Soeroso. “Hampir tiap hari kami bolak-balik ke gedung-gedung itu. Ibaratnya Wisma Karya itu seperti rumah kedua kami,” kata Agus Thosin (65), mantan aktivis KAPI Cianjur.

Selain digunakan sebagai sekolah, sejak era 1960-an, Wisma Karya pun sering dipakai untuk menyelenggarakan berbagai perhelatan, termasuk acara musik yang mengundang artis-artis terkenal ibukota. Salah satu artis itu adalah Alfian Harahap. Lelaki kelahiran Binjai, Sumatera Utara tersebut pernah disambut luar biasa oleh anak muda Cianjur pada malam sekitar pertengahan 1960-an. Dalam aksi-aksinya, Alfian sering meniru gaya Elvis Presley dan Pat Bone. 

[pages]

Konon, saat manggung di Wisma Karya, Alfian berkenalan dan digosipkan jatuh cinta dengan mojang Cianjur keturunan Tionghoa-Sunda. “Namanya Leni, orang Pasar Suuk,” ujar Tresnawati (69), penduduk Cianjur yang mengalami peristiwa itu.

Gosip panas itu cepat menyebar luas ke khalayak. Menurut Tresnawati, para remaja Cianjur zaman itu rata-rata mengetahui cerita cinta sang biduan. “Ya kalau istilah sekarang mah, jadinya hebohlah,” ujar Tresnawati.

Ditelusuri ke Pasar Suuk, hampir tak ada orang yang mengenal lagi nama Leni. Hanya seorang sepuh, Mamat (70), sayup-sayup ingat nama Leni. “Iya saya tahu si Enci (panggilan untuk orang Tionghoa di Cianjur) itu, tapi dia sudah lama sekali ikut keluarganya pindah. Entah ke Bandung atau ke Jakarta, saya kurang tahu,” katanya.

Gosip biduan Alfian jatuh cinta kepada gadis Cianjur semakin menguat dan dipercaya, saat beberapa waktu setelah manggung di Wisma Karya, dia muncul dalam lagu berjudul “Semalam di Tjiandjoer.”

Kan/kuingat di dalam hatiku/Betapa indah semalam di Cianjur/Janji kasih yang tlah kau ucapkan/Penuh kenangan yang tak kan terlupakan.

Tapi, sayang, hanya semalam/Berat rasa perpisahan/Namun ku telah berjanji/Di suatu waktu kita bertemu lagi.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Ibu dan Kakek Jenifer Jill Tur di Kawasan Menteng Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi