Suasana siang di kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, bising oleh kendaraan terutama angkutan umum yang lalu lalang. Selain itu, para pedagang yang menjajakan pakaian, sepatu, kerudung, hingga perkakas menutupi bahu jalan untuk pejalan kaki. Saat itu, begitu ramai dan macet, namun yang menarik perhatian, di dekat lampu merah samping gedung Pasar Tanah Abang Blok B terdapat bangunan yang mencolok dengan warna merah dan putih menyala. Ternyata, bangunan itu sebuah restoran yang dikenal dengan Kapitan Lim.
Sejak dipugar tiga tahun lalu, restoran Kapitan Lim menjadi tempat yang menarik dan instagramable untuk dikunjungi. Restoran ini buka setiap hari mulai pukul 09.00 hingga 16.00 WIB. Sejak dibuka, pengunjung yang datang didominasi anak-anak muda.
“Pengunjung di sini rata-rata muda-mudi Pasar Tanah Abang yang bekerja, sekolah, atau tinggal di sekitar sini,” ujar Rizka Randi (28), pegawai restoran Kapitan Lim di Jl. H. Fachrudin No. 82A, Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Baca juga: Melipat Sejarah Martabak Pecenongan 65A
Bangunan restoran Kapitan Lim sebelumnya vihara. Penamaan Kapitan Lim kemungkinan diambil dari nama Kapitan Tionghoa di Batavia. Setidaknya ada dua kapitan bernama Lim, yaitu Kim Lak Tjo atau Kim Lacco dan Lim Kin Kwa.
Kim Lacco menggantikan Kapitan Tionghoa pertama, Souw Beng Kong. Sebelumnya mereka tinggal di Banten. Kedua tokoh Tionghoa berpengaruh ini kemudian pindah ke Batavia sehingga pelabuhan Banten mulai ditinggalkan.
Benny G. Setiono dalam Tionghoa Dalam Pusaran Politik menyebut bahwa Souw Beng Kong bersama Kim Locco mengajukan resolusi agar pemerintah Belanda menaruh perhatian serius kepada kampung orang Tionghoa agar segera diperbaiki untuk menjaga kesehatan. Tuntutan kedua orang ini dipenuhi pemerintah Belanda sehingga pengaruh Souw Beng Kong makin bertambah kuat. Pada 21 Juli 1636, Lim Lacco dipilih menjadi pengganti Souw Beng Kong yang meninggal pada 8 April 1644.
Baca juga: Lezatnya Sejarah Bubur Cikini
Pengganti Kim Lacco, menurut Windoro Adi dalam Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi adalah Phoa Beng Gam yang mengembangkan kawasan Tanah Abang menjadi perkebunan dan penggilingan tebu. Mereka yang ditunjuk sebagai kapitan umumnya mengembangkan industri gula. Tak heran bila industri ini berkembang sangat cepat di Batavia. “Kapitan lain, Lim Kin Kwa diberi lisensi oleh VOC mendirikan dua pabrik penggilingan gula di sekitar Batavia,” tulis Windoro.
Didorong oleh latar belakang tempat dan unsur sejarah bangunan, pemilik restoran Kapitan Lim mengusung unsur Tionghoa dalam material kafe ini. “Padahal yang punya restoran sebenarnya bukan keturunan atau peranakan Tionghoa, tapi dari konsep, tema, menu hingga nama semua ala-ala Tionghoa,” kata Rizka Randi.
Restoran Kapitan Lim merupakan perpaduan oriental, kuno, dan pop art. Berlatar warna bangunan merah dan putih, arsitektur atap bangunan seperti vihara kuno dengan puncak lancip di area depan dan belakang. Di samping kanan dan kiri terdapat jendela-jendela ukuran sedang yang menghiasi bangunan restoran ini.
Bangunan ini terdiri dari dua lantai. Memasuki lantai pertama, pengunjung disuguhkan gaya pop art di setiap dinding dengan lampion warna cream bergelantungan di atasnya. Untuk memberikan kesan vintage, terdapat beberapa perkakas yang dipajang, seperti piring-piring keramik hingga guci. Terdapat juga dapur mini, meja kasir, dan kursi-kursi untuk pengunjung.
Baca juga: Mencicipi Sejarah Soto Betawi
Pengunjung harus menaiki tangga untuk ke lantai dua. Berbeda dari lantai satu, perkakas di sini lebih sedikit, hanya lampu keranjang dan kursi untuk pengunjung. Tetapi pengunjung dapat melihat pemandangan di luar, apalagi tersedia beberapa pepohonan kecil di samping jendela yang membuat suasana makin nyaman.
Sedangkan di area depan, pengunjung sedikit harus berhati-hati, sebab restoran ini langsung menghadap ke arah basement Blok B Pasar Tanah Abang. Begitu pula di area samping yang dihiasi ragam lampion warna merah, menghadap langsung ke jalan raya dan lampu merah. Memang sedikit bising, namun ketika masuk akan disuguhkan alunan musik klasik.
“Bagi yang mau ke restoran Kapitan Lim sekarang sangat di sayangkan tidak bisa sampai malam, karena mengikuti peraturan dari pihak Pasar Tanah Abang,” kata Rizka Randi.
Restoran Kapitan Lim dikenal juga dengan Rumah Merah karena bangunannya mencolok dengan warna merah. Kebetulan nama “Merah” berkaitan dengan asal-usul Tanah Abang. Sejarawan Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi menyebutkan, pada 1628 kawasan ini dijadikan salah satu basis pasukan Mataram ketika hendak menyerbut ke Batavia (Pasar Ikan).
Konon, nama Tanah Abang berasal dari sebutan laskar Mataram. Karena tanah tempat mereka menghimpun kekuatan itu warnanya merah, mereka pun menyebutnya “tanah abang”. “Abang dalam bahasa Jawa berarti merah. Maka, sejak itu kawasan ini disebut Tanah Abang,” tulis Alwi.
Baca juga: Setahun Pos Bloc Jakarta
Restoran Kapitan Lim menghidangkan beberapa kreasi menu makanan berat dan ringan, serta minuman. Untuk makanan berat terdapat beberapa menu khas Tionghoa. Sedangkan untuk makanan ringan ada singkong goreng, roti, dan pisang, serta minuman kopi, teh, dan jus.
“Paling digemari di restoran Kapitan Lim, untuk makanan berat ada nasi lemak dan kapitan chicken rice. Untuk makanan ringan ada singkong goreng. Minuman yang paling favorit di sini ada kopi kapitan,” kata Rizka Randi.
Restoran Kapitan Lim terus mengalami perbaikan mengingat bangunan ini harus tetap menjalani perawatan agar dapat bertahan lebih lama. Sehingga pengunjung tak hanya menikmati makanan khas Tionghoa, tapi juga merasakan nuansa sejarah lewat bangunan ini.*