Mencicipi Sejarah Soto Betawi
Salah satu rumah makan Betawi legendaris. Pionir soto Betawi kuah susu yang ternyata karena "kecelakaan".
Bagi pecinta kuliner, khususnya di ibu kota Jakarta, rasanya tidak lengkap bila belum mencicipi kuliner khas Betawi, di antaranya soto Betawi yang terkenal akan kuah kental menggugah selera dengan rasa gurih menyengat lidah.
Soto merupakan makanan yang diperkenalkan oleh orang Tionghoa. Umumnya diyakini bahwa soto berasal dari nama makanan Hokkian, yaitu cau do, jao to, atau chau tu yang artinya jeroan berempah.
“Masakan tertentu yang asalnya khas China, seperti soto ayam dan soto babat, telah menjadi bagian makanan setempat,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya.
Baca juga: Satu Nusa Soto Bangsa
Soto yang awalnya dijajakan oleh orang Tionghoa, kemudian diikuti oleh kaum pribumi. Kini soto ada di mana-mana. Kita mengenal beragam nama soto berdasarkan asal, tempat jualan, cara penyajian, dan nama penjual. Seperti Soto Betawi H. Ma’ruf.
Menariknya, nama soto Betawi pertama kali digunakan oleh pedagang soto orang Tionghoa. Mengutip kebudayaanbetawi.com, soto Betawi mulai populer pada 1977/1978. Pada tahun-tahun itu, biasanya nama soto disebut sebagai Soto Pak X. Nama soto Betawi pertama kali digunakan oleh Lie Bowen Bo. Ia menjual soto Betawi di Prinsen Park (kini Taman Hiburan Rakyat Lokasari). Sejak itu, nama soto Betawi mulai populer dan digunakan secara luas oleh masyarakat.
Salah satunya yang legendaris adalah Soto Betawi H. Ma’ruf yang berdiri sejak 1940-an.
H. Ma’ruf bin Shahib bin Barru bin Nami merupakan keturunan langsung orang Betawi. Ia awalnya bekerja serabutan sebagai kuli bangunan dan supir. Namun, ketika pekerjaannya sepi, Ma’ruf putar otak hingga memilih berjualan soto secara keliling dari kampung ke kampung dengan dipikul.
“Kata kakek dipikul itu berat, kadang kuahnya sering tumpah bahkan pernah jatuh. Kakek pun harus pulang, buat ulang lagi kuah sotonya,” ujar Mufti Maulana, cucu H. Ma’ruf, generasi ketiga penerus usaha Soto Betawi H. Ma’ruf.
Baca juga: Menusuk Sejarah Sate
Pada 1960-an, Soto Betawi H. Ma’ruf mulai memasang tenda kaki lima di sekitar pos kereta api Gondangdia Lama, tepatnya di persimpangan Jl. Teuku Umar. “Satpol PP sering keliling, jadi kakek jualan sering diusir,” kata Mufti.
Masalah itu akhirnya teratasi setelah H. Ma’ruf untuk pertama kali membuka rumah makan permanen di depan Taman Ismail Marzuki pada 1980-an. Rumah makan itu kemudian dipindahkan ke dalam TIM. Kini Soto Betawi H. Ma’ruf membuka cabang di RP Soeroso Nomor 36A, Jalan Pramuka Raya Nomor 64D, Jalan Tebet Raya Nomor 23, dan Plaza Atrium & Festival (food colony).
Soto Betawi H. Ma’ruf yang buka pukul 09.30–20.30 WIB selalu dipadati beragam pengunjung. Mulai dari rakyat hingga pejabat sampai dijuluki restoran sotonya para pejabat. Bahkan, kata Mufti, dulu Ibu Fatmawati, istri Presiden Sukarno, sering menyajikan soto ini untuk tamu undangan di Istana Negara.
Soto Betawi H. Ma’ruf pun terpilih sebagai Juara Kuliner Indonesia kategori Rekomendasi Restoran oleh IDEALIFE Home Innovation Japan. Pencapaian itu diraih karena kualitas pembuatan soto tidak menggunakan MSG atau micin, menggunakan bahan alami dan segar, serta demi mempertahankan rasa, soto dimasak dalam satu dapur utama di Jalan Pramuka, Jakarta Pusat.
“Selain itu, soto ini memiliki keunikan lain dari kuahnya yang berwarna cokelat campuran susu dan rempah-rempah,” ujar Mufti.
Baca juga: Sejarah MSG atau Micin
Keunikan itu membuat pakar kuliner William Wongso memberikan label kepada Soto Betawi H. Ma’ruf sebagai pionir soto Betawi dengan menggunakan kuah susu.
“Kuah susu itu berawal dari 'kecelakaan', waktu itu pernah kehabisan santan yang ada hanya susu. Jadi, dicoba pakai susu ternyata rasanya lebih gurih,” kata Mufti.
Dari cita rasanya yang otentik tersimpan pesan H. Ma’ruf kepada keturunannya untuk mempertahankan dan mengenalkan kebudayaan Betawi.
“Untuk mengembangkan amanat kakek agar menjaga kebudayaan Betawi, kami sekeluarga terus menambah menu makanan Betawi lain seperti Laksa Betawi, Sate Ayam, Sate Kambing, dan Sate Sapi,” ujar Mufti.*
Penulis adalah mahasiswa magang dari Politeknik Negeri Jakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar