Satu Nusa Soto Bangsa
Lahir dari percampuran tradisi kuliner beragam bangsa, soto menjadi sajian khas Nusantara.
H. Joman, pria berambut putih itu, segera beranjak dari bale ketika seorang pembeli datang ke warung soto minya. Sambil bertanya keinginan si pembeli, tangannya membuka kaca etalase. Dia meracik bahan-bahan soto ke mangkuk lalu menuangkan kuah mendidih. Tak sampai 10 menit, semangkuk soto mi tersaji di meja pembeli.
Joman berdagang soto mi ala Betawi sejak awal 1970-an. “Lagi bujangan mah [saya] kerja di kota. Gua kerja di tukang sate di Kebon Sirih, Jalan Sabang,” ujar Joman kepada Historia.id.
Baca juga: Menusuk Sejarah Sate
Beberapa lama kemudian, Joman pulang ke rumahnya di Pamulang dan menikah. Untuk menafkahi keluarganya, dia berdagang soto keliling hingga akhirnya mangkal. Setelah berkali-kali pindah tempat mangkal, dia berjualan di halaman rumahnya.
Soto mi ala Betawi hanyalah satu dari sekian jenis soto yang ada di tanah air. Meski tak diketahui pasti kapan awal kemunculannya, soto telah ada sejak berabad-abad silam. Keberadaan soto terkait erat dengan perniagaan antara kepulauan Nusantara dan berbagai bangsa yang menyinggahinya, ketersediaan bahan-bahan, dan pertemuan tradisi kuliner lokal dan pendatang.
Hibrid
Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, mencatat orang-orang Tionghoalah yang berperan penting bagi kelahiran soto. Menurutnya, soto berawal dari caodu (jao to) yang mula populer di Semarang pada abad ke-19.
Meski belum gamblang, pendapat Lombard diamini banyak orang. Salah satunya Lono Simatupang, antropolog Universitas Gadjah Mada. Dia menyebut soto berasal dari makanan (Hokkian) cau do/jao to/chau tu yang berarti jeroan (hewan) berempah yang kali pertama populer di Semarang pada abad ke-19. Pada perkembangannya, ia bercampur dengan tradisi kuliner lokal. Pengaruh Tionghoa tercermin dari adanya mi, bihun atau soun, bawang putih goreng, dan tauco.
“Basisnya Tionghoa. (Dari segi bahasa) kayaknya lebih mendekati tauto,” ujar Andreas Maryoto, wartawan yang menggeluti masalah pangan, kepada Historia.id.
Baca juga: Kuliner Tionghoa di Nusantara
Dalam penelitiannya, Ary Budiyanto dan Intan Kusuma Wardhani dari Center for Culture and Frontier Studies (CCFS) Universitas Brawijaya, Malang, meragukan klaim tersebut. Mereka menyebut sulit melacak jejak soto komersial di Semarang yang kaldu kuahnya berbahan dasar daging jeroan. Penjual soto legendaris di Semarang hingga kini adalah soto ayam: Bokoran, Selan, dan Bangkong, yang rata-rata populer tahun 1950-an.
Mungkinkah menghilang karena seleksi alam? Juga meragukan. Terbukti soto daging jeroan ala Madura masih ada dan berevolusi hingga kini.
Selain itu, berdasarkan bukti koleksi foto maupun kartu pos, sotoverkooper sudah dikenal di Batavia, Jawa, dan Surabaya, bukan hanya di Semarang, pada akhir abad ke-19. Artinya, “Soto berbahan daging jeroan ala Surabaya, Betawi, dan mungkin di kota lainnya... sepertinya telah ada dan secara sporadis tumbuh dan mendominasi jalanan kota-kota pesisir utara Jawa masa kolonial,” tulis Ary Budiyanto dan Intan Kusuma Wardhani dalam “Menyantap Soto Melacak Jao To: Merekonstruksi (Ulang) Jejak Hibriditas Budaya Kuliner Cina dan Jawa”, makalah yang disajikan dalam konferensi internasional “Chinese-Indonesian: Their Lives and Identities”, di Semarang, November 2013.
Baca juga: Budaya Kuliner Tionghoa-Nusantara
Mereka menyimpulkan, soto barangkali bukan berasal dari seni kuliner Tiongkok secara langsung, apalagi dari derivasi jao to peranakan Semarang yang lebih mirip sop kimlo.
“Jenis makanan itu disebut soto lebih dikarenakan menu berkuah rempah nan lezat ini dibuat dengan kaldu daging jeroan dan disajikan dengan potongan daging jeroan yang dimasak pindang kecap,” tulis Ary dan Intan.
Terlepas dari asal-usulnya, orang umumnya sepakat adanya pengaruh tradisi kuliner Tionghoa, peranakan maupun totok, dalam semangkuk soto. Ini terlihat dari bahan-bahan pembuatan soto dan pernak-pernik pendampingnya seperti soun, bihun, mi, tahu goreng, telur rebus, tauge, daging/jeroan, kecap, kerupuk udang, taburan bawang putih.
Namun, bukan hanya Tionghoa. Penggunaan kari pada soto sulung, soto Madura, dan soto Betawi lebih mencerminkan tradisi kuliner India. Sementara, penggunaan kunyit, koya, daun salam, gula merah, kuah kental, tempe goreng dan bawang merah goreng, emping, hingga rambak mewakili tradisi kuliner Jawa. Ketumbar, seledri, kubis, kentang, tomat mewakili Eropa (Barat).
“Gaya menikmati soto dengan perkedel mungkin meniru gaya Indis di mana perkedel dinikmati dengan sup seperti dalam menu buku Kokki Bitja tahun 1857,” ujar Ary kepada Historia.id.
Baca juga: Karya Abadi Koki Jadoel
Kini, kita mengenal beragam jenis soto. Uniknya, ada perbedaan antara soto Jawa Timuran dan Jawa Tengahan. Menurut Ary dan Intan, soto Jawa Timuran didominasi citarasa Madura dan bisa terlihat pada soto Lamongan, Blitar, dan Kediri. Rasa rempahnya berat dan kuahnya tebal. Sementara soto Jawa Tengahan tak dihegemoni satu subkultur. Rempahnya ringan dan kuahnya cenderung cair.
Apa yang menyebabkan perbedaan itu? Soto Madura, seperti halnya soto Betawi dan coto Makassar, banyak dipengaruhi oleh gulai/kare India atau Arab. Sementara soto Jawa Tengahan lebih dekat dengan soto ayamnya yang diperkirakan inovasi dari bumbu opor, bukan dari kimlo maupun jao to ala Tiongkok, tapi dengan cara memasak dan takaran yang berbeda yang barangkali evolusi dari kare India.
Beragam Jenis
Berawal dari dapur-dapur keluarga, orang Tionghoa mulai menjajakan soto dengan berdagang keliling. Kaum bumiputra kemudian mengikutinya, mula-mula menjajakan dagangan bos-bos Tionghoa lalu setelah merasa cukup mampu melepaskan diri dan berdagangan keliling secara mandiri.
“Sepertinya mulai berkeliaran pada akhir abad ke-19. Pada tahun dua puluhan sampai tiga puluhan, (soto) mulai merakyat,” ujar Ary kepada Historia.id.
Baca juga: Jejak Eropa dalam Kuliner Nusantara
Sejumlah penjual soto kemudian membuka warung dan melegenda. Misalnya yang dilakukan Soleh Sukarno, pemilik jaringan restoran Soto Bangkong di Semarang. Bermula dari jualan soto keliling pada 1950, mangkal di daerah Bangkong, lalu membangun kios yang kemudian berkembang pesat.
Kita juga mengenal beragam nama soto yang dikenal karena asal, tempat jualan, cara penyajian, nama penjual, maupun tambahan bumbunya: Soto Grombyang, Soto “Dok” Lamongan, Soto Sulung dan Ambengan Surabaya, Soto Tangkar Betawi, Soto Sukaraja, Banyumas, Purwakerto, dan Purbalingga, sauto Tegal, taoto Pekalongan, hingga Coto Makassar.
Dari mana pun asal-usulnya, dan apapun variannya, soto sudah menjadi sajian kuliner khas Nusantara.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar