Jejak Eropa dalam Kuliner Nusantara
Bangsa Eropa membawa berbagai tumbuhan, makanan, dan cara memasak. Diadopsi dan dimodifikasi sehingga menjadi makanan orang Indonesia.
Selepas Malaka jatuh ke tangan Belanda, orang-orang Cristang (sebutan untuk penduduk Malaka yang masuk Kristen) didera kesulitan ekonomi. Untuk menghemat makanan, mereka memikirkan teknik memasak sayuran dan daging agar bisa tahan lama. Untuk mengolah daging, mereka menggoreng sambil mengaduknya hingga bertekstur hitam dan mengeras dalam kuali tertutup rapat dengan sedikit air.
“Teknik tersebut dalam boga Portugis disebut bafado (mengukus). Meski mulanya pengaruh Portugis ini berlaku di kalangan orang-orang Cristang, dalam perkembangannya menyebar dan meresap di kawasan Sumatra,” tulis Fadly Rahman, sejarawan kuliner, dalam Jejak Rasa Nusantara. Bafado serupa dengan rendang dan balado dalam boga Minang.
Selain bafado, teknik pengolahan lain ala Portugis adalah assado (memanggang), recheado (mencampur daging dengan bahan bumbu), dan buisado (merebus). Rendahnya konsumsi daging di Nusantara pada abad-abad sebelumnya mengalami pergeseran sejak abad ke-16 seiring berkembangnya pengaruh Portugis di kawasan Malaka dan sekitarnya.
“Pengaruh Eropa sejak abad ke-16 menjadi penanda penting bagi awal pergeseran budaya makan di Nusantara menuju cita rasa baru,” tulis Fadly.
Murah Hati
Kendati telah hadir di Nusantara pada abad ke-16, corak boga Portugis dan juga Spanyol nyaris tak terekam dalam sumber-sumber tertulis. Padahal, dibandingkan bangsa Eropa lainnya, kedua bangsa Iberia ini terbilang murah hati memberikan pengaruh boga di setiap kawasan koloni mereka. Selain di kawasan Melayu, pengaruh Luso-Asia melekat dalam boga Maluku.
Berbagai jenis sayuran, buah-buahan, bahan makanan dan masakan hingga kue bercorak Luso-Asia melekat sebagai bagian dari makanan lokal di kawasan timur dan Melayu. Hal itu menjadi semacam bukti bahwa semua itu diserap bukan secara mendadak dan kebetulan, namun dihasilkan melalui proses interaksi budaya yang berlangsung lama.
Baca juga: Hari ini Portugis Menyerah kepada VOC
Menurut Paramita R. Abdurachman dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara, hubungan dengan orang Portugis yang meninggalkan kesan terkuat adalah dalam kehidupan sehari-hari, termasuk cara pengawetan makanan, bahan makanan, dan makanan seperti acar, farinya, trigu, asam-pedis (acar, farinha, trigo, caldeirada).
Dari buku Paramita dan juga Irza Arnyta Djafaar berjudul Jejak Portugis di Maluku Utara, Fadly mengumpulkan dan menyeleksi sebanyak 27 kosa kata Indonesia terkait makanan dan tumbuhan yang diserap dari bahasa Portugis. Antara lain terasi (baleicho), bolu (bolo), kue (bibenka), kaldu (caldo), keju (queijo), mentega (manteiga), pastel (panado), dan sarden (sardinya).
Bangsa Eropa juga membawa dan memperkenalkan bahan-bahan makanan. Perubahan pertama ditandai dengan kurang lebih 2.000 jenis tumbuhan baru yang dibawa dan ditanam di Nusantara. Portugis dan Spanyol membawa jenis-jenis tumbuhan dari benua Amerika seperti jagung, ketela, cabai, buncis, terung, nanas, sawo, hingga serikaya.
“Belanda masuk ke Nusantara dengan membawa komoditas seperti kentang, kol, dan wortel,” tulis Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas, dalam Jejak Pangan.
Berbagai tumbuhan tersebut kemudian mempengaruhi penggunaan bahan makanan dan kemunculan ragam makanan baru di Indonesia.
Makanan Belanda
Bangsa Belanda, yang datang dan kemudian menjajah negeri ini dalam kurun lama, tentu punya pengaruh besar dalam kuliner Nusantara. Mereka datang dengan membawa unsur-unsur budaya kuliner.
“Tentu mereka membawa kebiasaan makan mereka, seperti makan roti dan minum bir dan anggur,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan.
Selain sebagai minuman, orang Belanda menggunakan bir, anggur merah, anggur putih, dan cuka sebagai campuran makanan zwartzuur yang berbahan daging ayam atau itik. Makanan ini diadopsi sebagai makanan lokal dengan pelafalan Belanda menjadi suar suir ayam.
“Penggunaan bir dan anggur digantikan dengan kecap manis dan sedikit cuka yang membuat cita rasa manis asam pada makanan ini,” tulis Fadly Rahman dalam Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870–1942.
Baca juga: Cita Rasa Kuliner Nusantara
Selain zwartzuur, lanjut Fadly, makanan Belanda yang menjadi sajian elite bumiputra adalah soep (sup). Orang Belanda biasa menyajikan sup panas sebagai hidangan pembuka untuk menghangatkan tubuh saat musim dingin. Saat tinggal di Jawa yang beriklim tropis, orang Belanda menikmati sup dengan membiarkannya dingin sebagai pendamping makan nasi. Kaum bumiputra mengadopsi sup sebagai sajian sayur yang dimakan dengan nasi dan bisa dihidangkan untuk makan sehari-hari atau acara pesta.
Ada banyak makanan khas Belanda yang kemudian diterima lidah penduduk bumiputra. Smoor (semur), makanan bercitarasa manis khas Belanda yang berbahan daging ayam atau sapi, diadopsi menjadi hidangan lokal dengan bahan utama ikan bandeng atau kakap dan diberi nama smoor Djawa. Orang Belanda juga memperkenalkan biefstuk (bistik). Ia adalah makanan utama orang-orang Belanda yang disantap dengan kentang, kacang polong, dan wortel. Di kalangan bumiputra, bistik justru cenderung dijadikan sebagai pendamping nasi.
Bahkan perkedel yang sering kita makan tak lepas dari peranan orang Belanda. Perkedel awalnya berasal dari kuliner Prancis bernama fricandeau yang dikenal di Belanda ketika diduduki Prancis. Orang Belanda menyebutnya frikadel. Ia adalah makanan yang dibuat dari bahan dasar kentang yang dihaluskan dan ditambah isi daging giling sapi, babi, atau ikan.
“Pada gilirannya, orang-orang Belanda juga memperkenalkan makanan ini di negeri koloninya, Hindia Belanda,” tulis Fadly. “Perkedel Belanda berupa tumbukan halus kentang yang dibumbui, dibentuk bulat atau lonjong lalu digoreng (di Indonesia dikenal dengan nama kroket).”
Baca juga: Menjejaki Sejarah Kuliner Nusantara
Setelah masuk sebagai hidangan pribumi, perkedel mengalami modifikasi bahan seperti tempe, tahu, dan jagung. Dalam buku memasak pada kurun tahun 1920-an, mulai tercantum hidangan perkedel tempe, tahu, dan jagung.
Selain makanan-makanan tersebut, pengaruh makanan Eropa juga dapat dilihat dari beberapa jenis kue seperti tart, pannekoek (panekuk), poffertjes (kue tradisional Belanda mirip panekuk), puding nasi, kue lidah kucing, dan kue keju.
Makanan-makanan Eropa yang diadopsi dan dimodifikasi tentu saja kali pertama dinikmati kalangan priyai dan orang kaya bumiputra. Butuh waktu lama hingga makanan-makanan itu bisa dinikmati semua orang Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar