Masuk Daftar
My Getplus

Hukuman bagi Pejabat yang Memberatkan Rakyat dengan Pajak

Semasa hidupnya pejabat Tionghoa ini membuat kebijakan yang memberatkan penduduk Batavia. Ketika mati pengusung peti matinya tidak sampai ke tempat pemakaman.

Oleh: Amanda Rachmadita | 26 Jul 2024
Ilustrasi pemakaman seorang pejabat Tionghoa di Hindia Belanda sekitar tahun 1898. (KITLV).

PERILAKU seseorang semasa hidup menentukan bagaimana ia akan dikenang setelah kematiannya. Mereka yang tak pernah lelah melakukan kebaikan ketika hidup akan ditangisi kepergiannya oleh banyak orang. Dalam beberapa kasus, meski hanya orang biasa, prosesi pemakamannya berlangsung dengan penuh hormat, orang-orang berdatangan untuk mengiringi jenazah menuju tempat peristirahatan terakhir. Semakin banyak pihak yang merasakan dampak baik dari mendiang, semakin banyak pula orang yang mengekspresikan kehilangan dan mengenang kebaikannya.

Sebaliknya, pemandangan berbeda terlihat pada orang-orang yang semasa hidupnya banyak melakukan keburukan atau merugikan orang lain. Contohnya, kisah pejabat Tionghoa bernama Qiu Zuguan atau Khoe Tsouwko di Batavia pada abad ke-18.

Setelah dilantik menjadi Gubernur Jenderal VOC pada 1705, Joan van Hoorn segera menunjuk sejumlah orang untuk mengisi jabatan di lembaga-lembaga di Batavia, salah satunya College van Boedelmeesters voor de Chinese sterfhuizen atau Boedelkamer.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Kala Kepala dan Kuku Dipungut Pajak

Menurut sejarawan Leonard Blussé dan Nie Dening dalam The Chinese Annals of Batavia, the Kai Ba Lidai Shiji and Other Stories (16101795), lembaga yang mengatur harta peninggalan orang-orang Tionghoa itu didirikan pada 1640.

Boedelkamer sempat dibubarkan setelah delapan tahun berdiri atas permintaan orang-orang Tionghoa, yang mengeluh bahwa “ketidaksetiaan” orang-orang yang baru saja berimigrasi membuat mereka tidak dapat mengevaluasi tanah milik mereka. Namun, pembubaran lembaga tersebut justru menimbulkan kekacauan dalam pembagian tanah-tanah milik orang Tionghoa.

“Kekacauan itu membuat dewan kurator ini dibentuk kembali pada 1655, ironisnya, atas permintaan orang Tionghoa, yang sekarang mengakui fungsi yang berguna dari lembaga ini,” tulis Blussé dan Dening.

Para kurator yang terdiri dari dua orang Belanda dan dua orang Tionghoa memiliki kewenangan untuk melikuidasi perkebunan-perkebunan, menyisihkan uang untuk ahli waris yang berhak, baik di Batavia maupun di Cina, dan, dalam beberapa kasus, mengurus ahli waris di bawah umur dan anak-anak yatim piatu.

Pada 1705, Joan van Hoorn mengangkat Qiu Zuguan dan Xu Chunguan menggantikan Kang Jingguan dan Huang Yingguan sebagai Boedelmeesters. Ketika van Hoorn diminta kembali ke Belanda oleh para direktur VOC pada Oktober 1709, posisinya digantikan oleh mertuanya, Abraham van Riebeeck.

Qiu Zuguan dan Xu Chunguan menjabat Boedelmeesters dua periode selama enam tahun. Setelah keduanya pensiun tahun 1712, van Riebeeck mengganti mereka dengan Gio Maoguan dan Li Yuanguan.

Baca juga: 

Kala Kepala dan Kuku Dipungut Pajak

Selama menjabat sebagai Boedelmeesters, Qiu Zuguan menerapkan peraturan yang memberatkan penduduk Batavia. Salah satu aturan yang diberlakukan oleh mantan kapitan Tionghoa di Banda itu adalah kewajiban bagi semua orang –Tionghoa, Belanda, dan sebagainya– untuk membeli sertifikat penguburan dari sekretaris weeskamer ketika seorang budak meninggal dunia. Denda sebesar 25 real menanti mereka yang menutupi kabar kematian dan tidak melaporkannya.

Selain itu, Qiu Zuguan juga memberlakukan pajak tambahan untuk upacara pernikahan yang menuai kritik dan kecaman dari penduduk. Hal ini cukup dapat dipahami karena menurut arsiparis dan sejarawan Mona Lohanda dalam The Kapitan Cina of Batavia, 1837–1942, tak lama setelah Batavia didirikan pada 1619, orang-orang Tionghoa yang bermukim di kota itu telah menjadi sasaran utama wajib pajak.

“Setiap orang Tionghoa yang sehat dan berusia antara 14 hingga 60 tahun harus membayar 1,5 real per bulan. Sebuah tanda pembayaran atau hoofdbriefje diberikan ketika orang Tionghoa telah membayar pajak,” tulis Mona.

Pajak yang dibebankan kepada penduduk Tionghoa beragam, mulai dari hoofdgeld der Chineezen atau pajak kapitasi/kepala untuk orang Tionghoa yang tinggal di kota, yang mulai diberlakukan pada 9 Oktober 1620, pajak perjudian hingga pajak rambut dan kuku panjang.

Tak heran bila banyak penduduk keberatan dengan kebijakan Qiu Zuguan yang memberlakuan pajak tambahan untuk upacara pernikahan. Hal ini pula yang membuat Qiu Zuguan sangat tidak disukai. Ketidaksukaan orang-orang terlihat saat prosesi pemakamannya.

Qiu Zuguan meninggal dunia pada Juli 1721. Mulanya ia akan dimakamkan di Krokot, tetapi ketika para pengusung peti mati tiba dan diminta membawanya ke pemakaman Ganwang Shan, mereka tidak senang.

Baca juga: 

Pejabat Pajak Menyeleweng

“Para pengusung peti mati itu teringat bahwa di masa hidupnya, pejabat Tionghoa itu memiliki karakter yang buruk, suka membuat peraturan yang merugikan orang lain, sehingga mereka semakin tidak menyukai Qiu Zuguan dan kemudian meletakkan peti mati itu di jalan karena tidak ada yang mau mengusung peti matinya lebih jauh lagi,” tulis Blussé dan Dening.

Para pejabat Tionghoa yang ikut dalam prosesi pemakaman Qiu Zuguan dengan segala cara membujuk para pengusung peti mati agar mau melanjutkan perjalanannya. Sebab, jika peti mati itu dibiarkan di tepi jalan tentu akan mencoreng nama baik keluarga maupun pejabat Tionghoa.

Kendati berhasil membuat para pengusung kembali membawa peti mati Qiu Zuguan, mereka kembali berhenti ketika tiba di Danlan Wang (Tanah Abang). Dengan cara apa pun mereka dipaksa, para pengusung tak mau lagi membawa peti mati tersebut. Akibatnya, prosesi pemakaman tertunda hingga akhirnya sejumlah penduduk lokal disewa untuk membawa peti mati Qiu Zuguan ke pemakaman Ganwang Shan.*

TAG

pajak batavia

ARTIKEL TERKAIT

Tuan Tanah Bikin Rel Kereta di Selatan Jakarta Bohl Tuan Tanah Senayan dan Matraman Jejak Radius Prawiro dalam Reformasi Pajak Tuan Tanah Menteng Diadili Prabowo Berenang di Manggarai Perantau Tangguh yang Menaklukkan Batavia Kisah Dua Anak Gubernur Jenderal VOC yang Bermasalah Misteri Rumah Hantu di Gang Pecenongan Datu Adil, Raja Tarakan yang Melawan Belanda Anak Yatim Piatu dan Terlantar pada Masa VOC