CIKAL bakal novel modern Indonesia bukanlah Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1920. Namun, Tjhit Liap Seng karya Lie Kim Hok yang diterbitkan Bintang Tujuh tahun 1886.
Bukan hanya yang pertama. Sastrawan Tionghoa juga produktif. Menurut Claudine Salmon dalam Sastra Indonesia Awal, selama kurun waktu hampir 100 tahun (1870-1960), kesusastraan Melayu-Tionghoa menghasilkan 3.005 buah karya dan melibatkan 806 penulis. Jumlah ini jauh lebih banyak ketimbang Balai Pustaka, lembaga yang didirikan pada 1917 dan disubsidi pemerintah kolonial, yang dalam periode setengah abad menghasilkan 400 karya dari 175 penulis.
Sastra Melayu Tionghoa memiliki sejarah panjang di negeri ini. Ia muncul seiring perkembangan pers berbahasa “Melayu rendah”, yang diperoleh Liem Kim Hok. “Makanya, rata-rata pengarang Tionghoa adalah wartawan,” kata Myra Sidharta, penulis dan pakar sastra Tionghoa. “Pada saat itu masyarakat Tionghoa, terutama perempuan, haus akan bahan bacaan. Lahirlah karya-karya sastra terjemahan, terutama dari karya klasik Negeri Tiongkok.”
Baca juga:
Sastrawan Peranakan yang Terlupakan
Kisah Hai Rui dianggap sebagai novel Tiongkok pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu rendah –kadang disebut Melayu pasar, Melayu Betawi, atau Melayu Tionghoa. Terbit pada 1882, novel ini berkisah tentang seorang pegawai tinggi yang bijaksana dan bersih.
Memasuki awal abad ke-20, beberapa pengarang Tionghoa mulai membuat roman sendiri dengan tema beragam, umumnya menggambarkan realitas kehidupan masyarakat dan zamannya. Misalnya, Gouw Peng Liang menerbitkan Lo Fen Koei pada 1903, dan Kwee Tek Hoay Bunga Roos dari Cikembang pada 1927. Masa keemasan kesusatraan peranakan terjadi pada 1920-an dan 1930-an, yang ditandai dengan terbitnya beberapa majalah sastra macam Penghidoepan dan Tjerita Roman.
“Dalam perkembangannya, Sastra Melayu Tionghoa mempengaruhi sastra Indonesia dalam pilihan tema, terutama mengenai pernikahan tradisional dan pendidikan tradisional,” kata Myra.
Baca juga:
Melihat Kolonialisme Bekerja lewat Teropong Sastra
Sastra peranakan Tionghoa menjadi embrio sastra Indonesia. Ia juga mempopulerkan penggunaan bahasa Melayu rendah, yang lebih spontan dan hidup, bahasa sehari-hari kalangan penulis bumiputera. Bahasa ini pula yang menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia.
Dalih penggunaan bahasa Melayu rendah membuat sastra Tionghoa terlempar dari kanon sastra Indonesia modern. Terbitan Balai Pustaka yang menggunakan bahasa Melayu tinggi dianggap sebagai tonggak kelahiran sastra Indonesia modern.
Menurut Salmon, sejak awal 1960- an sastra Melayu-Tionghoa mengalami masa sulit. Sejumlah kecil penulis bahkan berusaha menghidupkan lagi. Namun toh tak bisa bertahan dan akhirnya tenggelam. Beberapa penulis Tionghoa generasi baru cenderung menjadi liyan, “orang Indonesia”.
Bahasa Melayu rendah sendiri ikut lenyap akibat pembakuan bahasa Indonesia yang merasa “baik dan benar”.*
Majalah Historia No. 10 Tahun I 2013