SEJAK gelombang pertama imigran Tiongkok tiba di Nusantara, mereka menetap, berbaur, dan beradaptasi dengan penduduk dan kondisi setempat. Saat keinginan menyediakan menu makanan serupa di daerah asal terkendala sulitnya bahan, mereka berkreasi. Mereka juga memperkenalkan teknik dan alat memasak hingga penggunaan bahan lokal.
Denys Lombard mengambil contoh penggunaan barang anyaman yang digunakan untuk menanak nasi, kuali dan penggorengan, pisau dan golok, serta anglo. “Dan di antara istilah teknik yang menunjuk tipe-tipe utama cara memasak, tiga berasal dari bahasa Cina: ca, tim, dan kuah…, tulisnya dalam Nusa Jawa Silang Budaya.
Baca juga:
Orang Tionghoa mendapati bahan lokal juga menarik untuk diolah dan disesuaikan dengan selera dan cara mereka. Seperti keluwak, lengkuas, kencur, daun salam, santan, dan jinten. Gabungan teknik, penyesuaian bahan, dan kreasi baru ini menciptakan beragam kuliner baru.
“Istilah, nama bahan makanan, dan nama makanan lalu mulai akrab di telinga dan lidah penduduk setempat,” ujar Joseph “Aji” Chen, wakil koordinator Dewan Pakar Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia.
Baca juga:
Ada beragam makanan yang mendapat pengaruh Tionghoa. Lombard sendiri memilih beberapa makanan khas yang masih eksis. Dia menyebut empat makanan yang dikenal merata: mi, pangsit, tim sum (misalnya bapao, bacang, dan lumpia), dan bakso. Menurutnya, penggunaan mi di Jawa, “sudah ada sejak zaman Majapahit.”
Lombard juga menekankan peran kedelai dan produk olahannya, sebagai makanan pokok dan bergizi seperti tahu dan tempe, oncom maupun pelezat masakan seperti tauci, tauco, kecap. Selain itu, sumbangan Cina juga terasa pada variasi “kue basah”, manisan buah (disale maupun direndam), dan gula-gula (seperti hunkue, muaci, hingga kuaci).
Baca juga:
Uniknya, satu nama makanan bisa berbeda bahan dan rasa tergantung selera dan kekhasan lokal. Lumpia, misalnya, di Jakarta berisi irisan bengkoang, taoge, tahu, udang, daging babi/ayam, dan kecap. Di Padang, ada tambahan wortel, telur, kecap asin, dan sedikit kecap manis. Sementara di Semarang menggunakan irisan rebung. Bacang bisa dibikin dengan beras biasa atau beras ketan, berisi daging dengan jejalan cabe rawit utuh seperti di Jawa Barat dan Jakarta atau tambahan kecap dan merica seperti di Bangka, Bali dan Makassar. Soal kemasan pun bisa berbeda. Di Sumatra menggunakan daun pandan, sementara di Jawa daun bambu.
Perbedaan itu muncul sebab orang Tionghoa yang datang juga dari berbagai suku dengan budaya berlainan. “Di Sumatra kebanyakan dari suku Hakka dan Hokkian, di Manado dan Riau dari suku Hainan,” ujar Hiang Marahimin, penulis buku Masakan Peranakan Tionghoa Semarang.
Menurut Joseph, semua makanan yang ada sehari-hari merupakan akulturasi dari berbagai budaya kuliner, lalu menemukan jati dirinya. Siomay, misalnya, hanya ada di Indonesia. Bakpia pathok, jajanan khas Yogya, melenceng dari namanya yang seharusnya berisi daging (bak).*
Majalah Historia No. 10 Tahun III 2016