Pulo Geulis yang Harmonis

Perkampungan inklusif di delta Sungai Ciliwung. Terdapat kelenteng tertua di Bogor yang jadi tempat sembahyang orang Tionghoa dan pengajian umat muslim.

Oleh: Randy Wirayudha | 27 Jan 2025
Pulo Geulis yang Harmonis
Anak-anak muda Kampung Pulo Geulis memainkan tari liong (Riyono Rusli/Historia.ID)

TAHUN ular kayu sudah di depan mata. Masyarakat etnis Tionghoa masih bersiap untuk perayaan hari besar Tahun Baru Imlek Kongzili 2576 dan Cap Go Meh 2025. Tetapi di Pulo Geulis, Kelurahan Babakan Pasar, Kota Bogor, suasananya berbeda jika dibandingkan di daerah-daerah lain. 

Sebab, dari masa ke masa persiapan perayaan hari besar itu di Kelenteng Phan Ko Bio turut dibantu secara sukarela oleh sesama warga non-Tionghoa. Latihan barongsai dan tari liong kelompok kesenian Naga Merah Putih pun dilakukan anak-anak dan muda-mudi yang mayoritas non-Tionghoa. 

“Dalam perjalanannya (sejak 1999) grup Naga Merah Putih sangat inklusif, sangat terbuka. Kalau dulu diawaki pemuda-pemuda etnis Tionghoa, untuk kemudian kita rekrut pemuda-pemuda yang berbasis di sekitar kampung (Pulo Geulis),” ujar Guntoro Santoso, co-founder Naga Merah Putih, kepada Historia.ID. 

Advertising
Advertising

Baca juga: Cap Go Meh Bagian dari Kebudayaan Nusantara

 

Itu hanya satu dari banyak kisah di balik keberagaman dan keharmonisan yang jadi simbol persatuan di kota Bogor. Masyarakat yang tinggal di delta Sungai Ciliwung seluas 3,5 hektare itu hidup berdampingan, bahkan sejak masa Kerajaan Pajajaran (923-1579 Masehi). 

“Kampung itu menyimpan harmoni, keberagaman, dan toleransi yang sangat tinggi. Warga di sana sangat beragam dan terbuka. Jadi dulu kampung itu mayoitasnya Tionghoa, sekarang mayoritasnya muslim. Tapi mereka sangat erat dan dekat hubungannya. Banyak kegiatan mereka lakukan bersama,” timpal fotografer Lazyra Amadea yang menelurkan karya buku fotografi Pulo Geulis: Setapak Keberagaman (2023). 

Guntoro Santoso (kiri) & Lazyra Amadea (Riyono Rusli/Historia.ID)

Keharmonisan itu begitu kentara saat mereka yang bermukim di sekitar kelenteng membantu persiapan Imlek dan Cap Go Meh tahun ini. 

“Kontribusi warga sekitar kelenteng, setiap kita mengadakan perayaan Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, dan lain-lain, seperti sembahyang arwah, kegiatan-kegiatan yang sifatnya keagamaan Tionghoa, mereka membantu dengan sukarela,” aku pengurus kelenteng, Chandra Kusuma. 

Kelenteng yang konon tertua di kota Bogor itu sudah jadi simbol lekatnya kerukunan antar umat beragama dan antaretnis yang berkelindan dengan sejarah eksistensi Pulo Geulis sejak berabad-abad silam. 

“Buktinya kalau kita bicara keberadaan sebuah kelenteng atau wihara di Pulo Geulis, sudah ada sekitar abad ke-16. Jadi potret keberagaman di Bogor yang usianya sudah lebih dari 500 tahun itu sudah melalui proses panjang dan salah satunya direpresentasikan di Pulo Geulis, di mana percampuran budaya lokal dan dari luar itu ternyata berproses dan jadi tonggak keberagaman masyarakat Bogor,” tutur Wakil Walikota Bogor (2019-2024) Dedie Abdu Rachim. 

Baca juga: Imlek tanpa Tanjidor

 

Bukti Keberagaman Sejak Dulu 

Dari sedikit sumber yang bisa menjelaskan secara detail asal-usul Pulo Geulis, sebagian berasal dari tradisi lisan. Beberapa di antaranya menyebutkan kawasan delta Pulo Geulis yang diapit Sungai Ciliwung itu dulu merupakan tempat peristirahatan keluarga Kerajaan Pajajaran.

“Dulunya bekas sisa Kerajaan Pajajaran. Banyak perempuan cantik (bahasa Sunda: geulis) sering pakai kebaya Sunda di sekitar situ. Kenapa pulo? Karena posisinya di delta Sungai Ciliwung dan ada perkampungan hingga membelah sungai seperti pulau, makanya disebut Pulo Geulis. Tapi makna geulis-nya bukan lagi fisiknya (perempuan) yang cantik tapi lebih ke keberagaman yang mereka jaga dari dulu sampai saat ini,” sambung Lazyra. 

Dari sedikit bukti fisik yang ada, terdapat di kelenteng maupun beberapa petilasan di dalam kelentengnya. Catatan-catatan sejarah yang ada menyebutkan kelentengnya sudah ada pada 1703 ketika seorang pengelana Belanda, Abraham van Ribbeck, singgah di sana. 

“Kelenteng (di) Kampung Pulo Geulis ini ditemukan setelah adanya ekspedisi dari orang Belanda yang bernama Abraham van Ribbeck tahun 1703. Perjalanan dia dari barat ke timur sehingga menemukan tempat ini yang sudah ada penduduknya setelah kosong sekian lama,” tambah Chandra.

Baca juga: Tentang Dua Kelenteng yang Bersejarah

 

Kampung Pulo Geulis di delta Sungai Ciliwung (australiaindonesiacentre.org)

Kelenteng itu dinamakan Phan Ko Bio –“bio” berarti kelenteng dalam bahasa Hokkian– karena terdapat patung Dewa Phan Kom alias dewa pencipta alam semesta. Dewa tersebut jadi patung utama yang disembah di kelenteng itu, selain patung-patung Dewi Kwan Im, Dewa Kwan Kong, dan patung Buddha. Hal itu membuktikan setidaknya etnis Tionghoa sudah bermukim di Bogor sebelum akhir abad ke-15. 

Kawasan delta Pulo Geulis mulai padat pada abad ke-18. Tepatnya ketika banyak orang Tionghoa eksodus dari Batavia (kini Jakarta) pasca-Geger Pacinan (9-22 Oktober 1740) atau kadang disebut Peristiwa Angke atau Chineezenmoord. 

Chineezenmoord (Pembantaian Orang Tionghoa) di Batavia pada 1740 memimbulkan sampai 6.000 korban jiwa. Itu jadi insiden paling disorot di masa kolonial,” tulis sosiolog Mely G. Tan dalam Etnis Tionghoa di Indonesia. 

Pembantaian massal itu berawal dari kecemburuan kolonialis VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) terhadap harmonisnya perbauran kehidupan masyarakat Tionghoa dan kaum bumiputera di Batavia dari lapisan buruh hingga pedagang. Menurut sejarawan Benny Gatot Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik, oraang Belanda kian curiga dengan tingkat ekonomi golongan Tionghoa yang makin kaya. 

Baca juga: Duka Warga Tionghoa

Altar sembahyang di Kelenteng Phan Ko Bio (Riyono Rusli/Historia.ID)

Lantas dengan dalih pengendalian epidemi malaria, pemerintahan VOC memperketat perizinan keluar-masuk orang Tionghoa di kawasan Batavia medio 1730-an. Banyak opsir dan pejabat yang memanfaatkan aturan itu untuk memeras orang-orang Tionghoa. 

Konflik memuncak ketika pada 1 Oktober 1740 masyarakat Tionghoa berkumpul di gerbang kota. Gerakan-gerakan berikutnya memicu bentrokan karena turut “dipanas-panasi” gosip yang menyebar di kalangan bumiputera bahwa kalangan Tionghoa selain akan memberontak pada Belanda juga akan menyerang kalangan bumiputera. 

Klimaksnya terjadi sepanjang 9-22 Oktober 1740 ketika pasukan Belanda dan ribuan massa bumiputera menyerbu areal-areal permukiman Tionghoa dan pabrik-pabrik gula tempat para buruh Tionghoa berkumpul. Sebanyak 6-10 ribu jiwa tewas akibat penyerbuan itu. Hampir semua kalangan Tionghoa lalu mengungsi ke luar Batavia. 

“Jadi itu peristiwa besar di abad ke-18 dan menyebabkan adanya eksodus etnis Tionghoa dari Betawi (Batavia, red.) menuju Tangerang, Bogor, dan lain-lain. Kampung Pulo Geulis dulu sudah ada penduduknya tapi masih sedikit dan kebanyakan hanya sawah. Lalu timbullah penduduk yang membutuhkan tempat tinggal. Sebagian (pengungsi Tionghoa) yang ada di Bogor mulai tinggal di situ,” sambung Guntoro, yang budayawan Tionghoa Bogor. 

Baca juga: Mencari Ruang Narasi Peran Etnik Tionghoa dalam Sejarah Bangsa

 

Beberapa petilasan di Kelenteng Phan Ko Bio (Riyono Rusli/Historia.ID)

Secara umum, kalangan Tionghoa di Bogor tetap bisa berbaur dengan masyarakat bumiputera dan golongan Eropa. Terlebih sejak ditiadakannya kelembagaan dan jabatan Kapitan Cina, membuat proses pembaurannya dari masa kolonial, era pendudukan Jepang, hingga periode kemerdekaan berjalan saling menguntungkan. 

“Adaptasi memainkan peran yang penting untuk menghadapi kontestasi di ruang kota Bogor yang cukup kompleks dan rumit akibat pelaksanaan berbagai kebijakan penguasa kolonial. Bahkan sebagai perwakilan Timur Asing, etnis Tionghoa menjadi satu-satunya yang mewakili kelompok Timur Asing dalam Gementeraad (dewan kota). Kelompok etnis Tionghoa mampu bertahan selama masa kolonial, bahkan sampai kemerdekaan karena Kampung Pecinan berdekatan dengan Istana Bogor yang jaid satu faktor penting tidak terciptanya huru-hara selama masa revolusi,” tulis Huddy Husin dkk. dalam “Adaptasi Ekonomi Etnis Tionghoa Bogor: 1905-1942”, termuat di Alur Jurnal Volume 6, No. 1 Tahun 2023. 

Proses harmonisasi di Kampung Pulo Geulis serupa tapi tak sama dengan yang ada di Bogor. Pembedanya, lanjut Guntoro, adalah kesamaan nasib dan kondisi ekonomi masyarakat kampung yang berbeda dengan kondisi ekonomi masyarakat Tionghoa di kota. 

“Mereka memiliki strata sosial yang sama. Mereka bukan bagian dari sistem perkotaan yang kadang-kadang mempunyai strata sosial antara majikan dan bawahan. Itu enggak ada. Strata sosialnya sama-sama pejuang kehidupan, di mana banyak (warga) Tioonghoa yang kerja di Pecinan dan banyak teman-teman muslim yang juga kerja di pasar. Untuk bisa survive dalam dunia yang keras, mereka sinkron, bersilaturahmi satu sama lain. Itu yang menimbulkan satu kekompakan bahwa ini kampung bersama. Jangan dirusak, saling menolong,” terangnya. 

Baca juga: Pengaruh Tionghoa dalam Batik Pekalongan

 

Potret keharmonisan masyarakat Tionghoa dan bumiputera di Bogor (Repro Riyono Rusli/Historia.ID)

Tidak hanya dalam kehidupan hari-hari, dalam aspek ritual keagamaan pun keharmonisan bisa terjadi di satu tempat yang sama: Kelenteng Phan Ko Bio. Ini mungkin tak terdapat di kelenteng manapun. Terlebih di dalam kelenteng terdapat sejumlah petilasan tokoh-tokoh besar era Pajajaran, membuat pengurus kelenteng mesti terbuka pada para peziarah sehingga sampai menyediakan musala untuk muslim. 

“Selain daripada leluhur orang Tionghoa, di sini juga terdapat petilasan-petilasan Uyut Gembok, Eyang Jayadiningrat, Mbah Raden Mangunjaya, Mbah Imam, Eyang Raden Suryakencana. Setiap malam Jumat ada agenda tetap pengajian bagi umat muslim di sekitar kelenteng, membacakan doa dalam bentuk Tawasul Yasin sehingga tempat ibadah Phan Ko Bio ini suaut keberagaman, mengingat negara kita NKRI berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika,” urai Chandra. 

Hingga kini, Pulo Geulis jadi cermin keberagaman dan keharmonisan tersendiri. Tidak hanya bagi warga kota Bogor tapi warga-warga dari daerah-daerah lain. 

“Tentu itu komitmen dari semua, bukan hanya pemerintah (kota). Pemerintah itu jadi semacam katalisator dari semua unsur yang ada di Pulo Geulis. Pulo Geulis boleh dibilang sebagai kampung awal berdirinya keharmonisan di kota Bogor yang tentu prosesnya tidak sebentar dan inilah yang memperkuat DNA Bogor yang mencerminkan sebuah nilai ke-Indonesia-an yang kuat,” tandas Dedie. 

Baca juga: Kaum Papa Tionghoa dari Benteng Tangerang

 

Dedie A. Rachim (kiri) & Chandra Kusuma (Riyono Rusli/Historia.ID)

TAG

bogor tionghoa tionghoa dalam lintasan zaman imlek nasional imlek imleknasional kampung kelenteng

ARTIKEL TERKAIT

Presiden Sukarno Memberangkatkan Timnas Indonesia Ketika Pram Dipenjara Gegara Membela Etnis Tionghoa Filantropi Tjong A Fie Tuan Tanah Bikin Rel Kereta di Selatan Jakarta Kapten KNIL Jadi Tuan Tanah Citeureup Kado Manis dari Tionghoa untuk Tenis Indonesia Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Tanujiwa Pendiri Cipinang dan Bogor Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Memburu Njoto