RENDANG atau randang merupakan hidangan yang paling dicari di Rumah Makan (RM) Padang atau restoran-restoran masakan Minang. Bersama dendeng batokok, gulai tambusu, gulai kepala kakap, dan ayam pop, rendang menjadi menu primadona di sana.
Padahal, sejatinya randang bukanlah jenis makanan melainkan proses memasak: marandang.
“Marandang adalah proses memasak. Awalnya manggulai, jadi proses mematangkan bumbu-bumbu menjadi kuah yang sudah keluar sedikit minyaknya. Kalau sudah keluar lebih banyak minyaknya namanya kalio. Marandang jadi tahap akhir karena dia proses menihilkan air,” ujar pakar kuliner Minang, Reno Andam Suri, kepada Historia.ID.
Namun kemudian lema “randang” lekat pada hidangan daging berkuah kering kecoklatan hingga hitam pekat itu. Kementerian Pariwisata RI menjadikan rendang sebagai satu dari lima kuliner khas Indonesia. Hingga media mancanegara, CNN, menobatkan “Rendang” sebagai santapan terbaik dalam daftar World’s 50 Most Delicious Foods pada 2017 dan World’s 50 Best Foods pada 2018.
Sejatinya, apapun bisa digulai hingga dirandang karena rempah-rempah dan bumbu-bumbu dasarnya sama. Entah ikan, daging sapi, daging kerbau, bahkan daging babi sekalipun, bisa digulai.
“Daging babi dari hewan yang sangat mudah diternakkan hingga sering diolah jadi sate, sosis, bakso, abon, daging asap, pasta, burger, dan rendang,” tulis Titis Sari Kusuma dan Adelya Desi Kurniawati dalam Makanan Halal dan Thoyyib.
Baca juga: Peristiwa PRRI Membuat Rumah Makan Padang Ada di Mana-mana
Maka sebelum razia sebuah ormas terhadap RM Padang di Cirebon yang viral baru-baru ini gegara pemiliknya bukan orang Minang dan menjual harga makanannya di bawah pasaran, sudah ada kehebohan pengusaha RM Padang yang menggunakan bahan baku daging babi medio 2022. Persoalannya, daging babi haram dikonsumsi oleh Islam yang menjadi agama mayoritas orang Minang.
“Sebenernya gak masalah dengan rendang babinya. Permasalahannya pake PADANG mungkin terlalu menjurus ke satu kaum, aneh saja terdengar.. kalau masalah rendangnya mau dicampur apapun ga masalah namanya proses masak. Misal ada MIE BABI ACEH saya yakin orang aceh sangat tidak setuju,” cuit komika Minang Praz Teguh di akun Twitter (kini X) pribadinya, @Praz_Teguh, 10 Juni 2022.
Proses Memasak Manggulai hingga Marandang
Jelas sulit melacak sejak kapan aneka hidangan gulai dan randang mulai eksis di Minangkabau dan kemudian dibawa para perantau yang membuka RM Padang atau restoran Minang. Sejarawan Fadly Rahman dalam tesis yang dibukukan, Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia, menyodorkan kesimpulan bahwa asal-usul hidangan randang yang prosesnya dipanaskan berulang-ulang agar awet mulai dibawa kolonialis Portugis ketika bercokol di kawasan Malaka pada abad ke-16.
Maka ketika William Marsden, pegawai Kongsi Dagang Inggris EIC, tiba di Sumatra pada abad ke-18, suguhan semacam randang yang dimasak menurut cara membuat kari di India sudah sering ia temui hingga didokumentasikannya dalam buku berjudul The History of Sumatra (1783). Ketika para perantau Minang kemudian telah di tanah rantau, demikian suratkabar Soenting Melajoe tahun 1912 memberitakan, sudah mulai banyak yang minta dikirimkan rendang dari para sanak saudaranya di Minang.
“Karena persoalan mengenal gulai sama dengan waktu kapan kita mengenal randang, maka yang perlu kita tahu dan menarik garisnya adalah, kapan mulai gulai itu ada? Kapan orang Minangkabau mengenai gulai? Ya sejak mereka mengenal kelapa untuk diolah jadi santan,” sambung Reno.
Rendang muncul setelah pengetahuan masyarakat terhadap bahan-bahan pembuatnya ada. Bahan-bahan itu tak semua berasal dari Sumatra.
“Kalau kita tarik lagi garis sejarahnya, bumbu-bumbu dan rempah-rempah yang membuat gulai kan sama dengan bumbu-bumbu dan rempah-rempah membuat randang, kapan rempah-rempah itu dikenal? Karena sepengetahuan saya, kapulaga itu enggak ada di Sumatera Barat. Kita mengenal gardamunggu (kapulaga hijau) dari India,” imbuh penulis buku Rendang Traveler: Menyingkap Bertuahnya Rendang Minang (2012) dan Rendang: Minang Legacy to the World (2015) tersebut.
Baca juga: Mengunyah Sejarah Randang
Fadly mengungkapkan perkenalan para pedagang Nusantara dengan pedagang China dan India sudah mulai terjadi di abad ke-5 Masehi. Perniagaan jalur lautnya kian ramai di abad ke-8.
“Tapi citra rempah-rempah sendiri mulanya cenderung lekat sebagai komoditas niaga dan obat daripada pencitra rasa makanan,” tulis Fadly.
Adapun Wynda Dwi Amalia dalam Randang Bundo mengungkapkan, rempah-rempah dari India mulai masuk ke wilayah Minang seiring mulai banyaknya pendatang India yang menetap, abad ke-14. Selain rempah-rempah, mereka juga memperkenalkan hidangan kari yang kini di Indonesia kondang disebut gulai.
“Ada dugaan yang mengatakan bahwa masakan kari khas India diperkenalkan pada abad ke-15 di daerah minang (yang) merupakan dasar dari rendang. Ahli waris takhta Kerajaan Pagaruyung juga membuka adanya kemungkinan bahwa rendang merupakan kari (gulai, red.) yang diproses lebih lanjut. Yang membuatnya berbeda adalah rendang memiliki sifat yang lebih kering sehingga jauh lebih awet dibandingkan kari,” tulis Wynda.
Baca juga: Ranah Rantau Rumah Makan Padang
Seiring perubahan zaman, cita rasa kari India dan gulai Minang sedikit demi sedikit menciptakan perbedaan. Reno juga meyakini di kemudian hari cita rasa gulai hingga randang di setiap wilayah Minang pun punya perbedaannya masing-masing, mengingat bahan baku proteinnya bakal berbeda pula.
“Gulai kepala kakap itu biasanya orang-orang rantau yang asalnya dari pesisir, seperti Pariaman, Bungus, Teluk Bayur. Karena mereka enggak punya daging seperti orang dalam (pedalaman) atau bukit. Bahkan untuk cita rasa asamnya saja bisa beda-beda, tergantung daerah-daerahnya di mana dia dibuat walau basic bumbu utamanya sama. Misal di Bukittinggi, dia pakai cita rasa asam dari jeruk nipis. Kalau daerah dekat Aceh itu pakainya asam sunti. Jadi tingkat penambahan asamnya sedikit berbeda untuk gulai (hingga randang),” jelas Reno.
Namun persamaannya, sebelum maraknya restoran-restoran Minang di perantauan, hidangan-hidangan yang digulai hingga dirandang jadi suguhan penghulu samba yang wajib ada di setiap momen-momen adat dan keagamaan. Apapun bisa dirandang, mulai dari daging beragam unggas, kambing, sapi, kerbau, kacang-kacangan, sayur-sayuran, hingga kopi.
“Makanya gulai, randang, bisa apapun. Tergantung orang-orang pesisir dan pedalaman mereka punya bahan apa untuk acara-acara adat. Semua menjadi bebas karena dia cara memasak. Jadi kita bisa bikin gulai ikan dan kalau enggak habis, dimasak lagi jadi kalio, dan kalau dimasak lagi jadi randang,” tandas Reno.
Baca juga: Tabula Rasa yang Menggugah Selera