Upiak Lalek jalan pelan di tanjakan Jorong Padang Langgo. Dia berhenti sesaat kala bertemu orang-orang satu kampung di pinggir jalan. Tegur sapa terjadi. Upiak membuka obrolan. Dia bilang baru pulang dari Jorong Baliak Baringin untuk membuat randang yang hendak dikirim ke Bogor.`
“Keluarga di Bogor baralek (resepsi pernikahan Minang). Mereka minta dikirim randang 15 kg dari kampung,” ujar Upiak, warga Jorong Padang Langgo, Nagari Tanjung Barulak, Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar.
Sejauh-jauh orang Minang merantau, randang dari kampung tetaplah yang dinanti. Ada kepercayaan, membuat randang di rantau takkan seenak jika dibuat di kampung. Banyak hal yang ditenggarai jadi penyebabnya, dari bumbu, cara pengolahan, hingga proses pembakaran. Randang mengikat orang-orang Minang di ranah (kampung) dan di rantau.
“Randang itu penghulu samba (masakan minang),” ujar Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto atau biasa disapa Mak Katik, budayawan Minang.
Baca juga: Video: Mengunyah Sejarah Randang
Karena disimbolkan sebagai penghulu, randang wajib hadir dalam acara adat dan keagamaan. Bahkan, di beberapa tempat, kelompok masyarakat yang tak kuat secara finansial menghadirkannya secara simbolik. Randang dibuat dari kulit batang kayu.
“Di Payakumbuh, randang dibuat dari potongan kayu, disiram kuah randang. Itu simbolik saat ada pesta adat,” ujar Bundo Kanduang Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib atau biasa disapa Upik, pewaris tahta Kerajaan Pagaruyuang. Menurut Upik, hingga kini, dalam upacara adat yang digelar pihaknya, randang menjadi sajian utama.
Bekal Saudagar
Randang nama sebenarnya; bukan rendang. Orang Minang menyebut marandang untuk istilah memasak dalam kurun waktu lama. Randang juga bukan hanya berbahan daging tapi juga sayur-sayuran, kacang garing, bahkan kopi. Tapi randang terlanjur melekat pada daging berkuah kering berwarna cokelat tua hingga hitam pekat.
Menurut Gusti Asnan, sejarawan Universitas Andalas, randang sebagai masakan Minang jauh lebih tua dariHikayat Amir Hamzah, kisah keperwiraan pejuang Islam bernama Amir Hamzah pada zaman sebelum dan awal kebangkitan Islam, yang populer sebelum tahun 1511. Dalam catatan yang ditulis tahun 1514, seorang Portugis Rui de Brito, pemimpin Malaka, menyinggung randang yang dibawa para saudagar Minang yang berniaga di Malaka.
“Spesifik dia tidak mengatakan randang tapi daging yang dihanguskan,” ujar Gusti Asnan.
Lalu, apakah randang asli Minang?
Dalam tesisnya di Universitas Gadjah Mada yang dibukukan, Jejak Rasa Nusantara, sejarawan Fadly Rahman menyodorkan kebudayaan Lusio-Asia, yang dibawa Portugis dan menancap di kawasan Malaka pada abad ke-16, sebagai asal-usul memanaskan daging berulang-ulang hingga kering dan tahan lama ini diadopsi, khususnya di kalangan Minang.
“Kata rendang nyaris tidak disebut-sebut dalam berbagai literatur selama kurun abad ke-18,” tulis Fadly.
Baca juga: Pesona Nasi Goreng
Catatan yang menyingung randang adalah The History of Sumatra, terbit tahun 1783, yang William Marsden, seorang pegawai Kongsi Dagang Inggris (EIC) di Bengkulu. Marsden menceritakan di Sumatra, selain sayur-mayur, juga disuguhkan makanan dari daging kerbau, kambing, dan unggas. Hmpir semua dimasak menurut cara membuat kari di India yang disebut gulai. Yang membedakan, jika kari India lebih banyak bumbu tanpa santan, gulai menggunakan santan pekat ditambah bumbu curry powder yang terdiri dari cabe, kunyit, serai, kardamungu, dan bawang putih. Saat ini, bumbu semacam itu juga melekat pada randang.
Marsden juga menyebut akibat iklim Sumatra yang panas, daging tak dapat bertahan lama, kecuali diawetkan menjadi apa yang dia sebut dinding (dendeng). “Kelihatannya aneh bahwa sampai tingkat tertentu panas membantu pembusukan. Sebaliknya, bila tingkatan panas ditambah, panas membantu mencegah pembusukan.”
Fadly Rahman menyebut pengamatan Marsden mengenai dendeng agak kabur dan penjelasannya lebih mengarah pada cara khas pengolahan randang. “Mungkin Marsden tidak mencermati proses pengolahannya secara terperinci...,” tulis Fadly.
Baca juga: Menjejaki Sejarah Kuliner Nusantara
Menurut Fadly, popularitas randang terangkat berkat pemuatan resep-resep dalam suratkabar. Salah satunya Soenting Melajoe yang didirikan Datoe Soetan Maharadja pada 1912 dan dibaca luas oleh para perantau Minang. Surat-surat pun berdatangan, bukan hanya dari Minang tapi juga orang Eropa, yang mengirimkan uang tunai dan meminta dikirimkan randang. Bagi orang Minang, rendang sebagai lauk pilihan yang paling disukai untuk dijadikan bekal melakukan perjalanan jauh hingga ke mancanegara.
Orang-orang Minang yang berangkat haji pun menjadikan randang sebagai bekal. Mak Katik mengatakan, ada anekdot orangtua-orangtua di Minang menaruh randang dari hari raya haji ke hari raya haji. Mas Katik sendiri selalu membawa randang jika pergi ke luar negeri.
“Kunci randang awet dan tahan lama itu tidak pakai bawang merah dan kelapanya yang sudah tua, rekah seperti kopra,” ujarnya.
Filosofi Minang
Menjadi jawara makanan terlezat dunia berdasarkan survey CNN tahun 2011 adalah bukti sahih enaknya randang. Bukan perkara mudah untuk menghasilkan randang dengan dagingnya yang gurih, kuah yang begitu pekat, dan aroma yang begitu khas.
Dalam randang terbenam banyak filosofi Minang. Dalam proses pemasakannya yang lama tergambar kesabaran, disiplin, dan ketelatenan. Pasalnya, randang harus terus diaduk hingga memasuki fase menganggang.
Ali Basyar (77), tukang masak di Restoran Selamat yang terkenal dengan randangnya, menghabiskan waktu minimal empat jam untuk memasak randang. Dengan tekun dia mengaduk randang, sembari memastikan api dari kayu terus membara, hingga berminyak. Setelah minyak mengering, daging sudah empuk, maka menjadilah randang.
Menurut Mak Katik, proses mengaduk randang tidak boleh ditimba. Maknanya, dalam perkara di nagari, niniak mamak (pimpinan adat atau penghulu) bersama bundo kanduang (pemimpin dalam sistem matrilineal yang merujuk pada ibu) tak boleh menimba perundingan dan perkataan.
Baca juga: Makan Daging Masa Jawa Kuno
Dalam proses mengaduk, tukang masak lazimnya mendorong dari tengah lalu diraih ke tepian kuali besar. Cara demikian dimaknai dalam perundingan ada tarik-ulur dalam koridor logika. Maksudnya, setiap pertimbangan atau kebijakan yang hendak dikeluarkan, dikunyah-kunyah atau dipikirkan dahulu.
Dalam randang juga bercampur banyak rempah dan bumbu. Memasak untuk acara adat biasanya dikerjakan banyak orang. Maka di sana ada kandungan komunalisme dan egaliter.
Hari ini, randang tetap menjadi penghulu masakan Minang. Di meja-meja keluarga di Minang dan etalase-etalase rumah makan padang, randang adalah jenderalnya.
Mari menguyah randang!