TAK sulit menemukan frozen food atau makanan beku di toko swalayan. Buah, sayur, daging, hingga makanan olahan seperti pizza dan dimsum beku siap mengisi lemari pendingin di rumah-rumah. Selain memberi kemudahan bagi banyak orang untuk menghidangkan makanan, kebanyakan frozen food hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk proses memasak. Makanan beku pun mengubah kebiasaan makan orang-orang di masa kini.
Kendati bukan orang pertama yang melakukan teknik pembekuan untuk mengawetkan makanan, Clarence Birdseye, lulusan Armherst College yang menjadi naturalis lapangan dan ahli taksidermi, dikenal sebagai orang yang berperan besar dalam kemunculan frozen food yang dijual di pasaran.
Christopher Cumo dalam Foods That Changed History menyebut Birdseye tertarik melakukan eksperimen untuk memenuhi rasa ingin tahunya mengenai pembuatan makanan beku. “Birdseye melakukan eksperimennya sendiri, ia membekukan ikan hingga suhu -40°C. Saat mencairkannya kemudian, ia tidak dapat membedakan rasanya dengan ikan segar,” tulis Cumo.
Baca juga:
Sebelumnya, Birdseye menyimpulkan bahwa pembekuan ikan dengan cepat di Kutub Utara menghasilkan kristal es kecil yang membuat struktur sel, rasa, dan tekstur ikan tetap utuh. Hasil eksperimennya, di mana ia menduplikasi proses pembekuan kilat di laboratorium dengan menggunakan beberapa pelat logam, menunjukkan hasil yang sesuai dengan hipotesisnya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Birdseye dengan sekolompok investor terjun ke bisnis ikan beku. Sayangnya, bisnis ini tidak berhasil. Namun, alih-alih menyerah, pria kelahiran Brooklyn, New York, 9 Desember 1886 itu justru meminjam dana dari polis asuransi jiwanya dan mencoba lagi dengan mitra baru. Pada 1924, mereka membentuk General Seafoods Company di Gloucester, Massachusetts.
Menurut Andrew F. Smith dalam Eating History: Arts and Traditions of the Table, kontribusi Birdseye tidak terbatas pada proses pembekuan makanan laut, namun yang lebih penting adalah kemasan plastik tahan air yang ia rancang, yang memungkinkan makanan dibekukan lebih cepat dan menjaganya agar tidak hancur saat dicairkan. Birdseye juga memperjuangkan penggunaan makanan sesegar mungkin dalam proses pembekuan. Namun, masyarakat hanya mengetahui sedikit tentang makanan beku pada saat itu, dan butuh waktu bertahun-tahun sebelum lemari es rumahan menjadi hal umum.
“Sebagian besar toko juga tidak dilengkapi dengan freezer, dan Birdseye tidak dapat membangun sistem distribusi untuk produknya. Ia mendekati perusahaan Postum, pembuatan Grape-Nuts, dan Bran Flakes. Mereka mulai bekerja sama dengan Birdseye dan melihat potensi makanan beku. Perusahaan Postum, yang berganti nama menjadi General Foods, mengajukan penawaran kepada Birdseye. Pada Juni 1929, beberapa bulan sebelum jatuhnya pasar saham pada Oktober yang menandai dimulainya Depresi Besar, Birdseye menjual General Seafoods Company –beserta 168 patennya– kepada General Foods seharga $22 juta,” tulis Smith.
Ketika makanan beku hadir pada 1930-an, tidak langsung sukses. Toko-toko kelontong tidak mau membeli freezer, dan tidak banyak keluarga yang memiliki lemari pendingin. Sebelum Perang Dunia II, produk beku umumnya buah-buahan dan sayuran. Selama perang, makanan kaleng yang tidak mudah rusak dikirim untuk membantu upaya perang, sehingga meninggalkan banyak buah dan sayuran beku di rumah. Akibatnya, banyak orang Amerika pertama kali terpapar produk beku pada periode ini.
Baca juga:
Jejak Eropa dalam Kuliner Nusantara
Menurut Lauren Gust dalam “Defrosting Dinner: The Evolution of Frozen Meals in America,” termuat di Intersect, Volume 4 Number 1 (2011), pada masa perang ini pula, makanan beku komersial pertama kali diperkenalkan. Naval Air Transport Service sering melakukan perjalanan jauh dengan penerbangan trans-Atlantik, yang membutuhkan layanan makanan dalam penerbangan. Awalnya, makanan segar dibawa ke dalam pesawat dan disiapkan dalam penerbangan, tetapi dengan cepat diketahui bahwa makanan beku yang telah dimasak sebelumnya jauh lebih mudah diolah karena hanya perlu dipanaskan. Maxson Food Systems dikontrak untuk memproduksi makanan beku ini, yang terdiri dari seporsi daging dan dua sayuran. Setelah perang, perusahaan tersebut mencoba memasarkan makanan ini kepada masyarakat dengan sedikit keberhasilan.
Makanan beku menjadi lebih menarik bagi masyarakat ketika pada 1953 Gerry Thomas, seorang eksekutif perusahaan Swanson, melakukan kunjungan penting ke distributor Swanson yang bertanggung jawab menyiapkan makanan untuk penerbangan ke luar negeri. Thomas memperhatikan nampan alumunium tiga kompartemen yang digunakan untuk memanaskan makanan dalam penerbangan dan mendapatkan ide untuk mengisinya dengan kalkun beku dan lauk pauk untuk disajikan di rumah. Thomas menyampaikan idenya kepada Swanson bersaudara dan sebuah prototipe segera diproduksi; terdiri dari nampan alumunium yang terbagi dengan kompartemen besar untuk hidangan kalkun dan dua bagian yang lebih kecil berisi kentang tumbuk dan kacang polong.
“Mengingat kegagalan sebelumnya dari makanan beku Maxson Food dan konsumsi kalkun yang umumnya bersifat musiman, santapan makan malam Swanson merupakan usaha yang berisiko. Terlepas dari respons konsumen yang sebelumnya tidak antusias terhadap makanan beku dan tantangan terkait dengan pemrosesan, pemasaran, dan penyimpanan produk ini, ‘Television Dinner’ atau menu makan malam yang menyajikan makanan beku dari Swanson (yang kemudian disingkat menjadi TV Dinner) terbukti berhasil,” tulis Gust.
Uji coba pemasaran Swanson’s Television Dinners terbukti berhasil. Perusahaan memperluas produknya dengan menyertakan hidangan utama ayam dan daging sapi serta lauk pauk yang berbeda. Swanson bersaudara berinvestasi besar-besaran dalam promosi. Makan malam baru ini secara resmi diluncurkan untuk para editor makanan pada Oktober 1953, dan dua bulan kemudian produk ini masuk ke pasar nasional. Pada 1956, perusahaan Swanson telah menjual 13 juta TV Dinner setiap tahunnya.
“Prestasi fenomenal ini sebagian dapat dikaitkan dengan nama produknya, TV Dinner, yang menunjukkan kepada pembeli bahwa makanan tersebut dimaksudkan untuk dimakan di depan televisi,” tulis Gust.
Baca juga:
Periode pasca perang memunculkan budaya konsumen yang berpusat pada anak-anak dan makanan. Selama periode ini, pendapatan meningkat dan orang Amerika mulai menghabiskan lebih banyak uang untuk produk makanan olahan. Meningkatnya popularitas makanan beku juga dipengaruhi oleh perubahan aktivitas dan status wanita.
Selama Perang Dunia II, wanita bekerja di industri untuk menggantikan pria yang bertugas di medan perang, sehingga membutuhkan “kenyamanan memasak”. Setelah perang, perempuan menyadari bahwa waktu yang mereka hemat untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga dapat digunakan untuk pengembangan diri. Namun, kecenderungan ini berhadapan dengan anggapan bahwa perempuan tidak boleh mengabaikan tugas-tugas domestiknya terhadap keluarga. Perempuan yang bekerja di luar rumah juga diharapakan tetap melakukan tugas-tugas rumah tangga; makan malam beku yang dikemas dalam karton sekali pakai menjadi solusi yang tepat setelah seharian bekerja.
Kendati berhasil menarik minat masyarakat, makanan beku juga menuai banyak kritik. Menurut Gust, penulis Amerika Philip Wylie adalah tokoh terkemuka dalam perdebatan ini, mengkritik metode memasak “dari nol” di masa lalu. Menurutnya, proses memasak yang baru ini membuat “selera makan tidak terpuaskan” dengan mengorbankan rasa dan kualitas makanan. Sementara itu, penulis lain membela makanan beku, dengan menyebut bahwa rasa atau tekstur yang berubah dan membuat makanan menjadi kurang nikmat adalah hasil dari proses pengolahan yang tidak tepat.
“Beberapa kritikus juga menyatakan bahwa industri makanan beku terlibat dalam ‘homogenisasi (penyeragaman, red.) nilai-nilai budaya Amerika dan pembubaran otoritas sosial tradisional’. Kemudahan memasak berarti bahwa setiap anggota keluarga dapat menyantap makanan yang berbeda pada waktu yang sama –atau berbeda, yang mulai mengikis homogenitas makanan rumahan tradisional,” tulis Gust.
Selain itu, menurut Smith, makan malam yang dibekukan juga memungkinkan setiap anggota keluarga untuk menyantap makanan yang berbeda. Hal ini semakin mengikis percakapan dan komunikasi keluarga, terutama ketika TV menyala. Tradisi makan malam bersama keluarga di meja makan mulai menghilang pada akhir 1950-an, sebagian karena makan malam yang dibekukan.
Baca juga:
Amerika, Hamburger, dan Perang Dunia I
“Saat ini, rata-rata keluarga Amerika makan kurang dari lima kali dalam seminggu. Berakhirnya acara makan bersama keluarga juga berarti perubahan dalam ‘hubungan keluarga, identitas budaya, keragaman etnis’, yang secara tradisional terkait dengan menyiapkan dan mengonsumsi makanan bersama,” tulis Smith.
Meskipun mendapat banyak kritik, industri makanan beku terus berkembang melalui iklan dan pengenalan produk baru. Beberapa dekade berikutnya, banyak tren baru bermunculan. Masakan etnis yang dibekukan menjadi bisnis besar karena sejumlah perusahaan mulai menawarkan cita rasa rumah kepada komunitas imigran yang terus bertambah.
Di sisi lain, menurut Matt McMillen dalam The Oxford Companion to American Food and Drink, makanan untuk konsumen yang sadar akan berat badan juga mulai memasuki pasar. Pada 1967, diperkenalkannya microwave berukuran lebih kecil dari oven semakin menegaskan masa depan makanan beku. Frozen food, yang selama ini dipasarkan sebagai makanan praktis, akhirnya dipadukan dengan teknologi yang membuat klaim tersebut tak terbantahkan.
“Pada 6 Maret 1984, ulang tahun ke lima puluh empat penjualan ritel pertama makanan beku, Presiden Ronald Reagan mendeklarasikan Hari Makanan Beku Nasional sebagai pengakuan atas kontribusi signifikan yang telah diberikan industri makanan beku terhadap kesejahteraan gizi rakyat Amerika,” tulis McMillen.*