Setelah menandatangani surat penahanan yang diwarnai insiden “pulpen terbang”, Mayor Jenderal Moersjid bergegas meninggalkan Markas Besar Angkatan Darat. Sebelum berangkat ke rumah tahanan, Moersjid meminta izin Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Umar Wirahadukusumah –perwira yang menyodorkan surat penahanan– untuk pulang ke rumah. Tujuan kepulangan itu hanya sekedar ambil pakaian dan pamitan dengan keluarga.
Hari itu, 8 Desember 1969. Aktivitas di kediaman Moersjid justru sedang menyambut hari sukacita. Dua hari lagi adalah hari ulang tahun Moersjid.
“Saat itu Ibu sedang mempersiapkan masakan untuk tanggal 10,” kata Siddharta, putra ke-4 Moersjid, kepada Historia.id.
Baca juga: Moersjid, Jenderal yang Nyaris Menjadi Satpam
Aneka masakan untuk hari raya keluarga itu disiapkan oleh Siti Rachma, sang nyonya rumah. Salah satu menu istimewa untuk hajatan tersebut adalah Chicken Kiev. Secara sederhana ia sama seperti ayam goreng mentega. Namun, mentega yang mengisi bagian dalamnya menggunakan mentega dingin yang sudah diramu bumbu rempah. Menu ini disebut pula “daging potong ala Kiev”. Entah sejak kapan Moersjid doyan makanan khas Eropa Timur ini.
“Mungkin belajar saat di Manila (ketika menjadi duta besar RI untuk Filipina). Atau ayah pernah coba waktu pergi ke Rusia,” sambung Siddharta. Kudapan lain yang disiapkan Siti Rachma adalah kue lapis legit yang dimasak dengan arang.
Setiba di rumah, Moersjid tidak menghabiskan waktu lama. Sebentar dia bercengkrama dengan Siti Racmah di dalam kamar, menjelaskan apa yang terjadi. Begitu keluar dari kamar, Moersjid sudah menenteng sekoper pakaian. Makanan lezat yang sedang disiapkan di rumah itu mendadak berubah rasa menjadi asin. Bukan karena terlalu banyak garam tapi ia “asin” oleh sebab air mata Siti Rachma yang menitik kala melepas kepergian Moersjid.
Baca juga: Kekecewaan Istri Seorang Jenderal: Kisah Siti Rachma Moersjid
Moersjid beranjak meninggalkan rumahnya di bilangan Senayan menuju Rumah Tahanan Militer Boedi Oetomo. Tanpa pengawal, ia hanya ditemani seorang pengemudi sipil. Sebelum menyerahkan diri, Moersjid singgah sebentar ke Markas Corps Polisi Militer. Sepucuk revolver miliknya dia serahkan terlebih dahulu. Begitulah tutur Siddharta, ayahnya “cek in” sendiri ke rumah tahanan.
Pada 10 Desember, hari yang ditunggu tiba. Moersjid resmi menjadi penguni rumah tahanan. Hari yang seyogianya berbahagia itu berganti menjadi ratapan sekeluarga. Tidak ada pesta ulang tahun, acara tiup lilin, apalagi makanan enak-enak untuk disantap.
“Kami tidak jadi makan Chicken Kiev yang sedang disiapkan oleh Ibu. Padahal itu makanan kesenangan ayah. Sejak itu, Ibu tidak pernah mau lagi bikin Chicken Kiev, karena ada bad memory,” kenang Siddharta.
Empat tahun lamanya Moersjid ditahan tanpa diadili. Pada 1973, Moersjid dibebaskan sekaligus namanya direhabilitasi. Namun, sehari sesudah bebas, keluar keputusan Moersjid dipensiunkan dalam pangkat mayor jenderal pada usia 48 tahun.
Baca juga: Moersjid, Jenderal Pemarah yang Disegani Sukarno
Sepanjang hayatnya kemudian, tanda tanya terus menggelayut di benak Moersjid. Mengapa dirinya difitnah, dimasukkan penjara selama empat tahun tanpa diadili dan langsung dipensiunkan pada usia 48 tahun.
“Sampai kematian menjemput, dia tetap merasa difitnah, dituduh mendukung Bung Karno dan lain-lainnya lagi,” tulis Julius Pour dalam Kompas, 25 Agustus 2008.