DI banyak tempat di ruang publik, pemisahan toilet berdasarkan jenis kelamin telah menjadi hal umum. Fasilitas umum ini ditandai dengan gambar, simbol, warna atau kata dalam berbagai bahasa. Misalnya, pria dan wanita dalam bahasa Indonesia atau ladies dan gent dalam bahasa Inggris.
Sheila L. Cavanagh dalam Queering Bathrooms: Gender, Sexuality, and the Hygienic Imagination menyebut toilet umum yang terpisah berdasarkan gender telah muncul jauh sebelum abad ke-19, tepatnya tahun 1739 di Paris. Toilet tersebut dibuat di sebuah restoran yang kerap menjadi tempat penyelenggaraan pesta dansa.
“Penyelenggara pesta menyediakan lemari dengan Garderrobes pour les hommes, dengan petugas kamar mandi di bagian depan dan penjaga di bagian belakang, untuk memastikan pemisahan yang tepat berdasarkan jenis kelamin. Pemisahan ini, yang pertama kali diterapkan oleh kalangan kelas atas Paris, dimaksudkan untuk menonjolkan perbedaan seksual dan memproyeksikan perbedaannya ke ruang publik,” tulis Cavanagh. Dengan demikian, desain toilet yang dipisahkan berdasarkan gender di ruang publik awalnya dimaksudkan untuk menunjukkan status kelas dan kehormatan.
Baca juga:
Toilet umum telah muncul pada abad ke-18. Namun, kesadaran akan pentingnya toilet yang dipisahkan berdasarkan gender baru muncul pada abad ke-19, seiring meningkatnya pembahasan tentang urbanisasi, reformasi sanitasi, privatisasi fungsi-fungsi tubuh, dan ideologi gender yang terpisah.
Menurut Olga Gershenson dan Barbara Penner dalam “Introduction: The Private Life of Public Conveniences,” termuat di Ladies and Gents: Public Toilets and Gender, sejak tahun 1840-an, kekhawatiran akan kesehatan masyarakat membuat isu penyediaan toilet umum menjadi sangat penting secara praktis dan moral. Akan tetapi, sebagian besar fasilitas umum, termasuk toilet publik, hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Sementara perhatian terhadap toilet untuk perempuan baru tumbuh pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
“Kurangnya ‘tempat persinggahan’ secara signifikan membatasi mobilitas perempuan di kota. […] Sebagai tanggapan, Ladies’ Sanitary Association dan anggota masyarakat yang peduli terhadap isu ini mulai mengampanyekan pembangunan fasilitas untuk wanita di tempat-tempat yang ramai. Salah satu lokasi yang dipilih adalah persimpangan Park Street dan Camden High Street di London Vestry of St. Pancras,” tulis Gershenson dan Penner.
Di persimpangan itulah pemerintah setempat akan membangun toilet wanita. Sayangnya, warga dan pemilik usaha di sekitar tempat tersebut menolak keras. Tidak hanya menolak lewat kata-kata, mereka juga merusak toilet yang dibangun dari kayu itu dengan dalih “mengganggu lalu lintas”.
Pada 5 September 1900, sebuah perwakilan menghadap pemerintah setempat untuk menuntut penghentian pembangunan toilet wanita. Mereka mengeluhkan toilet ini akan menurunkan nilai properti dan menentang dengan alasan sebagian besar wanita yang melewati persimpangan itu tinggal di dekatnya dan bisa buang air di rumah.
“Salah satu anggota mengakui pada akhirnya bahwa ia ‘tidak ingin ada tempat seperti itu di bawah jendelanya’. Sementara yang lain menyebut keberadaan toilet wanita sebagai ‘sesuatu yang memalukan’. Akibatnya, meskipun ada kegigihan dari satu-satunya anggota perempuan dalam pemerintahan dan advokasi dari anggota laki-laki lainnya, George Bernard Shaw, toilet untuk wanita tak jadi didirikan. Baru pada Desember 1905, setelah lima tahun mengulur-ulur waktu, keputusan untuk membangun kamar mandi khusus wanita di Park Street dibuat,” tulis Gershenson dan Penner.
Baca juga:
Pekerjaan Aneh yang Diimpikan Bangsawan Kerajaan Inggris
Di era Victoria, penolakan terhadap pembangunan toilet umum untuk wanita didasarkan pada norma kesopanan dan moralitas yang berlaku di masyarakat, khususnya mereka yang berasal dari kelompok atas. Memberikan persetujuan terhadap pembangunan toilet wanita sama saja menyetujui kehadiran perempuan di jalanan, yang mana pada masa itu perempuan dipandang sebagai sosok yang statis dan domestik. Selain itu, “karena tubuh perempuan kerap dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat provokatif, toilet untuk wanita membangkitkan momok seksualitas yang mencakup serangkaian isu yang samar-samar terkait dengan perilaku seksual itu sendiri.”
“Dengan membuat tubuh perempuan dan fungsi-fungsi ‘privat’ mereka terlihat di depan umum, toilet mengancam untuk mengubah penggunanya menjadi ‘perempuan publik’. […] Kelas juga memainkan peran penting ketika muncul kekhawatiran bahwa toilet akan menjadi arena di mana para wanita dari kelas menengah atas, yang seringkali keluar rumah untuk berbelanja secara bebas, bercampur dengan para pekerja pabrik atau gadis-gadis penjual bunga –dengan anggapan, tentu saja, bahwa mereka dapat membayar biaya yang sangat mahal (dan juga kontroversial) untuk fasilitas toilet umum,” tulis Gershenson dan Penner.
Meski begitu, revolusi industri yang berujung pada meningkatnya jumlah buruh wanita maupun laki-laki di perkotaan berperan dalam kehadiran toilet umum yang terpisah gender. Terry S. Kogan, profesor hukum yang melakukan penelitian ekstensif terkait sejarah pemisahan jenis kelamin di toilet umum, menulis dalam “Sex Separation: The Cure-All for Victorian Social Anxiety”, termuat di Toilet: Public Restroom and the Politics of Sharing, revolusi industri pada akhirnya melahirkan kecemasan sosial atas kesehatan masyarakat. Di Amerika Serikat, misalnya, gerakan kesehatan masyarakat sebagian besar disebabkan oleh epidemi kolera dan kematian selama Perang Saudara. Sebelum itu, penyakit dianggap sebagai “momok bagi orang berdosa”. Hanya setelah pengembangan teori kuman penyakit pasca perang, orang Amerika mulai memahami bahwa penyakit tidak disebabkan oleh kegagalan moral manusia, tetapi oleh buruknya sanitasi.
Revolusi industri mendorong banyak wanita keluar rumah. Mereka menjadi semakin aktif di ruang publik. Oleh karena itu, sejak pertengahan abad ke-19, banyak arsitek dan perencana kota mulai menciptakan ruang khusus wanita di ruang publik, yang seringkali mencerminkan detail dekoratif rumah, untuk melindungi kaum hawa. Ruang-ruang khusus itu dibuat di gerbong kereta api, toserba, hotel, restoran, bank, kantor pos, perpustakaan, hingga toilet umum.
Menurut Kogan, kendati kehadiran ruang khusus perempuan yang didesain dengan detail dekoratif rumah itu menjadi bukti pengakuan atas keberadaan perempuan yang semakin meningkat di ruang publik, dasar kemunculan ruangan ini justru memperkuat pesan budaya bahwa, sebagai jenis kelamin yang lebih lemah, perempuan membutuhkan tempat perlindungan khusus seperti rumah ketika mereka beraktivitas di ranah publik.
“Jika memaksa perempuan kembali ke rumah bukanlah kemungkinan yang realistis, para perencana memilih alternatif untuk menciptakan kembali aspek-aspek ruang domestik dalam desain arsitektur publik,” tulis Kogan.
Baca juga:
Peradaban dari Jamban ke Jamban
Pada awal abad ke-20, toilet yang terpisah berdasarkan gender di tempat kerja mulai menyebar di Eropa dan Amerika Utara. Di medio 1920-an, sebagian besar negara bagian di Amerika Serikat telah mengesahkan undang-undang untuk memastikan adanya kamar mandi untuk perempuan di tempat kerja.
Durba Biswas menulis dalam “Access to Water, Sanitation, and Hygiene for All”, termuat di Routledge Handbook of Gender and Water Governance, ketika toilet untuk wanita menjadi populer di banyak tempat di wilayah Utara, gagasan tentang ruang privat perempuan yang layak diekspor ke berbagai negara jajahan di wilayah Selatan. Masuknya kamar mandi Barat ke wilayah koloni memperluas gagasan tentang ruang toilet, di mana tubuh dipisahkan berdasarkan jenis kelamin dan ras. Pada era pasca kolonial, ketika negara-negara baru membangun konstitusi dan kerangka hukum mereka sendiri, pemisahan kamar mandi berdasarkan ras dan kelas dianggap telah ketinggalan zaman, sementara pemisahan berdasarkan jenis kelamin tetap menjadi kebiasaan.
Kini, pandangan masyarakat terhadap perempuan di sebagian besar negara telah berubah. Perempuan tak lagi dipandang sebagai kaum lemah dan kesetaraan perempuan dengan laki-laki terus digaungkan. Namun, pembahasan seputar toilet umum yang dipisahkan gender terus terbuka tapi bergeser. Akses kamar mandi yang netral secara gender menjadi isu kontemporer yang ramai diperbincangkan seiring meningkatnya kesadaran untuk mengakui kelompok minoritas.
“Ketika kelompok transgender dan orang-orang dengan variasi gender lainnya bergabung dalam antrean untuk menggunakan toilet, kecemasan tentang gender dan seksualitas segera muncul. […] Di Amerika, isu ini tak hanya menjadi perdebatan di lingkungan kampus, tetapi juga menjadi pembahasan luas di luar kampus. Keberatan utama terhadap kamar mandi uniseks didasarkan pada moralitas publik. Para penentang khawatir bahwa kamar mandi uniseks dapat merusak pembagian gender tradisional,” tulis Gershenson dan Penner.
Kendati menuai pro dan kontra, pembahasan mengenai pentingnya toilet netral gender di sejumlah negara, khususnya Amerika, pada akhirnya mendorong didirikannya kamar mandi uniseks di ruang publik untuk mengakomodasi kelompok minoritas.*