Stasiun Kroya salah satu stasiun kereta api terpadat di Pulau Jawa. Ia terletak di Desa Bajing, Kecamatan Kroya, Cilacap, Jawa Tengah. Letaknya yang terletak di tengah Jawa berperan menghubungkan jalur kereta api lintas tengah dan selatan Pulau Jawa. Stasiun ini telah beroperasi sejak zaman kolonial Belanda.
Berdasarkan laporan yang diterbitkan Staatsspoorwegen, perusahaan pemerintah yang menangani jalur kereta api dan trem di Hindia Belanda, dalam Verslag der Staatsspoor-en-Tramwegen in Nederlandsch-Indië 1921-1932, Stasiun Kroya termasuk salah satu stasiun kereta api tertua di Jawa. Pembangunannya bersamaan dengan pembangunan jalur kereta api Cilacap-Kroya-Kutoarjo-Yogyakarta pada tanggal 20 Juli 1887.
Pada 1 Juli 1916, jalur kereta api Prupuk-Kroya dibangun untuk menjaring penumpang dari wilayah Cirebon. Pada 1 November 1929, Staatsspoorwegen meresmikan kereta api Eendaagsche Express yang melayani rute Batavia-Surabaya. Stasiun Kroya kemudian difungsikan sebagai tempat penggabungan rangkaian Eendaagsche Express dengan pengumpannya yang datang dari Bandung.
Baca juga: Mengenang Kereta Api Zaman Kolonial
Seiring waktu, rute jalur kereta api dari dan melalui Stasiun Kroya semakin meluas menuju ke kota-kota besar di Pulau Jawa. Pada jalur selatan, Stasiun Kroya menghubungkan Bandung dengan Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, dan Malang. Sementara pada lintas tengah, menghubungkan Jakarta dengan Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, dan Malang. Tak pelak, stasiun ini memiliki tingkat lalu lintas kereta api terpadat di Daerah Operasi dan Divisi Regional Kereta Api Indonesia (Daop) V Purwokerto.
Sekali waktu, terjadilah peristiwa yang menghebohkan di Stasiun Kroya. Pada hari Sabtu, 31 Januari 1959, suasana stasiun pada pagi hari masih tenang seperti biasa. Seketika perhatian orang-orang teralih kepada seorang laki-laki yang tergopoh-gopoh keluar dari toilet stasiun.
Si pria berusaha mengejar kereta api yang baru saja berangkat. Tapi, gelagatnya agak kurang wajar. Kedua belah tangannya tampak masih repot memegang celana yang belum terkancing. Dalam keadaan demikian, dia masih berupaya meraih gerbong terakhir. Usahanya sia-sia belaka.
Baca juga: Serba-serbi Penjaga Persilangan Kereta Api
“Sudahlah, sudah,” orang-orang coba menenangkannya. “Jangan memburu-buru, nanti malah celaka kelindas sepur.”
Si pria belum rela dirinya ditinggal kereta. Dengan nafas terengah-engah, dia menggerutu sekonyong-konyong. Rupanya kawannya sudah masuk duluan ke dalam kereta. Itulah yang membuat hatinya gelisah gundah gulana.
“Dia terbawa dalam sepur itu, padahal tidak punya karcis,” kata si pria.
“Lo, kok bisa begitu?” tanya orang-orang.
“Begini. Tadi saya datang ke stasiun diantar teman saya itu. Karena saya mau berak, teman itu saya suruh beset (menduduki) tempat duduk di dalam gerbong. Sedang saya berak dalam kakus, saya dengar sepur sudah berangkat,” tuturnya.
Baca juga: Tahi Gajah Pangeran Kamboja
Orang-orang tersenyum geli mendengar keluhan si pria. Tapi, mereka coba menghiburnya. “Tunggulah saja sepur nanti siang. Mari kita duduk dulu.”
“Mana bisa saya duduk,” sahut laki-laki itu.
“Lo, bagaimana?”
“Habis, saya belum...belum...belum cebok,” jawabnya tersipu malu.
“Aaaii,” seru orang-orang serentak, “Pantas baunya begini macam. Sana tunggu duduk di kakus saja!” hardik salah satu di antara mereka.
Baca juga: Peradaban dari Jamban ke Jamban
Demikian dikisahkan dalam koran pagi Harian Umum, 4 Februari 1959. Tak disebutkan siapa nama penumpang malang itu. Namun, dari kejadian itu kiranya memunculkan pesan kepada khalayak yang masih berlaku bahkan sampai saat ini, supaya jangan makan banyak-banyak jelang bepergian jarak jauh, khususnya bagi pengguna kereta api. Kalau kebelet, bisa repot urusannya.