SETELAH mengarungi lautan selama beberapa pekan, Frank Lenz, pemuda Pittsburg yang tengah berkeliling dunia dengan sepeda dan membawa kamera, tiba di Yokohama, Jepang, pada pertengahan November 1892. Lenz, yang telah mencari informasi tentang sejarah dan budaya Jepang sebelum memulai perjalanan, sangat ingin menjelajahi Negeri Sakura.
Selama dua hari di Yokohama, Lenz berkeliling ke toko-toko barang antik, kuil, hingga berputar di sekitar kota untuk mengagumi kanal-kanal yang menawan dengan beragam perahu berbentuk tidak biasa. Pesepeda kelahiran Philadelphia, 15 Februari 1867 itu kemudian melanjutkan perjalanan ke Tokyo. Meski terpesona dengan pemandangan dan modernitas di ibu kota Jepang itu, Lenz cukup terkejut dengan kehidupan orang-orang di sana, khususnya terkait dengan hiburan malam.
“Bangunan-bangunan di kota ini besar dan luas. Pada malam hari, sepuluh hingga dua puluh ‘gadis-gadis cantik’ duduk di depan mata di pinggir jalan. Jendela-jendelanya tidak memiliki kaca, hanya batang-batang kayu, sehingga orang yang lewat dapat berbicara sesuka hati dengan para penghuninya. Pakaian mereka terlihat luar biasa dan kebersihan serta perawatan tubuh dan rambutnya pun sangat diperhatikan,” tulis Lenz sebagaimana dikutip sejarawan David V. Herlihy dalam The Lost Cyclist.
Baca juga:
Frank Lenz, Pesepeda Amerika yang Hilang Ketika Berkeliling Dunia (Bagian I)
Kendati sempat mengalami culture shock karena perbedaan budaya, Lenz dengan cepat menyesuaikan diri dengan kehidupan Jepang. Ia menyantap nasi, telur, dan ikan; melepas sepatu di dalam ruangan dan berlutut di lantai saat bersosialisasi. Di penginapan, ia mandi bersama tamu. Kehadiran Lenz di Jepang menarik perhatian media. Surat kabar The Risin Sun merangkum kunjungannya ke Yokohama hingga Nagasaki.
Setelah beberapa pekan di Jepang, Lenz melanjutkan perjalanan ke daratan Cina. Ia tiba di Shanghai pada Desember 1892. Selama seminggu di Shanghai, ia mempersiapkan perjalanan ke Burma dengan meminta nasihat dan arahan dari para misionaris, diplomat, dan operator telegraf tentang rute perjalanan. Beberapa di antara mereka meminta Lenz tidak melanjutkan perjalanan karena berbahaya. Namun, pesepeda keras kepala itu maju terus.
“Awalnya Lenz berencana mengikuti rute yang lebih selatan ke Bhamo, mirip dengan rute yang diambil oleh Augustus Margary (diplomat Inggris yang dibunuh pada 1874 dalam perjalanan kembali ke Shanghai). Namun, para operator telegraf membujuk Lenz untuk mengikuti jalur mereka. Meski rute ini menambah jarak seribu mil, rute tersebut telah ditandai dengan lebih baik. Lenz dapat menunjukkan surat pengantarnya dan menginap di stasiun-stasiun di sepanjang perjalanan,” tulis Herlihy.
Baca juga:
Apa yang dikhawatirkan terbukti benar. Perjalanan tersebut sangat berbahaya. Dalam catatannya, Lenz melaporkan beberapa kali berada dalam bahaya karena sambutan tidak bersahabat dari penduduk lokal. Suatu kali, ketika tengah mengayuh sepeda di pedesaan, Lenz diteriaki penduduk lokal. Ia memberikan isyarat tidak ingin berkelahi. Namun, karena terkendala bahasa, Lenz tak dapat menjelaskan maksud dan tujuannya. Akibatnya, ia diserang penduduk lokal yang merasa terancam akan kehadiran Lenz dan sepedanya.
Lenz terpaksa mengeluarkan pistol dan melepaskan beberapa kali tembakan ke atas. Penduduk lokal yang berkerumun itu mundur beberapa langkah, sehingga Lenz dapat bergegas mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi. Namun, teriakan penduduk lokal masih terus terdengar. Melihat Lenz mengayuh sepeda dengan begitu cepat seperti akan terbang membuat penduduk lokal semakin marah karena menganggapnya sebagai makhluk jahat yang turun dari langit.
Lenz kemudian dihadapkan pada tanggul setinggi empat puluh kaki, yang puncaknya dipenuhi ratusan penduduk lokal yang menunggu kedatangannya dengan cangkul dan bambu. Ia terkepung. Serangan demi serangan membuatnya memar cukup parah di bagian telinga. Sepeda dan kamera juga menjadi sasaran. Di tengah keadaan yang nyaris merenggut nyawa itu, seorang pria Cina yang tampak dihormati meminta massa untuk berhenti.
Baca juga:
“Ketika itulah naluri saya mengatakan bahwa saya harus membuat orang-orang ini tertawa. Jadi saya mulai menjelaskan dengan gerakan tubuh. Saya mulai bermain-main dan terjatuh dari sepeda. Saya membonceng salah satu dari mereka dan dengan cekatan memberinya tumpangan. Kemarahan menghilang dari wajah mereka seperti sulap. Ketegangan berganti dengan senyuman, dan senyuman berganti dengan tawa. Sementara itu, kerumunan orang yang telah mengejar saya muncul di belakang, dan segera bergabung dalam keriuhan. Dengan demikian, saya mengubah orang-orang yang sebelumnya hendak membunuh saya menjadi penonton yang mengagumi, dan saat ini memohon, dan diizinkan, untuk melanjutkan perjalanan tanpa gangguan,” tulis Lenz dalam suratnya yang dikirim ke rumah.
Setelah melalui perjalanan berat melintasi daratan Cina selama beberapa bulan, Lenz akhirnya tiba di Burma. Ia tinggal lebih lama karena terserang malaria yang membuatnya harus menunda perjalanan. Selama berada di Burma, Lenz mendapat sambutan yang ramah dari penduduk, khususnya penduduk Eropa. Ia bertemu dengan anggota klub sepeda yang membawanya berkeliling mengunjungi berbagai landmark kota.
Lenz memulai perjalanan menuju India pada 11 September 1893 dengan kapal menuju Kalkuta. Setibanya di India, ia segera memperbaiki sepeda dan kamera. Setelah beres, Lenz melanjutkan perjalanan dan mengunjungi berbagai tempat. Di Agra, ia terpesona oleh keindahan Taj Mahal yang megah dengan taman-taman yang rimbun.
Pada awal November 1893, Lenz mencapai Delhi. Selama empat hari tinggal di sana, ia menjelajahi berbagai bangunan bersejarah. Setelah itu, ia sampai di Lahore, mengunjungi benteng tua, masjid, tembok kota, gudang senjata kuno, dan sesekali berhenti untuk melihat pertunjukan pawang ular dan pesulap jalanan.
Baca juga:
Roda Kehidupan Legenda Balap Sepeda
Dari India, Lenz mengendarai sepeda melewati Iran untuk mencapai Teheran sebelum musim panas tahun 1894. Rutenya meliputi beberapa jalur pegunungan. Sejarawan Duncan R. Jamieson menulis dalam The Self-Propelled Voyager: How the Cycle Revolutionized Travel, di tengah perjalanan Lenz melewati sebuah koloni penderita kusta. Teriakan para penduduknya yang meminta sedekah membuatnya melemparkan segenggam koin dan membiarkan mereka bertarung di tengah debu. Di Isfahan, ia berkuda untuk melihat menara-menara yang bergoyang. Lenz sempat memanjat salah satu menara, namun ketika bangunan itu mulai bergoyang, ia segera menyesali keputusannya dan turun dari bangunan tersebut.
Tak lama setelah malam tiba pada 9 Mei 1894, Lenz tiba di desa Kurdi Chigani. Dalam keadaan sehat dan bersemangat, ia berbicara dengan penduduk desa. Keesokan paginya, Lenz berangkat menuju Erzurum, sebuah kota di Turki. Lenz bersemangat karena hari-hari berat dari perjalanan keliling dunia telah berhasil dilalui. Ia bersiap menuju Eropa, bertemu kawannya, Charles Petticord dan bersama-sama menyelesaikan tur keliling dunia hingga kembali ke Amerika dengan kapal laut. Namun, setelah ia melanjutkan perjalanan menuju Erzurum, tak ada kabar mengenai keberadaannya yang diterima Outing Magazine maupun keluarga dan rekan-rekannya.
“Para sponsornya menolak untuk percaya pada kemungkinan terburuk. Penyakit atau cedera bisa saja membuat Lenz terisolasi di sebuah desa kecil di Iran. Ban yang bocor akan memperlambat perjalanannya selama beberapa waktu. Mungkin dia mengambil rute yang berbeda atau mengubah rencana perjalanannya untuk mengunjungi suatu lokasi yang dirahasiakan. Bahkan ketika kebisuan Lenz telah berlangsung lama, sponsornya mengonfirmasi bahwa ia mungkin saja hilang dan tidak tersesat. Sementara gagasan bahwa ia telah meninggal di tengah perjalanan dihindari. Mungkin seseorang telah menculik dan menahannya untuk mendapatkan uang tebusan,” tulis Jamieson.
Kekhawatiran akan nasib Lenz membuat keluarga dan teman-temannya menghubungi pemerintah AS untuk meminta diadakan penyelidikan. Outing Magazine, media yang bekerjasama dengan Lenz untuk tur keliling dunia, didesak untuk segera mengambil tindakan dan melacak keberadaan Lenz.
Baca juga:
Menurut Iain Spragg dalam Cycling’s Strangest Tales, seorang pesepeda Amerika terkenal yang sebelumnya juga pernah melakukan tur keliling dunia, William Sachtleben ditugaskan untuk menyelidiki hilangnya Lenz. Ia berlayar ke Eropa pada Maret 1895 dan setelah memalsukan sejumlah surat agar bisa masuk ke Kurdistan, Sachtleben mulai mengumpulkan berbagai informasi.
Berdasarkan hasil penyelidikannya, Sachtleben mendapat informasi dari penduduk setempat bahwa di tengah perjalanan, Lenz tidak sengaja telah menghina seorang pemimpin suku Kurdi. Para pengikutnya yang tidak suka menyergap dan membunuhnya. Jenazah Lenz dikubur di tepi sungai. Perhatian besar atas kasus hilangnya Lenz membuat pihak berwenang Turki turun tangan. Pemimpin suku yang disebut menjadi penyebab kematian Lenz didakwa dengan tuduhan pembunuhan dan dihukum.
“Namun hasil itu lebih seperti kemenangan semu, sebab sang pemimpin suku telah melarikan diri dari daerah tersebut. Pihak Amerika sendiri menolak untuk melepaskan kasus ini, dan setelah delapan tahun mendapat tekanan diplomatik, pemerintah Turki akhirnya setuju untuk membayar kompensasi sebesar 7.500 dolar AS kepada ibu Frank Lenz atas kematiannya. Kendati demikian, jasad Lenz tidak pernah ditemukan, dan salah satu petualang besar dalam dunia sepeda ini tidak mendapatkan pemakaman yang layak,” tulis Spragg.*