Kasus dugaan penyelundupan Harley Davidson dan dua sepeda lipat premium merek Brompton menerpa maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Ari Askhara, direktur utama Garuda, terlibat penyelundupan tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut negara berpotensi rugi Rp532 juta—Rp1,5 miliar. Harga barang selundupan itu termasuk tinggi. Satu sepeda Brompton saja berharga Rp50-60 juta.
Meski termasuk mahal untuk kebanyakan orang Indonesia, Brompton laris manis. Sebanyak 5.000 Brompton terjual ke Indonesia pada 2018. Angka itu 10 persen dari total penjualan Brompton di seluruh dunia. Will-Butler Adams, CEO Brompton, pun kaget sepeda itu beroleh tempat di Indonesia. Sementara bagi pesepeda, Brompton adalah sepeda impian. Lambang kesempurnaan dan pencapaian.
“Kelebihannya, anti murah dan meningkatkan strata sosial,” canda Gamma Riantori, penggemar sepeda. Candaan itu menggambarkan keunggulan Brompton dibanding sepeda lainnya.
Untuk menjaga kualitas, Brompton tak jor-joran memproduksi sepeda. Ini sesuai dengan prinsip awal Andrew Ricthie, pembuat pertama sepeda Brompton, ketika mendirikan pabriknya. “Itu (jumlah yang terlalu banyak, red.) bisa menghancurkan perusahaan,” kata Andrew Ritchie, dalam theguardian.com.
Brompton juga menolak pesanan dengan jumlah tertentu dari berbagai pihak. Tak heran kepemilikan sepeda Brompton begitu eksklusif dan terbatas. “Karena udah handmade dan jam kerjanya terbatas. Super profesional,” kata Arman Widyastama, penggemar sepeda lainnya.
Baca juga: Budaya Sepeda Orang Indonesia
Kebanyakan pengguna Brompton adalah pekerja kantoran di kota. Mereka melipat sepeda itu saat memasuki angkutan umum dan menyimpannya di bawah meja kantor tanpa kesulitan. Mereka mengaku butuh sepeda berkualitas, nyaman, dan praktis.
Tiga hal ini yang sejak awal dilihat oleh Andrew Ritchie. Dia insinyur lulusan Universitas Cambridge, Inggris. Idenya membuat Brompton berawal dari keinginannya membuat sepeda bisa dibawa masuk ke dalam apartemen yang sempit di London. Selain itu, dia melihat warga London terlalu banyak mengeluarkan biaya dari rumah ke stasiun kereta bawah tanah dan bandara.
Jika warga pergi dari rumah ke bandara dengan naik taksi, biayanya hampir sama dengan naik pesawat terbang keliling kota. Andrew berpendapat harusnya warga bisa lebih mudah beraktivitas bila ada pilihan moda transportasi lain. Moda transportasi itu juga mesti sanggup mengantarkan warga dari rumah ke stasiun dengan cepat dan murah.
Laman curbsidecycle.com mengungkapkan, London adalah kota yang tumbuh berkat jaringan jalan dan jalur kereta api bawah tanah. Warga mengandalkan kereta bawah tanah untuk bepergian.
Jika hendak menuju stasiun, warga akan memilih naik mobil atau taksi. Tapi tak semua warga punya mobil dan sanggup bayar taksi terus-menerus. Nah, bagaimana jika warga tak perlu lagi menggunakan taksi atau mobil saat hendak menuju stasiun? Bagaimana jika warga pun bisa membawa sepedanya ke dalam kereta untuk melanjutkan perjalanannya dari stasiun ke tempat tujuan? Di sinilah otak kreatif Andrew bekerja. Sebuah sepeda yang bisa dilipat atau bahkan dimasukkan dalam koper!
Bukan yang Pertama
Sepeda lipat sebenarnya telah muncul sejak 1887. Penemunya orang Amerika bernama Emmit G. Latta. Penemuannya memungkinkan orang melipat sepeda saat tak digunakan. Saat itu ukuran sepeda lebih besar dari sekarang. Lipatan itu tak mengubah ketinggian sepeda, melainkan memperpendeknya sehingga sedikit menghemat ruang penyimpanan.
Penemuan teknologi sepeda lipat terus berkembang. Para insinyur melakukan penyempurnaan pada titik lipatannya. Kaprah pada masa itu sepeda lipat sering rusak pada titik lipatan. Insinyur juga berpikir untuk memperkecil ukuran sepeda dari sisi lebar dan tingginya. Tak cuma panjangnya.
Baca juga: Onthel Sepeda Cinta
Pemakai sepeda lipat pertama berasal dari kalangan militer. “Tapi desainnya benar-benar tak praktis,” sebut Suze Clemitson dalam A History of Cycling in 100 Objects. Melalui berbagai penyempurnaan teknologi, sepeda lipat untuk masyarakat sipil jauh lebih praktis. Pada 1970-an, sepeda jenis ini di Amerika Serikat lebih sohor dengan nama pocket bicycle atau sepeda kantong.
“Dapat dimasukkan ke dalam kopor kecil yang biasa dipakai orang ke luar kota untuk kunjungan singkat,” catat Anwari dalam Sejarah Sepeda dari Masa ke Masa. Melipatnya cukup dengan tiga gerakan dan hanya memerlukan waktu 20 detik.
Sepeda buatan pabrik Hub & Axel Bicycle Works Inc. beredar secara terbatas. Harganya US750 dolar atau sekira Rp480.000 setara dengan Rp10,8 juta nilai uang sekarang. Cukup mahal untuk zaman itu. Tapi lembaga konsumen Amerika justru tak menyarankan masyarakat memakai sepeda mahal itu. Menurut mereka, masih ada kemungkinan engsel lipatannya lepas.
Baca juga: Sejarah Lajur Khusus Sepeda di Indonesia
Di Inggris, dalam dekade 1970-an, warga mulai memakai sepeda lipat merek Bickerton. Inilah sepeda pertama yang panjang, lebar, dan tingginya benar-benar menyusut. Sepeda ini cocok untuk warga penghuni apartemen kecil. Tetapi sepeda ini tidak cukup kecil untuk masuk ke kereta bawah tanah. Penjualannya tak banyak. Pabriknya pun bangkrut.
Andrew menyadari kegagalan dan kelemahan sepeda lipat generasi terdahulu. Dia bekerja siang-malam di apartemen mungilnya untuk membuat sepeda lipat terbaru. Dia menghitung secara presisi bagian mana yang seharusnya bisa dijadikan lipatan. Termasuk pula bahan seperti apa yang kuat untuk menopang pengendaranya. Bahan itu mesti enteng juga sehingga orang tak kepayahan ketika berkendara atau mengangkatnya.
Gaya Hidup
Pada akhirnya, Andrew berhasil menciptakan sepeda impiannya. Dia menamai sepeda itu Brompton, merujuk pada nama gereja Brompton Oratory di seberang apartemennya. “Saya telah menciptakan karpet ajaib yang bisa anda simpan di saku. Hal lama yang diimpikan oleh banyak orang,” kata Andrew dalam wawancara dengan Kate Abbot, jurnalis guardian.com.
Rancangan Brompton tak banyak berubah dari tahun ke tahun. Matematika dasar, geometri, dan tekniknya telah begitu sempurna. Dengan begitu, orang tak akan melihat banyak perbedaan pada Brompton lama dan baru. Tetapi kualitas bagian sepeda itu terus meningkat. Untuk semua upaya keras dan fokusnya pada kualitas, Andrew membanderol Brompton dengan harga tinggi.
Baca juga: Orang yang Mengusulkan Presiden Bersepeda
Brompton tak lekas meraih pasaran di negeri asalnya. Reputasi Brompton menjalar dari mulut ke mulut secara perlahan hingga akhirnya menjadi yang tersohor di dalam negeri dan mendapat pasaran ekspor. “Butuh 30 tahun dan sekarang kami mengekspor 80% sepeda kami,” kata Will Carleysmith, kepala desain Brompton, kepada Kate Abbot. Ekspor Brompton bahkan sampai ke kutub selatan. Pembelinya seorang peneliti.
Di Jepang, Brompton membuat fenomena baru. Orang-orang di sana telah lama karib dengan sepeda. Kebanyakan sepedanya model angsa dengan keranjang di depan. Pemerintah menyediakan fasilitas sepeda cukup lengkap, mulai dari tempat parkir sampai jalur khusus. Lalu Brompton masuk dan menjadi bagian gaya hidup baru orang Jepang.
Di Indonesia, sepeda lipat masuk pada pertengahan dekade 2000-an. Sepeda lipat menantang dominasi sepeda gunung, balap, dan kumbang. Kebanyakan pemakainya berada di kota. Memasuki dekade 2010-an, Brompton menjelajah Indonesia, seiring tumbuhnya gairah bersepeda orang-orang di kota.
Baca juga: Aturan Bersepeda pada Masa Lampau
Brompton memperoleh tempat lapang di kalangan pesepeda. Kelas menengah dan atas sanggup menebusnya. Meski kadang mereka harus membohongi istrinya tentang harga sepeda itu. Harga Rp25 juta dibilang hanya Rp5 juta, harga yang normal untuk sepeda lipat kebanyakan.
"Ini kebanyakan penyakit pesepeda," kata Sofian Purnama, pengguna sepeda harian sekaligus pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Kini Brompton sudah jamak tersua di jalanan kota-kota besar. Ia tak hanya menjadi gaya hidup, tapi juga simbol status, pencapaian, dan gambaran tumbuh suburnya kelas menengah dan atas di kota-kota besar.