Kring, Kring, Kring ada sepeda
Sepedaku roda tiga
Ku dapat dari Ayah
Karena rajin belajar.
Anda ingat penggalan lagu tadi? Lagu ciptaan Pak Kasur, pendidik anak-anak, pada 1960-an. Dia biasa menggunakan lagu ini untuk mengiringi anak-anak masuk kelas Kebun Kanak-Kanak, sebuah lembaga pendidikan buatannya. Kala itu banyak anak bersepeda dengan riang menuju Kebun Kanak-Kanak sembari membunyikan suara "kring" dari bel sepeda.
Bel sepeda berguna untuk memberikan tanda kepada orang lain. Penggunaan bel meluas tak lama setelah sepeda masuk ke Hindia Belanda pada 1910-an. Bel biasanya terpasang pada sisi kanan stang. Bel masih menjadi incaran para pesepeda hingga sekarang. Bel sebenarnya tidak termuat dalam aturan kelengkapan bersepeda, tapi terpasang di banyak sepeda anak-anak atau dewasa.
Berbeda dari aturan kendaraan bermotor, aturan tentang sepeda dan kelengkapannya tak banyak diketahui orang. Seiring dengan tingginya gairah bersepeda dan pembuatan lajur khusus sepeda di beberapa kota Indonesia, penting untuk mengenal aturan bersepeda.
“Perlu clear lajur dan rambunya, sosialisasinya, perlengkapan safety-nya, dan kalau perlu ada lisensinya,” ujar Gamma Riantori (38 tahun), karyawan swasta penggemar sepeda.
Baca juga: Sejarah Lajur Khusus Sepeda di Indonesia
Menilik sejarah, aturan bersepeda sebenarnya sudah pernah ada dan diterapkan demi keselamatan bersama pengguna jalan.
Awal sepeda masuk Hindia Belanda pada 1910-an, aturan tentang penggunaan sepeda dan alat-alatnya belum ada. Aturan terkait hal itu muncul pada 1930-an seiring dengan terbitnya Wegverkeers Ordonanntie 1933 (Staatsblaad 1933 No. 68) atau Undang-Undang Lalu Lintas Jalan.
Angkat Tangan Sebelum Belok
Pokok-pokok aturan itu terangkum dalam buku karya Mr. Dr. F.J.W.H. Sandbergern berjudul Atoeran Mempergoenakan Djalan Raja terbitan 1939. Pesepeda wajib berjalan di lajur kiri jalan, di samping kanan pejalan kaki dan gerobak pedati. “Kereta angin sekali-kali tidak boleh lalu di tengah-tengah jalan,” catat Sandbergen. Kereta angin adalah sebutan untuk sepeda pada masa itu.
Lajur sebelah kanan pesepeda digunakan untuk kendaraan lebih cepat seperti delman, sado, sepeda motor roda dua, dan auto (mobil). Pesepeda dilarang pula mengambil lajur pejalan kaki dan kendaraan lebih lambat. Jika pesepeda ingin berbelok ke kiri atau kanan, dia wajib mengangkat tangan ke arah tujuannya.
Untuk memberitahu pengguna jalan lain bahwa pesepeda akan melambat atau berhenti, dia juga harus menggunakan tangannya sebagai isyarat. “Jika hendak melambatkan jalan, gerakkanlah tangan ke atas-ke bawah. Jika hendak berhenti, acungkanlah tangan ke atas lurus-lurus,” tulis Sandbergen.
Selama melaju, pesepeda tidak boleh berpegangan pada kendaraan lain. Menurut Sandbergen, tindakan itu sangat berbahaya. “Jika tidak tergiling oleh kendaraan tempat berpegang itu, boleh jadi digiling oleh kereta yang datang dari belakang.”
Larangan lain bagi pesepeda ialah membawa seorang atau lebih dalam satu sepeda jika tak ada alat boncengan. Jika seorang penumpang sepeda berdiri di atas jalu roda belakang, pesepeda akan terkena pelanggaran lalu-lintas.
Baca juga: Onthel Sepeda Cinta
Demi keamanan dirinya, pesepeda wajib melengkapi kendaraannya dengan lampu putih, reflektor (mika pemantul cahaya), dan tanda khusus bagi pesepeda tuli atau kurang pendengaran. Lampu putih terpasang di bagian depan dan menyorot ke bawah. Lampu itu tidak boleh mengarah ke pengguna jalan lain.
Reflektor terletak di belakang. Pemasangan reflektor tak bisa sembarangan. “Pada kereta angin hanya boleh dipakai kaca merah (reflektor) yang sudah disahkan,” sebut Sandbergen.
Direktur Transportasi dan Manajemen Air (Verkeer en Waterstaat) Hindia Belanda menyusun senarai untuk reflektor sepeda. Senarai berisi 56 jenis reflektor dari beragam jenama dan pabrikan. Pesepeda harus memilih salah satunya. Dia tak bisa memasang reflektor di luar senarai resmi pemerintah.
Pajak Sepeda
Kelengkapan wajib lainnya adalah peneng atau tanda lunas pajak sepeda. Ini luput dari penjelasan Sandbergen. Padahal tanda ini wajib dipasang di depan sepeda. Sejak 1930-an, pemerintah kolonial menerapkan pajak kepada tiap pemilik sepeda. Selayaknya kepada pemilik kendaraan tak bermotor lain seperti delman, sado, dan gerobak. Pengecualian kepada pesepeda dari kepolisian dan militer.
Besaran pajak sepeda berbeda di tiap wilayah, sesuai dengan semangat desentralisasi pemerintahan sejak 1905. Pemerintah kolonial menggunakan pajak ini untuk merawat jalan. Tapi pesepeda protes tersebab lajur untuk mereka mudah rusak. “Lajur yang disediakan penuh lubang,” catat P.K. Ojong dalam Kompas, 7 April 1967. Berbeda dari lajur kendaraan bermotor, mulus. Padahal sama-sama bayar pajak.
Baca juga: Budaya Sepeda Orang Indonesia
Pemerintah pendudukan Jepang mempertahankan penerapan pajak. Tapi tujuannya untuk membiayai perang. Pengumuman terhadap besaran dan batas waktu pembayaran pajak sepeda kerap muncul di surat kabar. Cara ini bertahan hingga Indonesia masuk masa merdeka. Bedanya, penggunaan pajak kembali untuk perawatan jalan.
Pesepeda harus membawa sepedanya ke Balai Kota atau kantor bendahara kota. Orang tak menganggap berat pajak sepeda. “Orang-orang terutama anak-anak sekolah, mengantre dengan sepedanya di Balai Kota (atau haminte) di Jalan Kebon Sirih untuk membayar peneng,” kenang Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an.
Pesepeda memang tidak perlu surat izin mengemudi (rijbewijs). Tidak pula ada batasan umur untuk pesepeda. Tapi mereka tetap wajib mematuhi aturan bersepeda dan kelengkapan sepeda. Termasuk pula pembayaran pajak. Pelanggaran terhadap aturan tersebut akan diganjar hukuman dari polisi atau pemerintah. Bentuknya bervariasi: penjara, denda, dan penghentian sementara operasional sepeda.
“Semua sepeda yang tidak memakai peneng tahun 1950 yang berada di jalanan umum, akan ditahan,” ucap R. Soewirjo, walikota Jakarta dalam Java Bode, 18 April 1950. Sedangkan di Semarang, hukumannya denda sebesar 100 florin. Padahal pajaknya hanya 2,25 florin setahun.
Baca juga: KTP dan Pajak Anjing
Jika tak mampu membayar denda, pemilik sepeda akan masuk penjara selama-lamanya sebulan. Demikian keterangan dari De Locomotiev, 18 Juli 1950.
Penerapan pajak sepeda mulai kendor seiring menghilangnya sepeda dari jalanan kota-kota besar Indonesia pada 1970-an. Orang pun enggan membayarnya. Maka pemerintah kota menurunkan petugas hingga ke Rukun Tetangga/Kampung untuk menarik pajak sepeda. Ternyata hasil penarikan pajak sepeda lebih kecil daripada biaya operasional untuk petugas.
Semangat pemerintah kota pun ikut kendor. Secara formal, pajak sepeda tidak berlaku lagi setelah terbit UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Sejumlah kewajiban pesepeda pada masa lampau juga hilang atau tak tercantum dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan. Misalnya tentang reflektor, tanda isyarat tangan, dan lampu.
Tapi beberapa aturan lain masih bertahan seperti kewajiban tanda khusus untuk pesepeda tuli atau kurang pendengaran dan larangan membawa penumpang tanpa alat boncengan.