DARI sekian landmark yang dimiliki Kota Tarakan, terdapat sebuah stadion bernama Datu Adil. Jaraknya tak sampai lima kilometer dari Bandara Juwata sebagai pintu masuk ke kota yang jadi pusat pemerintahan Kalimantan Utara itu.
Nama Datu Adil berasal dari nama orang penting di Tarakan tempo dulu. Kendati hanya sedikit catatan tentangnya, Datu Adil dikenal sebagai raja Tarakan.
Orang Tarakan terkait dengan etnis Tidung. Menurut Kapten Pieter van Genderen Stort dalam Nederlandsch-Tidoengsch Tinggalèn DajèkscheWoordenlijst, orang Tidung berbeda dari orang Bulungan yang keturunan Kayan. Orang Tidung dianggap sebagai bagian dari Murut atau Murutic. Dalam Sistem Pengendalian Sosial Tradisional di Daerah Kalimantan Timur, Mohamad Arsyad dkk. menyebut orang Tidung berasal dari daerah pegunungan di Kecamatan Malinau dan Sesayap dan di sana pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Tanah Tidung. Mereka mendiami sepanjang pantai Pulau Tarakan.
Baca juga: Asal-Usul Suku Tidung
Pulau Tarakan yang mulanya sepi, lama-kelamaan berkembang. Sekitar tahun 1850 Tarakan menjadi daerah penghasil sarang buruh walet, emas, rotan, karet, garam dan lainnya. Sepuluh tahun kemudian, pemerintah kolonial Belanda menjadikannya titik perdagangan.
Setelah minyak ditemukan pada 1896, jumlah penduduk Tarakan terus bertambah. Tarakan Mijnbouw Maatschappij sejak 1899 mulai beroperasi menggali minyak di daerah ini. Pengeboran dilakukan di pantai utama, Pamusian dan Juwata. Bataafsch Petroleum Maatschappij (BPM) kemudian menguasai minyak di sini, menjadikan Tarakan sebagai salah satu produsen utama minyak di Hindia Belanda.
“Industri minyak di Indonesia berkembang dengan pesat dan pada 1924 jumlah konsesi minyak telah meningkat menjadi 119, meliputi total wilayah seluas 6.400 km persegi. Total produksi juga meningkat menjadi 22,6 juta barel, yang 95 persennya berasal dari Royal Dutch/Shell Group dan sisanya dari NKPM. Kepentingan relatif dari produksi regional jika dibandingkan dengan situasi pada tahun 1911 juga telah berubah secara signifikan: Kalimantan Timur tetap menjadi produsen terbesar dengan 36 persen, tetapi Tarakan di Kalimantan Timur Laut melonjak ke posisi kedua dengan 32 persen, sementara produksi di Sumatera Utara menurun menjadi 6 persen dari total produksi Indonesia. Sumatera Selatan memproduksi 17 persen dan Jawa 9 persen,” tulis Ooi Jin Bee dalam The Petroleum Resources of Indonesia.
Baca juga: Dilema Suku Tidung dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Dengan kekayaan minyaknya, Tarakan menjadi maju yang menjadi salah satu sumber pundi pemerintah kolonial. Tentu saja pemerintah menarik pajak darinya.
Pajak itulah yang kerap memicu konflik dengan para penguasa lokal yang telah turun-temurun berkuasa. Datu Adil salah satunya. Ia juga melawan Belanda. Perlawanan tersebut terkait dengan pajak.
“1915: Datu Adil dan Datu Djamalul bergelar Raja Tarakan bergerak melawan Kerajaan Bulungan. Akhirnya kedua Datu itu ditangkap serta diasingkan di Manado,” begitu catat Kyai Amir Hasan Bondan dalam Suluh Sedjarah Kalimantan.
Baca juga: Merawat Ingatan tentang Pangkalan Brandan dan Hikayat Minyak Bumi di Pangkalan Brandan
Perlawanan Datu Adil dan Datu Djamalul itu diberitakan koran Belanda seperti De Preanger-bode dan Bataviaasch Nieuwsblad. Pada Desember 1914, Datu Adil dituduh sebagai penghasut yang memusuhi pemerintah kolonial sekaligus sultan Bulungan yang merupakan raja bawahan atau Swapraja Kerajaan Belanda di Kalimantan Utara. Tarakan dianggap Belanda sebagai daerah bawahan Bulungan.
“Di Bulungan, Datu Adil, yang menyebut dirinya Raja Tarakan, bersama dengan saudaranya Datu Djamalu (Datu Djamalul), bersama Datu-datu selama ini telah, setidaknya empat tahun terakhir secara pasif menolak pemerintahan swapraja,” lapor residen Kalimantan bagian Selatan dan Timur, seperti diberitakan koran De Preanger-Bode tanggal 21 Februari 1915.
Datu Adil dan Datu Djamalul mengajak setidaknya 20 orang dari Peningki dan Salimbatu untuk membangkang pada sultan. Dibantu Haji Maulana, kedua Datu itu telah menghasut banyak orang untuk tidak tunduk kepada sultan Bulungan plus tidak pula membayar pajak.
Baca juga: Pencarian Minyak di Kutai Kartanegara
Tindakan mereka memancing reaksi dari pemerintah kolonial. Aparat hukum pemerintah kolonial di sana pun segera bertindak. Pada 21 Desember 1914, Datu Adil, Datu Djumalal, dan Haji Maulana diamankan aparat yang diperintahkan asisten residen yang berkedudukan di Samarinda. Koran Sumtra Bode edisi 26 April 1917 menyebut patroli tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) digerakkan memasuki kampung-kampung yang terkait perlawanan.
“Pada tanggal 21 bulan pelaporan, atas perintah asisten residen Samarinda, Hadji Maulana dan kedua Datu ditangkap tanpa masalah dan ditempatkan di penjara Tanjung Selor untuk sementara waktu. Dengan kapal daerah ‘Hazenwind’, demi pemulihan hukum dan ketertiban yang cepat, mereka dibawa ke Samarinda dan dipenjarakan,” demikian Het Vaderland tanggal 4 April 1915 memberitakan.
Setelah ketiga pemimpin perlawanan tadi dibawa ke Samarinda dengan kapal laut Hazenwind, perlakuan yang diterima masing-masing berbeda. Haji Maulana akan disidang dalam Karapatan Besar Bulungan. Sementara Datu Adil dan Datu Djumalal kemudian diasingkan ke Manado. Datu Adil dan Datu Djumalal adalah keturunan mantan raja atau kepala suku Tarakan. Lantaran hal itu, pengaruh kedua Datu itu di Tarakan cukup besar.*