Pangkalan Brandan terletak di Kabupaten Langkat sekitar 80 km dari kota Medan. Lokasinya strategis karena dilalui jalan lintas timur Sumatra dan pintu gerbang menuju Aceh. Dahulu, Pangkalan Brandan kesohor sebagai daerah penghasil minyak. Pada kurun waktu tertentu, Pangkalan Brandan menjadi kilang minyak terbesar di Sumatra.
Pada penghujung tahun abad ke-19, menurut Anderson G. Bartlett dalam Pertamina: Perusahaan Minyak Nasional, ribuan ton minyak yang ditambang di Pangkalan Brandan dikapalkan dari pelabuhan Pangkalan Susu ke Asia Tenggara dan Timur untuk keperluan bahan bakar penerangan lampu. Makanya, orang-orang di Medan lebih suka menyebut minyak tanah dengan sebutan minyak lampu. Itu terjadi ketika kilang minyak Pangkalan Brandan masih berada di bawah bendera perusahaan Royal Dutch.
Selama seabad lebih, Pangkalan Brandan menjadi simbol kemakmuran melalui kekayaan minyak buminya. Menurut Phil. Ichwan Azhari sejarawan Universitas Negeri Medan, kilang minyak Pangkalan Brandan telah mengalirkan jutaan barel minyak. Selain itu, minyak ini pulalah yang ikut menyumbang devisa bagi Belanda, Kesultanan Langkat, dan pemerintah Republik Indonesia.
Rehabilitasi Pasca Revolusi
Peristiwa pembumihangusan di masa revolusi menyebabkan Pangkalan Brandan dalam keadaan rusak berat. Setelah pengakuan kedaulatan, para pekerja perminyakan baru kembali mengusahakan kilang minyak itu. Karena belum adanya pengorganisasian tambang minyak di Sumatra Utara, kegiatan eksploitasi di Pangkalan Brandan berlangsung secara mandiri sampai 1957.
“Problema yang dihadapi ialah masalah gaji buruh, biaya eksploitasi, dan pergolakan politik di tambang minyak itu,” tulis tim peneliti Depdikbud yang disunting Sutjiatiningsih dalam Sejarah daerah Sumatra.
Baca juga: Hikayat Minyak Bumi di Pangkalan Brandan
Untuk pengaturan tata kelola, urusan tambang minyak itu kemudian diserahkan kepada Angkatan Darat. Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai KSAD menunjuk Letkol Ibnu Sutowo sebagai pengelola perusahaan minyak nasional bernama PT. Permina. Sebagai direktur pelaksananya ditunjuk Mayor. J.M. Pattiasina dengan pusat operasi di Pangkalan Brandan.
Ketika diserahkan ke Permina, dalam Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984, Ibnu Sutowo mengenang kondisi kilang Pangkalan Brandan yang lebih mirip besi rongsokan. Selangkah demi selangkah, Pangkalan Brandan mulai dibenahi lagi. Pada 24 Mei 1958, minyak mentah dari Pangkalan Brandan mengisi kapal tanker Shozui Maru yang membawanya ke Jepang. Minyak itu merupakan produksi pertama dari Permina yang diekspor ke luar negeri.
“Dengan pengiriman minyak mentah sebanyak 1700 ton itu Permina menerima sekitar 30.000 dollar US,” kata Ibnu Sutowo dalam otobiografinya Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita yang disusun Ramadhan K.H. Menurutnya Ibnu, kejadian itu membuktikan kemampuan orang Indonesia dalam menjalankan perusahaan minyak sendiri.
Baca juga: Operasi Darurat Dokter Ibnu
Setelah itu, sekelompok pengusaha Jepang di bawah Kobayasi Group mengadakan penelitian ke Pangkalan Brandan. Mereka tertarik berinvestasi. Setelah perundingan cukup lama, pihak Jepang bersedia memberikan kredit sebesar 8.845 milyar Yen atau setara dengan 53 juta dollar US. Kredit investasi ini diberikan dalam bentuk penyediaan alat-alat, mesin-mesin, material, dan bantuan teknis kepada Permina berjangka 10 tahun. Modal Jepang itu akan dikembalikan dalam bentuk minyak mentah selama 10 tahun.
Dengan dicapainya persetujuan itu, seperti ditulis Djoko Darmono, dkk dalam Mineral dan Energi Kekayaan Bangsa: Sejarah Pertambangan dan Energi Indonesia, Kobayasi Group membentuk perusahaan North Sumatra Oil Development Corporation Ltd. Kerja sama dengan Jepang ini mempunyai arti penting dalam sejarah Permina dan merupakan permulaan sistem production sharing contract atau sistem kontrak bagi hasil (KBH). Secara diam-diam, Ibnu Sutowo menjalankan apa yang selama ini disebut, “semua kekayaan yang terdapat dalam bumi dan air di Indonesia itu dikuasai oleh bangsa Indonesia.”
Tinggal Memori
Kendati minyak bumi kembali diproduksi, Pangkalan Brandan tidak pernah kembali seperti semula lagi. Kebutuhan akan minyak bumi dan konsumsi bahan bakar dalam negeri kian tinggi. Kilang minyak Pangkalan Brandan perlahan turun pamor seiring dengan temuan kilang minyak baru yang lebih potensial. Kilang minyak Sungai Pakning dan Dumai di Riau serta kilang minyak Cilacap di Jawa menggeser Pangkalan Brandan sebagai daerah kaya minyak.
Baca juga: Pencarian Minyak di Kutai Kartanegara
Pada dekade 1970, Indonesia mulai melakukan impor minyak. Kenaikan kebutuhan bahan bakar minyak dalam negeri sedang tinggi-tingginya akibat peningkatan kegiatan ekonomi. Kilang minyak Pangkalan Brandan pun kena imbas untuk mengolah minyak impor. Pasalnya, produksi minyak di Pangkalan Brandan sudah tidak mampu lagi mencukupi keperluan.
Hingga 1998, kapasitas kilang minyak Pangkalan Brandan hanya 5.0 mbsd. Artinya, kilang minyak Pangkalan Brandan hanya mampu mengolah lima ribu barel minyak per hari. Jumlah tersebut kalah jauh dibandingkan dengan kilang minyak lain di Indonesia. Dengan penurunan produksi itu, kilang minyak Pangkalan berandan telah memasuki masa senjakala.
Baca juga: Permigan, Saudara Tua Pertamina
Selama seabad lebih dieksploitasi, akhirnya kandungan minyak di Pangkalan Brandan pun kering. Sejak awal 2007, kilang miyak tertua di Indonesia ini berhenti beroperasi. Menurut Hadi Daruyono salah satu penulis buku Dari Pangkalan Brandan Migas Indonesia Mendunia, PT Pertamina menutup kilang minyak Pangkalan Brandan karena faktor ekonomi. Selain biaya produksi yang tinggi, minyak di perut bumi Pangkalan Brandan memang telah habis.
Pada awal 2020, warga Pangkalan Brandan sempat berunjuk rasa menuntut pemerintah menghidupkan lagi akitivitas pertambangan minyak. Menurut warga sebagaimana dilansir medanbisnisdaily.com, 5 Januari 2020, mengaktifkan kembali kilang minyak Pangkalan Brandan dapat mendongkrak perekonomian masyarakat setempat. Selain itu, keberadaan Pangkalan Brandan sebagai tonggak penting sejarah perminyakan di Indonesia juga telah dilupakan.
Pada akhirnya kejayaan Pangkalan Brandan di masa silam cuma tinggal kenangan. Kini kawasan itu hanya menyisakan bekas kilang minyak tua yang terlantar. Tangki-tangki yang dulu mengalirkan berton-ton minyak telah karatan lantaran tidak terawat.
Baca juga: Awal Mula Tambang Batubara
Namun, sebagai aset sejarah Pangkalan Brandan dapat dihidupkan kembali sebagai cagar budaya. Menilik sisi historisnya, Pangkalan Brandan bukan hanya penting sebagai awal denyut nadi pertambangan minyak bumi di Indonesia. Namun, ia juga menjadi saksi bisu perjuangan kemerdekaan lewat peristiwa heroik “Pangkalan Brandan Lautan Api”. Minyak di perut bumi Pangkalan Brandan boleh saja habis tapi ia dapat mengisi memori publik dengan menjadikannya situs bersejarah.
Museum tambang Batubara Ombilin di Sawah Lunto, Sumatra Barat telah membuktikannya; diakui sebagai situs budaya warisan dunia. Oleh karena itu, pemerintah seyogianya juga memberikan perhatian yang sama untuk menjawab harapan masyarakat Pangkalan Brandan. Dengan demikian, jejak sejarah Pangkalan Brandan tidak hilang ditelan zaman.