Masuk Daftar
My Getplus

Timah dan Tuan Besar

Buaya dianggap sebagai hewan suci. Penambangan timah membuka konflik buaya dengan manusia.

Oleh: Bayu Nanda | 11 Jan 2024
Buaya korban konflik maupun penyelundupan direhabilitasi di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi. (Dok. Finlan Aldan).

ROZI, 54 tahun, ingat betul apa yang menimpanya. Saat mandi di sungai pada pukul 12 siang, 8 November 2020, seekor buaya muncul dan menyerangnya.

“Pertama kali ditabrak sama dia [buaya]. Gigit di sini [tangan], diputar dua kali dalam air. Dilepas tangan, digigit kaki, ditarik ke bawah ponton sana,” ujarnya.

Dalam pertarungan antara hidup dan mati itu, Rozi selamat. Namun betis kirinya robek dan harus dioperasi. Jalannya pincang. Ia tak lagi bekerja sebagai penambang timah inkonvensional.

Advertising
Advertising

Apa yang dialami Rozi cuma secuplik kasus konflik antara manusia dan buaya yang terjadi di Bangka Belitung. Melalui proses pengumpulan data, kami menemukan 154 konflik antara 2016 sampai Agustus 2023 dengan rincian 40 serangan fatal, 66 serangan non-fatal, dan 48 penangkapan buaya.

Nama Rozi tidak termasuk di dalamnya. Kemungkinan konflik manusia-buaya sebenarnya jauh lebih banyak dari yang tertulis dalam data.

Aktivitas manusia yang semakin intens di habitat buaya memperbesar potensi konflik. Sungai dan muara disusupi penambang timah inkonvensional. Mesin-mesin bekerja pagi hingga sore hari.

Di Bangka Belitung, tambang timah seolah menjadi satu-satunya warisan dan cita-cita. Ia dilimpahkan secara turun-temurun dari orang tua ke anak-anak mereka. Tak terkecuali Amat (52) yang kami temui sedang menambang bersama anaknya, Jek, di kulong (lubang bekas penambangan timah) Desa Sekar Biru, Kecamatan Parittiga, Kabupaten Bangka Barat.

Jek bercerita bahwa dia memiliki keahlian mengutak-atik komputer. Tapi yang kami temui kala itu adalah seorang remaja yang melompat ke dalam kulong, menghidupkan mesin diesel, dan menunjukkan seember kecil timah milik penambang lain.

Inilah Bangka dan Belitung. Masyarakat telanjur bergantung pada timah dan menjadikannya seolah satu-satunya sumber penghidupan.

Dukun buaya bersama seekor buaya raksasa di depan rumah seorang administrator di Distrik Lenggang, Belitung. (Jarig Cornelis Mollema, Gedenkboek Billiton 1852-1927).

Tuan Besar yang Suci

Kami menemui sejarawan dan budayawan Akhmad Elvian di sebuah kafe di Kota Pangkalpinang, ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Di kafe dengan kursi rotan dan beberapa anyaman artistik itu, Elvian bercerita tentang buaya dalam tradisi tutur masyarakat setempat.

Dahulu, konflik hanya terjadi pada buaya yang terusir oleh puaka (raja buaya baru dalam teritorinya). Buaya yang terusir lalu mencari habitat baru dan saat itulah biasanya terjadi serangan pada manusia.

Namun, buaya yang berdosa itu mengakui kesalahannya. Dukun sungai menyelenggarakan ritual taber sungai sebagai sidang yang disaksikan oleh keluarga korban serangan buaya. Buaya yang berdosa menyerahkan diri dan bersedia dihukum mati.

“Dukun buaya akan melakukan taber sungai (memurnikan sungai) dengan peralatan, dengan mantra dan doa. Buaya yang nakal tadi akan digiring dukun ke pinggir. Ditepuknya [buaya], muntah darah, buaya itu langsung mati,” tutur Elvian kepada kami, Agustus lalu.

Baca juga: Awal Mula Tambang Batubara

 

Konflik buaya dan manusia telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Bangka dan Belitung. Jarig Cornelis Mollema dalam Gedenkboek Billiton 18521927 bahkan menyebut, “tidak ada satu tahun pun berlalu tanpa ada orang yang menjadi korban.”

Namun, lanjut Mollema, “Masyarakat menganggap buaya sebagai hewan suci yang hanya boleh dituntut (dihukum) jika melanggar janji untuk tidak mengganggu manusia.”

Mollema juga mengurai asal-usul dukun buaya. Legenda menceritakan, ada setetes air jatuh ke dalam sumur dari tubuh seseorang yang sedang mandi. Dari air itu terciptalah seekor kadal raksasa. Ia menyerang orang tersebut, tetapi kalah dalam perkelahian.

Kadal itu meminta ampun dan menjelaskan bagaimana ia diciptakan. Ia mengklaim diri sebagai keturunan manusia. Ia diampuni, tapi dengan hukuman dipotong lidahnya dan dinamai sebagai “buaya”. Selanjutnya, ia diharuskan melakukan tapa di Makkah. Buaya menepati janjinya dan menjadikan laut yang memisahkan Belitung dan Makkah sebagai “rumahnya dan keturunannya”.

Kerajaan buaya yang perkasa ini kemudian diperintah oleh Raja Soleiman.

Suatu ketika, Raja Soleiman mengirimkan pemburu untuk mencari kambing sebagai hidangan kerajaan. Tapi pemburu itu justru menangkap seorang penduduk Belitung yang sedang mandi di laut karena pakaiannya yang berbulu dan menyerupai kambing.

Baca juga: Legenda Buaya di Kalangan Masyarakat Sulawesi Selatan

Karena tahu dirinya berasal dari tetes air seorang manusia yang mandi, Soleiman menghukum si pemburu yang teledor. Sementara si manusia dipersilakan menghabiskan waktunya di kerajaan buaya dan mendapatkan ilmu. Dengan ilmu tersebut, ia bisa selalu memperingatkan sang raja jika ada seekor buaya mencelakakan manusia. Cukup memukul permukaan air dengan daun lontar dan setelah itu raja akan mengirimkan buaya yang bersalah kepadanya untuk diadili.

“Setiap kali ada buaya berbuat dosa, masyarakat memanggil dukun buaya yang merupakan keturunan sahabat raja buaya dan lelaki ini punya rahasia untuk menangkap si [buaya] pembunuh,” catat Mollema.

Franz Epp, dokter Jerman yang menjadi perwira korps medis pada abad ke-19, juga mencatatkan pengalamannya selama 10 tahun bertugas di Hindia Belanda. Mary Somers Heidhues, peneliti dan akademisi Jerman, merangkum tiga volume buku Epp dalam “Dissecting the Indies: The 19th Century German Doctor Franz Epp” yang dimuat Archipel, Volume 49, 1995.

Pada Juli 1836, Epp memimpin sebuah rumah sakit kecil di Baturusa, Merawang, tidak jauh dari Pangkalpinang; “saat itu merupakan rawa yang dipenuhi buaya.” Selama bertugas di Bangka, dia menilai pembangunan ekonomi dan pertumbuhan penduduk membahayakan hutan dan satwa liar. Tingkat deforestasi sangat mengkhawatirkan akibat meluasnya penambangan timah. Tanpa pepohonan, hewan-hewan menghilang. Di antara hewan-hewan itu, Epp memberi perhatian pada buaya.

Baca juga: Serdadu Jepang Dimangsa Buaya di Burma

Penduduk asli menganggap buaya itu suci, membunuhnya hanya untuk membela diri, dan menghormatinya. “Karena di Bangka pejabat tertingginya adalah Residen [Belanda], maka orang Bangka menempatkan buaya sejajar dengannya dan menyebutnya Tuan Besar.”

Kontras dengan apa yang terjadi saat ini.

Buaya yang muncul ke permukaan sering dianggap sebagai ancaman. Ketika serangan terjadi, tak jarang masyarakat akan memburu seluruh buaya.

Dari 154 kasus, sebanyak 31 persen konflik buaya dan manusia berkaitan dengan keberadaan tambang timah. Dan jika menyinggung timah, maka sejarah akan melempar kita ke tiga abad silam.

Bagai sihir, hidup dan merajanya pertambangan timah di Bangka Belitung mengubah cara manusia memperlakukan alam.

Penggunaan chin-cia dan chia-caw oleh pekerja Tionghoa dalam penambangan timah tahun 1920. (KITLV 34679).

Mendulang Timah

Sulit untuk menentukan kapan mula timah digali di Bangka. Ada yang meyakini penambangan sudah dilakukan masyarakat jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa.

Namun, dari sekian banyak versi, catatan seorang penulis tak dikenal yang kemudian dikutip dan dimuat dalam Tijdschrift voor Ned. Indie VIII, bagian 4, tahun 1846, lebih sering jadi rujukan. Catatan penulis tak dikenal itu menyebut angka 1709 sebagai tahun pertama penemuan timah di Bangka.

Catatan itu pula yang tertera di dinding Museum Timah Pangkalpinang: “... waktu di mana pertama kali ditemukan timah di Bangka tidaklah jelas. Namun, pertambangan timah yang pertama kali dilakukan di wilayah Merawang, tepatnya di Kampung Calin daerah Depak.”

Pada masa itu Pulau Bangka berada di bawah naungan Kesultanan Palembang. Ini terjadi pada 1667 berkat perkawinan politik antara Sultan Abdurrahman (1659–1706) dan seorang putri dari penguasa Bangka. Sultan Abdurrahman lalu menetapkan perluasan penerapan peraturan yang disusun pendahulunya, yakni Undang-undang Simbur Cahaya, menjadi undang-undang wilayah yang disebut Undang-undang Sindang Mardika.

Baca juga: Mendulang Sejarah Tambang Nusantara

Undang-undang tersebut mengatur banyak aspek kehidupan, termasuk lingkungan. Misalnya, larangan merusak hutan secara sembarangan. Hutan sudah dibagi berdasarkan fungsi masing-masing. Ada hutan yang bisa dimanfaatkan, ada yang harus dijaga. Untuk hutan yang tidak diperbolehkan untuk ditambang, para dukun sebagai punggawa adat kemudian meniadakan kandungan timahnya. Ampak, istilahnya. Jika pun masih ada timah, kandungannya diyakini kopong atau ringan sehingga tidak bernilai untuk dijual.

Seluruh kearifan lokal tersebut bertujuan untuk menjaga alam dari kerusakan. Tapi semua perlahan berubah sejak orang-orang mulai mengeksploitasi kekayaan tersembunyi di dalam tanah Bangka dan Belitung.

Penambangan timah dilakukan lebih intensif pada masa Sultan Muhammad Bahauddin (1776–1803). Menurut Nawiyanto dan Eko Crys Endrayadi dalam Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah dan Warisan Budayanya, untuk keperluan intensifikasi penambangan, sultan merekrut pekerja-pekerja tambang dari Siam dan menyediakan rumah-rumah bagi mereka. Pengawasan terhadap para penambang dilakukan dengan menempatkan demang di wilayah penambangan.

Baca juga: Peranakan Tionghoa di Bangka-Belitung

Timah merupakan komoditas yang sangat bernilai. Melalui kontrak yang ditandatangani pada 1776, Kongsi Dagang Hindia Belanda (VOC) memonopoli perdagangan timah yang dipasok dari Kesultanan Palembang. Tak suka dengan monopoli, sultan tak benar-benar memenuhi permintaan VOC. Sebagian besar lainnya diselundupkan, terutama ke Kanton.

Ibrahim dalam “Bangka Tin, and the Collapse of the State Power” (2016) di Journal of Laws and Social Sciences menuliskan, pada masa kepemimpinan Muhammad Mansur (1703–1714) terjadilah gelombang pertama kedatangan buruh Tionghoa.

Pendatang Tionghoa bekerja dengan metode yang disebut teknologi kulit. Metode ini dilakukan dengan cara menguliti lapisan atas tanah dibantu dengan roda air (chia-caw) dan pompa air (chin-cia).

Sesuai namanya, praktik dari teknologi yang menguliti lapisan atas tanah ini mulai membabat hutan dan semakin mengikis lereng gunung dalam mengalirkan air untuk menggerakkan kincir.

Dengan satu langkah sederhana tapi mematikan, pekerja Tionghoa mampu membuat timah menjadi komoditas ekspor nomor tiga terbesar di Hindia Timur.

Namun, proses pengikisan lapisan tanah atas ini membutuhkan waktu yang terlampau lama –tujuh hingga delapan bulan– dan kandungan timah tak dapat diprediksi. Chin-cia juga tak berguna saat kemarau karena sungai kering dan tak mampu menjaga tambang bebas dari genangan air saat hujan lebat.

Baca juga: 19 November 1846: Mula Tambang Batu Bara

Pekerja Tionghoa lalu menemukan suatu alat berbentuk tombak runcing segitiga yang dapat menguji kandungan timah dalam tanah. Chiam namanya.

Dengan terukurnya kandungan timah, mereka tak lagi tanggung dengan cuma “menguliti permukaan”, tetapi mereka membuat lubang raksasa untuk mengekstrak timah terdalam. Lubang super besar itulah yang kemudian disebut kulong.

Kerusakan yang ditimbulkan begitu mengerikan sebagaimana dilaporkan J.A. Schuurman, ahli geografi dari Jerman, pada 1898. Dikutip Mary Somer Heidhuis dalam Bangka Tin and Mentok Pepper, Schuurman melaporkan: “Tidak ada pulau Nusantara yang telah mengalami perubahan topografi yang luar biasa akibat eksploitasi penambang timah yang telah mengupas tanah secara meluas, menggundulkan hutan yang berlangsung ratusan tahun, semuanya dikerjakan oleh buruh Cina yang diimpor dari negerinya.”

Lanskap kulong di Desa Telak, Kabupaten Bangka Barat. Tinggi tebing-tebing tersebut mencapai belasan meter. (Dok. Finlan Aldan).

Habitat Baru Buaya

Seiring waktu, kulong terbenam air. Galian raksasa sebagai jejak kisah tambang timah menciptakan relung kehidupan bagi siapa pun yang membutuhkan air. Termasuk buaya muara (Crocodylus porosus), jenis buaya terbesar dan terpanjang di dunia. Dikenal juga dengan nama buaya air asin, nyatanya buaya ini dapat bertahan hidup dengan baik di air tawar. Karena itu, tak sulit menemukannya di laut, muara, sungai, danau dan rawa air tawar.    

Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Amir Hamidy menyebut aktivitas pertambangan timah mengubah topografi tidak hanya dalam konteks merusak habitat. Dengan terbentuknya kulong, manusia telah menciptakan habitat baru bagi buaya.

“Secara tidak langsung kita pun menciptakan habitat-habitat mereka. Jadi, efek lingkungan itu jangan dinilai dari kita merusak habitat mereka, tapi kita menciptakan habitat-habitat dan ini [adalah] genangan itu. Manusia tidak sadar,” ungkapnya.

Baca juga: Surga Burung Langka Terancam Tambang Emas

Kulong juga dijadikan masyarakat sebagai sumber air terdekat kala kemarau mengisap habis persediaan air. Maka, ibu rumah tangga yang datang ke kulong untuk sekadar memenuhi kebutuhan rumah juga bisa menjadi korban serangan buaya.

Selama masyarakat masih getol menambang di sepanjang aliran sungai, muara, laut, pinggir jalan, halaman belakang rumah, bekas lahan perusahaan, bahkan kuburan, maka buaya muara di Bangka Belitung tak punya banyak pilihan: beruntung karena diselamatkan dan masuk kandang rehabilitasi atau kehilangan nyawa dengan cara yang entah bagaimana.

Crocodile Attack Database atau CrocBITE, basis data online yang mencatat serangan buaya terhadap manusia di dunia, menempatkan Bangka-Belitung di urutan empat besar serangan buaya muara terbanyak di Indonesia dengan 86 serangan. Sebanyak 35 orang dilaporkan meninggal dunia. Ini berdasarkan pendataan dari tahun 2014 hingga Agustus 2023.

Indonesia, dikutip BBC.com, merupakan negara dengan serangan buaya air asin terbanyak di dunia. Dalam satu dekade terakhir telah terjadi sekitar 1.000 serangan yang menewaskan lebih dari 450 orang. Hampir 90 serangan terjadi di Bangka dan Belitung, menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Crocodile Specialist Group (CSG), salah satu kelompok spesialis spesies di bawah naungan Species Survival Commission (SSC) dari IUCN, menyebut serangan biasanya terjadi karena tindakan provokasi dari manusia atau hal lain seperti upaya mempertahankan diri dan teritorial buaya.

Baca juga: Cenderawasih, Si Burung Surga dalam Bahaya

Buaya muara adalah satwa yang dilindungi di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengancam keberadaan satwa dilindungi, tentu saja, termasuk melukai dan membunuh. Maka, pembunuhan buaya oleh masyarakat adalah pelanggaran hukum.

Di Bangka Belitung, buaya yang berhasil selamat dari konflik dievakuasi ke Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi Foundation. Di sana, lebih dari 34 ekor buaya muara tinggal. Meski kandang rehabilitasi dinilai sudah penuh, konflik yang masih terjadi di luar sana; memaksa kandang terus menerima anggota baru.

“Jadi, saya menyebutnya kearifan lokal berubah menjadi kebiadaban lokal. Masyarakat kita yang arif menjadi biadab dalam konteks lingkungan. Jadi orang tidak melihat itu lahan siapa, kadang-kadang digarap, ditambangnya,” ucap Elvian.

Empat hari setelah kami meninggalkan Pulau Bangka, video berdurasi 31 detik itu dikirim Pak Amat ke ponsel kami.

Dalam video, seekor buaya muncul dari dalam kulong raksasa setinggi lebih dari enam meter. Leher buaya diikat tali, ditarik oleh lima laki-laki dewasa agar keluar dari kubangan. Reptil purba itu meronta, meski akhirnya menyerah juga. Mesin di dekatnya tak menghiraukan; tetap bekerja seolah tak terjadi apa-apa.*

Tulisan ini ditulis bersama Finlan Aldan.

Bayu Nanda, bergabung di media spesialis satwa liar Garda Animalia sejak kuliah, membuatnya tertarik menyelami isu satwa dan lingkungan secara mendalam.

Finlan Aldan adalah jurnalis lepas. Aktif menulis serta mengeksplorasi persentuhan (dan konflik) antara alam dan manusia dalam bentuk jurnalisme naratif, visualisasi data, hingga cerita foto.

TAG

pertambangan fauna buaya bangka belitung

ARTIKEL TERKAIT

Demi Minyak Hindia Awal Mula Munculnya Air Mata Buaya Sekilas Riwayat Minyak di Sanga-sanga Datu Adil, Raja Tarakan yang Melawan Belanda Orang Tionghoa di Tambang Timah dan Emas Serba-serbi Hewan Kesayangan Michael Jackson (Bagian II – Habis) Serba-serbi Hewan Kesayangan Michael Jackson (Bagian I) Kisah Mantan Pilot John F. Kennedy Perebutan yang Menghancurkan Mukidjan Bukan Tjakra