Pulau Sangihe, pulau kecil nan indah di ujung utara perairan Indonesia. Wilayahnya berbatasan laut dengan Filipina. Jika ingin menggapainya mesti menyeberang dari Manado, Sulawesi Utara. Pilihannya bisa dengan pesawat jarak pendek selama 45 menit atau kapal penyeberangan selama tujuh jam.
Jarak 2.000 km dari Jakarta mungkin membuat banyak orang tak familiar dengan nama Sangihe. Ironisnya, nama pulau ini kini lebih sering terdengar setelah alamnya terancam penambangan emas.
Sebagaimana diberitakan BBC Indonesia, penambangan emas di pulau itu akan dilakukan di atas lahan seluas 42.000 hektare dari luas keseluruhan pulau 737 km². PT Tambang Mas Sangihe (TMS) telah mengantongi izin lingkungan dan izin usaha produksi pertambangan emas seluas 3.500 hektare dari total 42.000 hektare. Luas itu meliputi setengah bagian selatan Pulau Sangihe.
Sungguh sangat disayangkan mengingat Pulau Sangihe bukan sekadar pulau kecil di wilayah perbatasan yang menandai wilayah Indonesia. Melihat posisinya, dahulu pulau ini menjadi pintu masuk migrasi manusia dan fauna ke Kepulauan Nusantara dari sisi utara.
Baca juga: Kebijakan yang Mengabaikan Lingkungan
Berdasarkan pengamatan naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace pada abad ke-19, Pulau Sangihe termasuk ke dalam kawasan Wallacea. Dalam perjalanannya di Kepulauan Nusantara selama delapan tahun (1854–1862), Wallace membagi batas-batas fauna secara geografis yang dikenal sebagai Garis Wallacea. Wallacea adalah kawasan biogeografis yang mencakup kepulauan di wilayah Indonesia bagian tengah.
Di kawasan Wallacea tinggal flora dan fauna khas yang tak ditemukan di tempat lain. Di antaranya burung-burung endemik yang kini di ambang kepunahan. Yang tersisa kini diketahui mendiami Gunung Sahendaruman, gunung yang akan segera berubah menjadi lahan tambang emas di Sangihe.
Surga Burung Langka
Menurut Wallace, keunikan fauna di kawasan Wallacea disebabkan keletakannya. Posisi Sulawesi yang sedemikian rupa menjadikannya bisa menerima migrasi fauna dari segala penjuru.
Termasuk Kepulauan Sangihe. Ia merupakan jembatan penghubung migrasi manusia dan fauna antara wilayah daratan Asia, khususnya Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik. Temuan fosil gajah dan fosil mamalia besar lainnya menjadi bukti, dahulu Sangihe pernah menjadi perlintasan gajah purba, mamalia yang kini tidak akan pernah ditemukan di daratan Sulawesi.
Sebagaimana dicatat Wallace dalam Kepulauan Nusantara, wilayah Sulawesi dan kepulauan di sekitarnya, atau yang dia sebut Celebes, telah menarik minat banyak naturalis mancanegara. Wallace sendiri tiba di Sulawesi pada 1856. Pertama-tama, dia sampai di Makasar. Selanjutnya pada 1859, dia beranjak ke Manado dan Tondano di Sulawesi Utara.
Baca juga: Usaha Awal Melindungi Lingkungan di Hindia Belanda
Dari kelompok hewan lainnya, kata Wallace, burung-burung yang ada di kawasan Sulawesi adalah yang paling dikenal. “Saya sendiri mengumpulkan spesimen burung dengan tekun di Celebes selama hampir 10 bulan, sedangkan asisten saya, Allen dua bulan di Kepulauan Sula,” tulisnya.
Wallace bercerita, 20 tahun sebelum kedatangannya, naturalis Belanda, Eltio Alegondas Forsten, pernah tinggal selama dua tahun di Celebes Utara untuk mengumpulkan spesimen burung. Koleksinya dikirim ke Belanda dari Makassar.
Wallace pun mengetahui sejak kepulangannya ke Inggris ada dua naturalis Jerman, Hermann von Rosenberg dan Heinrich Agathon Bernstein, yang telah membuat koleksi beragam jenis burung dari Celebes Utara dan Kepulauan Sula. “Hanya delapan jenis burung darat yang belum ada dalam koleksi saya,” tulis Wallace membandingkan koleksi spesimen kedua naturalis itu dengan miliknya.
Tak mengherankan jika burung-burung di kawasan Sulawesi menarik minat banyak kolektor dan naturalis. Berdasarkan penelitian Adolf Bernard Meyer, naturalis Jerman dan para naturalis lainnya yang pernah mengunjungi Celebes dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, jumlah burung yang ditemukan di kawasan ini hampir berjumlah 400 spesies. Sebanyak 288 di antaranya adalah burung-burung darat.
Baca juga: Tarik-Ulur Soal Lingkungan Zaman Kolonial
Dari jumlah itu, menurut ahli botani Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bogor, Elizabeth A. Widjaja, dkk. dalam Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia 2014, sebanyak 107 jenis adalah burung endemik. “Kawasan Wallacea merupakan surga endemisitas burung Indonesia,” tulisnya.
Terlebih lagi 21 jenis di antaranya merupakan burung bermarga tunggal. Jenis-jenis itu tak memiliki kerabat dengan jenis lain. Jumlah ini 95 persen dari total marga tunggal di Indonesia.
Burung Paling Langka di Dunia
Menurut data Burung Indonesia, ada delapan jenis burung endemik di Pulau Sangihe, yakni serindit sangihe (Loriculus catamene), raja-udang bengkaratu (Cittura sanghirensis), udang-merah sangihe (Ceyx sangirensis), anis-bentet sangihe (Colluricincla sanghirensis), seriwang sangihe (Eutrichomyas rowleyi), burung-madu sangihe (Aethopyga duyvenbodei), celepuk sangihe (Otus collari), dan kacamata sangihe (Zosterops nehrkorni). Dari delapan jenis itu, empat di antaranya terancam punah, yaitu udang-merah sangihe, anis-bentet sangihe, seriwang sangihe, dan kacamata sangihe.
Di antara empat jenis burung terancam punah itu, seriwang sangihe dianggap paling langka. International Union for Conservation of Nature (IUCN) atau Lembaga Internasional untuk Konservasi Alam telah mengkategorikannya sebagai jenis kritis.
Baca juga: Cenderawasih, Si Burung Surga dalam Bahaya
Seriwang sangihe berukuran sekira 18 cm. Bagian atas tubuhnya berwarna biru, sedangkan bagian bawahnya abu-abu kebiruan yang lebih pucat. Burung ini senang menghuni hutan pada ketinggian 450-750 meter di atas permukaan laut.
Selama lebih dari 100 tahun burung ini hanya dikenal lewat spesimen awetan. Spesimen ini diperoleh pada 1873 oleh Adolf Bernard Meyer.
Setelah penemuan itu, pembuatan spesimen lain burung ini maupun penglihatan langsung dari lapangan belum pernah terjadi lagi. Spesimen seriwang sangihe yang disimpan di Museum für Tierkunde Dresden (MTD) atau Museum Sejarah Alam di Dresden pun menjadi satu-satunya yang diketahui mengenai burung ini.
Selama akhir abad 19, Pulau Sangihe telah dikunjungi oleh sejumlah naturalis dan kolektor. Namun, tetap tak satu pun dari mereka yang menemukan atau melaporkan keberadaan burung seriwang sangihe.
Baca juga: Si Bung dan Para Burung
Klaim pertama baru muncul pada akhir dekade 1970-an dan 1980-an. Herman Teguh dan Willy Noor Effendi dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara dalam Burung-Burung Bersebaran Terbatas di Kepulauan Sangihe-Talaud: Taksonomi, Populasi, dan Keterancamannya menjelaskan, waktu itu tiga ahli burung secara terpisah berkunjung ke Kepulauan Sangihe-Talaud. Mereka adalah Murray Bruce pada 1978, Frank Rozendaal pada 1985, dan David Bishop pada 1986.
Bruce mengaku mengamati seekor seriwang sangihe pada Desember 1978 di lereng atas yang berhutan Gunung Awu. Dia mengumumkannya pada 1986 lewat buku Birds of Wallacea.
Rozendaal kemudian mencari keberadaan burung itu di Gunung Sahendaruman. Sementara Bishop mencarinya di Gunung Awu. Tapi keduanya gagal.
Rozendaal dan Bishop justru mengkonfirmasi jenis burung endemik lain, yakni burung-madu sangihe. Rozendaal juga mencatat keberadaan anis-bentet sangihe dan celepuk sangihe.
Kekhawatiran seriwang sangihe telah punah pun merebak. Namun, ada pandangan yang lebih optimistis, bahwa burung surga penangkap lalat itu merupakan burung paling langka di dunia.
Bergantung Pada Sahendaruman
Harapan bahwa seriwang sangihe masih eksis pun muncul. Pada 1998, Anius Dadoali, penduduk Desa Ulungpeliang, melaporkan telah melihat seekor burung yang tak pernah dia ketahui sebelumnya, kepada peneliti asal Inggris dan Manado yang kala itu tengah riset. Begitu dia sebutkan cirinya, rupanya mirip dengan seriwang sangihe. Katanya, dia melihat burung itu tengah mencari makan di pohon-pohon tinggi di pinggiran hutan primer Gunung Sahendaruman.
Kebenaran pun dipastikan. Yang mereka lihat selanjutnya adalah dua ekor burung misterius dengan ciri sebagaimana disebutkan Anius, tengah asik mencari serangga di pohon yang tinggi.
Baca juga: Raja Pelindung Satwa
Karena belum memiliki nama lokal, nama panggilan sehari-hari Anius Dadoali pun dipakai untuk menyebut burung itu. Manu’ niu, begitu burung itu dipanggil oleh orang lokal.
Survei lanjutan dilakukan di lereng-lereng bagian bawah Gunung Sahendaruman. Menurut Hanom Bashari, dkk., pemerhati ekologi dan konservasi burung liar, dalam “The current status of the critically endangered Caerulean Paradise-flycatcher Eutrichomyias rowleyi on Sangihe, North Sulawesi”, yang termuat dalam Kukila 19, 2016, manu’ niu rupanya amat bergantung pada hutan. Sementara di Sangihe hutan yang tersisa di pulau utama hanyalah di petak-petak sekunder di Gunung Awu dan di sekitar puncak Gunung Sahendaruman.
Tak seberuntung penemuan di Gunung Sahendaruman, survei yang mereka lakukan di Gunung Awu tidak berhasil menemukan burung langka itu. Kini populasi manu’ niu hanya tersisa di lembah-lembah hutan primer pada ketinggian 390-674 mdpl di Pegunungan Sahendaruman, di sisi selatan pulau.
Menurut Bashari, luasan kecil hutan primer di pegunungan ini (519 hektare) diduga menjadi faktor pembatas utama pertumbuhan populasi seriwang sangihe. “Hilangnya tutupan hutan menjadi ancaman utama jenis ini, di samping perubahan komposisi hutan dengan tanaman-tanaman introduksi yang terus mendesak ke habitat utama seriwang sangihe,” tulisnya.
Baca juga: Eksplorasi Pertama Pulau Komodo
Lalu akan bagaimana nasib Gunung Sahendaruman setelah pertambangan emas nantinya menggeser petak-petak hutannya? Yang mana dari sanalah sumber air sungai mengaliri desa-desa di Pulau Sangihe. Di gunung itu pulalah satwa-satwa yang kini telah ada di batas eksistensinya masih bergantung harapan hidup.
Populasi manu’ niu saat ini sudah sangat sedikit. Survei yang dilakukan Bashari, dkk. pada 2014 menunjukkan populasinya ditaksir hanya berjumlah 34-150 ekor.
“Di bawah kondisi yang seperti ini, maka sedikit saja lembah-lembah itu diganggu, burung pasti akan lenyap selamanya,” tulis Bashari.
Bashari pun menegaskan, kondisi ini juga harus diperhitungkan bagi beberapa jenis endemik lain yang hidup bergantung pada Gunung Sahendaruman.
Baca juga: Perlindungan Komodo dari Masa ke Masa