Kerusakan lingkungan berkorelasi erat dengan praktik berdemokrasi. Terlihat dari beberapa kebijakan yang kendati sudah dilawan banyak pihak tetapi tetap dilaksanakan.
“Kebijakan yang ada sekarang lebih fokus pada pembangunan infrastruktur dan mengabaikan isu HAM serta kerusakan lingkungan. Jadi, ada korelasi yang clear di sana,” kata Wijayanto, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, dalam Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Sabtu (5/06/2021).
Baca juga: Lingkungan dalam Kungkungan
Hal itu muncul dalam wawancara Presiden Joko Widodo dengan BBC pada 2020. “Periode pertama saya fokus ke infrastruktur, periode kedua saya ingin fokus pada pembangunan sumber daya manusia. Mungkin setelah itu nanti lingkungan, inovasi, kemudian HAM. Kenapa tidak, tapi tidak bisa semua dikerjakan. Bukan tidak mau, tetapi saya senang kerja fokus,” kata Jokowi.
Menurut Wijayanto, jawaban itu mengingatkannya pada bagaimana struktur politik Orde Baru terbentuk, di mana fokusnya pada pembangunan. “Semakin Orde Baru kuat, semakin abai dengan kebebasan sipil, HAM, lingkungan, dan seterusnya,” ujarnya.
Fenomena Sejak Orde Baru
Yety Rochwulaningsih, sejarawan Universitas Diponegoro dalam “Dinamika Gerakan Lingkungan dan Global Environmental Governance”, Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 2, No. 2, 2017, menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan, terutama yang terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, disebabkan oleh ekspansi kapitalisme yang terwujud melalui proses penjajahan pada masa lalu. Eksploitasi sumber daya alam, sumber daya manusia melalui perbudakan, dan sumber sosial budaya di tanah jajahan dikerjakan demi keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.
Misalnya yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda sejak 1830 dengan program Cultuurstelsel atau Tanam Paksa. “Banyak kajian mengenai sejarah Tanam Paksa, namun suatu kajian mengenai dampak sistem eksploitasi ini terhadap perusakan lingkungan masih belum memadai,” catat Yety.
Setelah merdeka terutama sejak Orde Baru, Indonesia masih cenderung melanjutkan sistem ekonomi kapitalis.
Baca juga: Usaha Awal Melindungi Lingkungan di Hindia Belanda
Perubahan ekologi secara drastis yang terjadi pada masa itu merupakan dampak dari modernisasi dan industrialisasi. Yety menjelaskan, melalui berbagai produk hukum, pemerintah lebih berpihak pada pemilik modal, seperti tercermin dalam UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
“Dengan berbagai kebijakan itu posisi masyarakat lokal semakin lemah dan semakin tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan pemerintah dan pemodal asing maupun dalam negeri,” jelas Yety.
Menurut Yety, kerusakan ekologi pun semakin parah. Program pembangunan masa Orde Baru lebih merupakan wujud dari hubungan produksi kapitalisme. Di sini negara diposisikan sebagai pasar dan pemasok tenaga kerja murah dan bahan baku.
Ditambah dengan privatisasi dan komersialisasi sumber kehidupan, seperti air dan hutan, yang ikut mengancam kelestarian lingkungan. Alam dieksploitasi seoptimal mungkin demi menaikkan laba. Perhitungan untung rugi secara ekonomi kerap mengabaikan dampak kerusakan di lingkungan.
“Padahal sumber daya lingkungan itu bukan merupakan warisan nenek moyang, tetapi merupakan pinjaman dari generasi mendatang,” tegasnya.
Baca juga: Perdebatan Lingkungan di Volksraad
Yety pun memaknai, terjadinya berbagai peristiwa bencana alam di Indonesia, dari sudut pandang politik ekologi, sangat berkait erat dengan kebijakan politik nasional sebelum bencana itu terjadi. Ini berikatan pula dengan kekuatan ekonomi global.
Masalahnya, pandangan para pembuat kebijakan terus menerus menekankan pada capaian target pertumbuhan ekonomi untuk masa sekarang. Sementara kebutuhan generasi mendatang tak masuk hitungan.
“Bencana alam yang terjadi antara lain disebabkan oleh ketidaksetimbangan bahkan kerusakan ekosistem dan itu merupakan akibat dari pelaksanaan pembangunan yang berideologi pertumbuhan ekonomi,” catatnya.
Baca juga: Tarik-Ulur Soal Lingkungan Zaman Kolonial
Tak Merasa di Tengah Krisis
Gerry van Klinken, peneliti senior di KITLV, antropolog dan profesor sejarah Asia Tenggara di Universitas Amsterdam, yang juga penulis Manifesto: Menuju Peradaban Ekologis untuk Indonesia menjelaskan bahwa isu perubahan iklim dunia sebenarnya bukan baru saja disadari. Adalah John Tyndall, ilmuwan Inggris, yang pertama kali menyuarakan gejala efek rumah kaca dalam kuliahnya pada 10 Juni 1859.
“Jadi sudah 160 tahun ya,” kata Van Klinken yang menjadi pembicara utama dalam diskusi itu.
Namun, sejak 1859, soal gejala rumah kaca, perubahan iklim atau pemanasan global telah lama tak dibahas. Baru pada 1970-an pembahasan tentangnya muncul kembali dan makin meningkat pada 1980-an.
Baca juga: Seni Cadas Tertua di Dunia Rusak Akibat Perubahan Iklim
Kendati begitu hingga kini tingkat emisi CO2 manusia ke dalam atmosfer belum juga menurun. Bahkan tetap memecahkan rekor baru setiap tahunnya.
Mengapa kondisi saat ini tidak terasa seperti di tengah krisis? Menurut Van Klinken, bisa jadi karena masyarakat kini kurang imajinasi, atau bisa juga karena lembaga-lembaga universitas terlalu didominasi oleh para pemodal besar. Bisa juga karena orang-orang di Indonesia merasa sebagai masyarakat negara berkembang, sehingga jika terjadi masalah di dunia yang dianggap akan menyelesaikannya adalah negara adikuasa.
“Indonesia hanya merasa sebagai korban,” kata Van Klinken. “Sepanjang sejarah Indonesia memang tak banyak menyumbang CO2. Yang banyak adalah Inggris, Eropa.”
Baca juga: Hukuman Bagi Perusak Hutan
Kenyataannya, lanjut Van Klinken, Indonesia masuk ke dalam empat besar dunia penyumbang pemanasan global. Penyebabnya alih fungsi lahan dan kebakaran hutan di Kalimantan. “Pada saat yang sama bersaing dengan Australia mengekspor batubara. Jadinya juga pelaku,” katanya.
Sama dengan pemerintah Australia, pemerintah Indonesia memiliki hubungan bisnis yang intim dengan industri batubara. “Indonesia pada 2015 memberi subsidi yang besar pada pertambangan batubara. Subsidi batubara begitu besar, tapi aksi mengurangi emisi gas CO2 begitu tak memadai,” jelas Van Klinken.
Menurutnya, menciptakan peradaban ekologis adalah hal yang harus dilakukan kini. Peradaban ekologis menuntut kolaborasi sosial dan dunia ekonomi.
“Bukannya persaingan yang menjadi ciri dasar kapitalisme. Persaingan yang sangat boros karena harus menghasilkan barang sebanyak mungkin untuk mematikan lawannya menonjol,” kata Van Klinken.
Van Klinken pun menambahkan, jika peradaban ekologis yang semacam itu masih terlalu jauh untuk dicapai, setidaknya orang-orang kini bisa menjadikannya sebagai teladan untuk bertindak. “Bagaimana menciptakan demokrasi, di mana alam bermain peran di dalamnya, Bukan hanya adil kepada manusia, tetapi juga kepada alam,” ujarnya.
Baca juga: Para Penjaga Hutan Zaman Kuno