SEJUMLAH civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) Surabaya mulai dari guru besar, dosen, mahasiswa, hingga alumni menggelar aksi protes pada Jumat (4/7/2024) lalu. Mereka memprotes pemberhentian dekan FK Unair Prof. Dr. Budi Santoso, dr., Sp.OG (K). Ditengarai, pemecatan figur yang akrab disapa Prof. BUS itu oleh pihak rektorat gegara sikap kritisnya terhadap wacana “impor” dokter asing.
Program mendatangkan dokter asing diwacanakan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Alasannya, terdapat kekurangan tenaga dokter untuk menyelamatkan nyawa ribuan pasien, seperti bayi yang memiliki kelainan jantung bawaan. Menurut Budi Gunadi, menilik jumlah penduduk sekitar 280 juta jiwa, saat ini Indonesia masih kekurangan rasio dokter. Terlebih jika merujuk organisasi kesehatan dunia WHO dengan rasio ideal 1:1000 (satu dokter melayani 1.000 warga).
Dari payung hukumnya, aturan tentang dokter slot gacor hari ini asing di Indonesia memang tertera dalam pasal 428 dan pasal 257 dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Namun, aturan turunannya belum dikeluarkan pemerintah. Peraturan Pemerintah (PP) terkait itu pun masih disusun, yang rencananya akan selesai pada awal Agustus 2024.
Boleh jadi niat itu baik, terutama demi pemerataan tenaga dokter di luar Pulau Jawa. Namun, beberapa pihak menilai rencana pemerintah itu terburu-buru. Mengutip BBC, Senin (8/7/2024), Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengakui Indonesia masih kekurangan jumlah dokter namun perlu pula diperhatikan pemerataan distribusi alat-alat kesehatannya. Akan tetap jadi masalah jika jumlah dokter mencukupi tetapi tidak diikuti ketersediaan alat.
Baca juga: Dokter Indonesia Pertama Ahli Radiologi
Kritik yang diutarakan Prof. BUS terjadi pada 27 Juni 2024. Ia menyampaikan ketidaksetujuannya karena menganggap 92 fakultas kedokteran se-Indonesia masih mampu menghasilkan dokter-dokter yang kualitasnya tak kalah dari dokter asing.
Lima hari berselang (2 Juli 2024), Prof. BUS dipanggil Rektor Unair Prof. Dr. Mohammad Nasih dan keesokannya, 3 Juli 2024, Prof. BUS mengumumkan bahwa dirinya diberhentikan dari jabatan dekan. Pusat Komunikasi dan Informasi Publik (PKIP) Unair membenarkan Prof. BUS diberhentikan sebagai dekan FK Unair dengan alasan kebijakan internal.
Hal itu pun jadi polemik. Civitas akademika FK Unair yang melancarkan aksi protes menganggap pemecatan Prof. BUS berkaitan dengan kritiknya terhadap rencana kebijakan pemerintah. Mereka yang membentuk tim aspirasi pada akhirnya bisa bersua langsung dengan rektor pada Jumat (5/7/2024) untuk membahas pemecatan Prof. BUS. Agenda pertemuan antara Prof. BUS dan Rektor Unair Prof. Nasih pun direncanakan digelar Senin (8/7/2024) sore ini.
Kegaduhan serupa pernah terjadi di era Orde Lama. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, guru besar hukum internasional Universitas Padjadjaran (Unpad) yang berperan dalam memperjuangkan laut teritorial Indonesia di Konferensi PBB, dipecat Presiden Sukarno gegara kritiknya.
Baca juga: Yang Pertama dari Kedokteran Indonesia
Kritik Prof. Mochtar Berujung PHK
Hari itu, dalam peringatan HUT RI 17 Agustus 1959 Presiden Sukarno dengan berapi-api berpidato menguraikan Demokrasi Terpimpin. Pidato yang kelak dikenal dengan Manifesto Politik (Manipol) itu intinya berisi seruan kebangkitan dan semangat revolusi, keadilan sosial, serta pelengkapan kembali lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi negara demi revolusi yang berkesinambungan.
“Pada awal tahun 1960, kaidah yang samar-samar ini menjadi semakin rumit karena ditambahkan kata USDEK, yang berarti Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Manipol-USDEK kini merupakan definisi resmi dari ortodoksi ideologi. Apa arti tepatnya, tergantung pada siapa yang mendukungnya,” tulis sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia Since C. 1200.
Manipol-USDEK pun jadi doktrin politik “Bung Besar” dalam menjalankan Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Doktrin itu, lanjut Ricklefs, jadi hak wajib yang diperkenalkan di semua jenjang pendidikan dan di semua organisasi dan lembaga pemerintahan. Setiap pihak, termasuk pers, diharamkan untuk mengkritik apalagi menolaknya.
“Beberapa redaktur yang pro-Masyumi dan pro-PSI menolak melakukannya (mendukung, red.), suratkabar mereka pun dilarang terbit. Antara tahun 1959 dan 1961, suratkabar berkurang (dari) 90 suratkabar dengan 1.039.000 eksemplar menjadi 65 suratkabar dengan 710.000 eksemplar,” tulisnya.
Baca juga: Atas Nama Ideologi Negara
Nasib yang berujung getir juga dialami beberapa kalangan akademisi dan intelektual. Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad) Prof. Mochtar Kusumaatmadja jadi salah satu yang paling lantang mengkritik Manipol-USDEK.
“Mochtar dituduh melecehkan Presiden Sukarno dan juru bicara Manipol-USDEK, Dr. Ruslan Abdulgani, oleh para mahasiswa kiri di Universitas Padjadjaran. Banyak saksi di FH Unpad yang membantah Mochtar mengucapkan apa yang difitnahkan kepadanya tapi tekanan golongan kiri begitu hebat,” ungkap sejarawan Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian.
Menurut Mieke Komar Kantaatmadja, dkk. dalam Pendidik & Negarawan: Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M, Prof. Mochtar mengkritik Manipol-USDEK seolah-olah dijadikan konsep-konsep suci. Pasalnya, Pancasila dengan Manipol-USDEK dibaratkan kitab suci Al-Quran dan hadits yang jadi satu kesatuan.
“Akibatnya Pak Mochtar harus memutuskan untuk sementara meninggalkan lingkungan UNPAD,” tulis Mieke dkk.
Baca juga: Mochtar Kusumaatmadja Perintis Gagasan Wawasan Nusantara
Wartawan Rosihan Anwar juga punya kesaksian senada. Dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik, 1961-1965, Rosihan menulis Prof. Mochtar sempat membandingkan Sukarno dengan tokoh perjuangan India, Pandit Jawaharlal Nehru.
“Menurut Mochtar dalam sebuah kuliahnya, ‘Nehru lebih berpengalaman dari Sukarno dalam soal politik luar negeri,’” tulis Rosihan.
Kritik itu berbuah tuduhan dan fitnah terhadap Mochtar. Di antara yang menggugatnya adalah kalangan Partai Komunis Indonesia (PKI), Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI).
“Sebenarnya tuduhan itu diembuskan Partai Komunis Indonesia dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia karena mereka tidak menghendaki Mochtar diangkat menjadi Rektor Universitas Padjadjaran. Mereka sudah memiliki calon dari kalangan sendiri,” ungkap eks-jaksa agung muda Prof. Dr. Priyatna Abdurrashid dalam buku Priyatna Abdurrasyid: Pakar Hukum Udara dan Angkasa.
Baca juga: Mahar Mardjono, Rektor yang Pandai Menjaga Keseimbangan
GMNI pun kemudian ikut menggugat Prof. Mochtar. Para mahasiswa yang berafiliasi dengan GMNI melancarkan aksi unjuk rasa pada awal November 1962 yang kabarnya sampai ke telinga Presiden Sukarno yang sedang melangsungkan agenda kunjungan di Tokyo, Jepang.
“Aksi GMNI itu tidak disetujui oleh seluruh badan mahasiswa Unpad. Ada juga pengajar Unpad seperti Prof. Dr. Mustopo yang membela Mochtar. Rupanya aksi GMNI itu sampai juga ke telinga Sukarno yang lagi berada di Tokyo. Sukarno serta merta mengirim kawat kepada Menteri PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Indonesia) Prof. Tojib (Hadiwjidjaja) dan atas telegram itu Mochtar harus meletakkan jabatan,” sambung Rosihan.
Korps pengajad Unpad dan lingkungan akademik yang bekeja pada pemerintah, lanjut Rosihan, kaget karena keputusan presiden memberhentikan Mochtar tanpa mendengar dulu bagaimana duduk perkaranya. Pemecatan itu langsung jadi buah tutur dan polemik di kalangan akademisi.
“Mereka (kalangan akademisi) tidak dapat memahami apa sebabnya Menteri PTIP Prof. Tojib yang mereka kenal sebagai orang yang fatsoenlijk alias sopan, bisa-bisanya memberhentikan begitu saja pejabat dekan. Ada yang mengatakan bukan mustahil Prof. Tojib gemetaran badan dan tangannya ketika menerima telegram Presiden dari Tokyo sehingga dia tidak dapat berpikir tenang dan terang lagi dan langsung memberhentikan Mochtar,” imbuhnya.
Baca juga: Artati Marzuki, Menteri PD dan K di Tengah Konflik Departemen
Tak lama setelah Mochtar dicopot, Rosihan bersama rekan sesama jurnalis, Soedjatmoko alias Koko, mencoba menemui guru besar mantan dekan itu kediamannya di Bandung pada 16 November 1962. Saat itu ia masih terguncang oleh pemecatan tersebut saat berbincang dengan Rosihan dan Koko.
“Waarom maken ze toch zo’n heibel over mij?’ (mengapa mereka begitu ribut mengenai saya?),” ujar Mochtar penasaran.
“Tindakan itu hanya menunjukkan bagaimana sikap jiwa Sukarno dewasa ini, iritasi yang meliputinya karena dia sedang berada dalam keadaan harus mengambil keputusan-keputusan politik yang penting dan menentukan bagi negara di Tokyo. Apakah soalmu ini? Je bent toch maar een knulletje vergeleken bij Sukarno (Kau toh cuma orang kecil dibandingkan Sukarno),” jawab Koko.
Baca juga: Jalan Intelektual Soejdatmoko, Seorang Sosialis Kanan
Di tengah kegelisahannya, Mochtar sempat ingin membuat klarifikasi via surat kepada “Bung Besar”. Akan tetapi, lanjut Rosihan, aspirasi itu urung disampaikan setelah Koko memberi nasihat supaya Mochtar jangan sampai terkesan berjiwa peminta-minta dan sebaiknya berdiam diri terlebih dulu sembari menunggu perkembangan selanjutnya yang justru makin getir.
“Mochtar Kusumaatmadja yang aktif berpartisipasi sebagai anggota delegasi Indonesia pada sejumlah konferensi internasional terkait hukum laut, suatu waktu pada pertengahan 1960-an dijadikan tahanan rumah oleh pemerintahan Soekarno,” ungkap Dino Patti Djalal dalam Geopolitical Concepts and Maritime Territorial Behaviour in Indonesian Foreign Policy.
Namun, Priyatna pula yang melepaskannya. Priyatna dan Mochtar merupakan kawan dekat sejak era revolusi kemerdekaan. Setelah mengangkat senjata, keduanya sama-sama melanjutkan karier di bidang akademis.
“Saya di hukum antariksa, Mochtar di hukum laut. Kita selalu bareng,” ujar mendiang Priyatnya kepada Historia.
Baca juga: Kritik Soe Hok Gie kepada Rektor UI
Prof. Mochtar akhirnya memilih menimba ilmu lagi ke sekolah hukum Universitas Harvard dan Universitas Chicago kurun 1964-1966.
“Mochtar saya biarkan biarkan lari ke luar negeri, bahkan saya bantu agar istri dan anaknya bisa menyusul,” tandas Priyatna.
Prof. Mochtar baru kembali saat sudah terjadi transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru. Dia lalu menjabat sebagai rektor Unpad (1973-1974). Oleh Presiden Soeharto, Mochtar ditunjuk sebagai menteri kehakiman (1974-1978) dan menteri luar negeri (1978-1988). Pasca-wafatnya pada 6 Juni 2021, namanya mulai diajukan mendapatkan gelar pahlawan dari Provinsi Jawa Barat.
Baca juga: Iskandar Alisjahbana, Rektor yang Diteror