Iskandar Alisjahbana, Rektor yang Diteror
Dianggap mendukung gerakan anti-Soeharto di kampusnya, rumah dinas rektor ITB pun ditembaki tentara.
Februari hari ke-9, 1978. Sunyi merambati Bandung malam itu. Suasana mencekam masih terasa usai pasukan-pasukan bersenjata menguasai kampus ITB dan kampus Universitas Padjadjaran siang harinya. Begitu pun di Jalan Sulanjana, kawasan yang menjadi tempat tinggal Iskandar Alisjahbana, rektor ITB ke-22.
Entah dari mana datangnya, tetiba terdengar suara tembakan beberapa kali. Seketika, tembok di atas jendela kamar salah seorang putri Iskandar meninggalkan lubang-lubang cukup besar. Tentu saja kejadian yang serba cepat tersebut menimbulkan rasa panik di kalangan keluarga Iskandar.
Besoknya, Iskandar langsung menyatroni kantor Panglima Kodam VI Siliwangi Mayor Jenderal Himawan Soetanto di Jalan Aceh. Dalam ingatan sang jenderal, putra tertua dari pujangga Sutan Takdir Alisjahbana itu terlihat tegang dan geram. Sambil bertolak pinggang dan tanpa basa-basi dia langsung menghardik Himawan dalam bahasa Belanda.
"Waarom hebben jullie mijn huis beschoten? Hoe kunnen jullie zo laf zijn? (Kenapa kalian menembaki rumah saya? Sepengecut itukah kalian?),” ujar Iskandar.
Baca juga: Palapa, Pionir Indonesia di Angkasa
Awalnya Himawan hanya bisa terpana. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Iskandar. Namun setelah dijelaskan secara singkat oleh tamunya itu, barulah dia paham dan tentu saja merasa terkejut.
"Als er een huis beschoten wordt, is dat niet mijn manier van werken.... En dat is beslist ook niet de handelwijze van mijn mannen,” jawab sang panglima. Artinya tak lebih: Kalau ada yang menembaki rumah, itu bukan cara saya dan pasti bukan cara kerja anak buah saya.
“Wie dan? (lalu siapa?)” cecar Iskandar. Himawan tetap menggeleng.
Sebagai bentuk rasa tanggungjawabnya selaku penguasa militer di Jawa Barat, Himawan kemudian mengirimkan beberapa penyelidik ke rumah Iskandar. Dari beberapa proyektil peluru yang ditemukan, ternyata itu adalah jenis peluru kaliber 45 yang kemungkinan dihamburkan dari sepucuk pistol semi otomatik.
“Saya kemudian bilang ke Pak Is bahwa pelakunya memang tentara. Karena itu jelas berasal dari senjata organik ABRI. Tapi siapa di balik itu semua, saya sama sekali tidak tahu. Yang jelas bukan kerjaan Siliwangi,” ungkap Himawan dalam suatu wawancara dengan saya pada 2009.
*
Satu bulan sebelumnya…
Apel mahasiswa ITB pada malam itu menjadi forum kritik terhadap Presiden Soeharto. Tokoh-tokoh aktivis mahasiswa silih berganti berorasi. Acara lantas dipuncaki oleh tokoh-tokoh aktivis ITB seperti Heri Achmadi, Jusman Syafei Djamal dan Indro Cahyono dengan mengumumkan bahwa Keluaga Besar Dewan Mahasiswa ITB tidak lagi mengakui Soeharto sebagai presiden RI dan menolak secara tegas pencalonannya kembali untuk periode berikutnya.
“Statement itu dilanjutkan keesokan harinya dengan apel akbar yang diikuti dewan mahasiswa dari seluruh Indonesia,” ungkap Jopie Lasut dalam bukunya, Kesaksian Seorang Jurnalis Anti ORBA: MALARI Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA.
Sejak itu, kegiatan perkuliahan bisa dikatakan berhenti. Sebagai pengganti kuliah, para mahasiswa ITB mengadakan berbagai pentas seni, diskusi dan kegiatan orasi. Semuanya bermuara kepada satu tujuan: menolak Soeharto menjadi presiden lagi.
Baca juga: Jenderal yang Disalahkan
Iskandar sendiri tak pernah sedikit pun mengusik dinamika kampus tersebut. Alih-alih murka, sesekali dia malah kerap datang “menengok” aksi para mahasiswanya. Dukungannya terhadap kebebasan berekspresi mahasiswa itu justru menimbulkan ketidaksukaan di kalangan pemerintah. Bahkan, rasa tidak suka itu sempat dikirimkan Soeharto kepada Iskandar lewat karibnya yakni B.J. Habibie.
“(Kata Habibie) Pak Harto sangat tersinggung atas perbuatan-perbuatan mahasiswa ITB dan amat kecewa mengapa Iskandar sebagai rektor ITB membiarkan mahasiswa-mahasiswanya melakukan penghinaan terbuka dan penghujatan itu,” ungkap Daud Sinjal dan Atmadji Sumarkidjo dalam Himawan Soetanto: Menjadi TNI.
Dalam kenyataannya, “pesta demokrasi” mahasiswa ITB itu hanya dibiarkan berlangsung enam hari saja. Pada 21 Januari 1978, tentara pemerintah menyerbu kampus di bilangan Tamansari tersebut, diikuti operasi penangkapan mahasiswa secara besar-besaran.
“Dalam daftar yang dibawa pasukan penyerbu dapat dilihat 53 nama yang akan ditangkap, termasuk 5 staf pengajar ITB,” ungkap tokoh aktivis ITB 1978, Indro Cahyono dalam Indonesia di Bawah Sepatu Lars.
Baca juga: Mahasiswa Ingin Ganti Presiden, Tentara Duduki Kampus
Dianggap tidak cukup berhasil membungkam suara-suara kritis mahasiswa ITB, penyerbuan oleh tentara dilakukan kembali pada 1 Februari dan 9 Februari 1978. Dua penyerbuan terakhir tersebut dikenang oleh mahasiswa ITB dan penduduk Tamansari sebagai paling brutal karena mereka memperlakukan para mahasiswa laiknya musuh di medan perang.
“Mereka mengejar mahasiswa dengan beringas hingga ke Jalan Trunojoyo. Ada yang digusur, diinjak-injak dan dipukul pakai popor senjata” demikian kesaksian Maria, salah seorang penduduk Bandung.
Akhir cerita pemerintah menyingkirkan Iskandar juga. Lima hari setelah dia dan keluarganya diteror, turun keputusan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Syarief Thayeb. Isinya: memberhentikan Iskandar sebagai rektor ITB, digantikan sementara oleh semacam dewan rektorium yang diketuai oleh Soedjana Sapi’e.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar